Janji-Janji yang (Harusnya) Ditepati

1.4K 44 5
                                    

"Anaknya Pak Sucipto?"

Reana hanya bisa mengangguk kaku menjawab pertanyaan yang diajukan dengan angkuh oleh perempuan berpakaian ciamik yang menurut dugaannya adalah sang nyonya rumah. "Iya, Bu." Ia tidak mau mengambil resiko dengan memanggil wanita anggun itu dengan panggilan 'tante' dan berujung pada makian kasar yang harus diterimanya.

"Oh..." Reana tidak tahu harus bereaksi seperti apa ketika perempuan itu mulai duduk berhadapan dengannya, masih dengan tatapan yang sama angkuhnya. "Saya nggak habis pikir, kenapa suami saya mau menerima kamu jadi menantunya. Cih!"

Sekali lagi Reana hanya bisa memejamkan mata, menarik napas panjang dan menelan ludahnya bulat-bulat.

Direndahkan dengan tatapan begini sudah biasa perempuan itu alami. Karena ia tidak berkuliah di kampus yang bagus, karena ia tidak bisa membeli baju baru yang motifnya sedang trendi. Atau karena ia tidak bisa membayar sewa rumahnya tepat waktu, bahkan setelah dirinya mengambil semua shift pekerjaan part-time yang masih mungkin dilakukan.

Tapi Reana tetap tidak bisa memahami mengapa ia tidak pernah merasa terbiasa dengan sadisnya tatapan yang dilontarkan padanya itu. Ia tidak melakukan kesalahan apa-apa, tapi orang di sekelilingnya menatap nista padanya--seakan-akan Reana adalah secuil noda hitam di atas kanvas putih yang bersih dan noda tersebut harus segera dibuang.

"Kalau Papanya Rai masih hidup, dia pasti nggak akan biarkan kamu jadi istrinya. Iiih!"

Bisikan samar-samar itu masih mampu didengar Reana dan untuk sesaat, ia berpikir bahwa suami sang nyonya besar ini sudah tiada.

Sampai ketika telinganya menangkap langkah kaki seseorang yang dengan tidak sabar terus menapak lantai sebelum akhirnya berhenti tepat di balik sofa yang tengah Reana duduki.

"Aku baru balik dari kantor Papa." Suara bariton itu menyela dan Reana mengenalinya sebagai milik seorang pria yang sempat meninggalkannya dengan map hitam di atas meja ini. "Dan aku perlu bicara sama dia, Ma."

Balik dari kantor Papa? Reanna tidak mengerti. 'Bukannya tadi... Si nyonya bilang, Papanya Rai udah nggak ada?'

"Silahkan aja." Si nyonya mengangguk dengan tenang. "Kamu bisa bawa dia ke kamar pembantu di bawah tangga. Di situ kosong, mumpung Mbak Shilla masih pulang kampung kan."

Dan Reana sama sekali tidak menolak ketika Rai mengatakan, "Berdiri kamu," katanya sebelum dengan sama angkuhnya meninggalkan ruang tamu dan membiarkan Reana mengekor kepadanya.

Reana sungguh tidak menduga bahwa pria bertubuh kekar yang terlihat amat tampan dalam balutan jasnya ini sungguh-sungguh membawanya ke dalam kamar pembantu untuk berdiskusi (Reana mengenalinya dari lokasinya yang terpencil dan luas serta interior ruangannya yang jauh berbeda dengan yang lainnya).

"Mapnya masih di kamu kan?" adalah hal pertama yang meluncur dari mulut Rai ketika lelaki itu menunduk dan menyadari Reana masih menggenggam erat sebuah map di tangannya dengan kaku. "Sini, kamu langsung tanda tangan sekarang aja."

"Saya perlu baca dulu," tolak Reana secepat kilat. Ia memang takut sekarang, tapi sedari dulu, Reana selalu tahu bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda tangan itu tidak pernah main-main. "Saya--"

"Kamu masih berani bilang begitu, setelah sadar bahwa tubuh kamu itu ditukar ayah kamu sendiri untuk hutang yang nggak pernah bisa dia kembalikan?" Rai tertawa sinis dan untuk kali pertama hari itu, ia menatap balik manik mata Reana yang menatapnya dengan takut-takut. "Well, sebenernya gue nggak mau bilang ini. Tapi kayaknya, lo bukan tipe orang yang bisa diajak ngomong baik-baik ya?"

Rai tidak menyadari sejak kapan ia mulai berbicara non-formal pada perempuan yang di matanya terlihat benar-benar tidak menarik ini.

"Here is a thing... Siapa nama lo?"

"Reana," sahut Reana dengan cepat. "Reana Sucipto."

"Here is a thing, Reana." Rai mengetatkan rahangnya ketika ia mulai berbicara. "Gue nggak peduli sama lo. Gue nggak ada keinginan untuk merugikan apalagi menguntungkan lo, karena ya... Gue emang nggak peduli. Sesederhana itu.

"Lo mau ngapain, lo mau pergi sama siapa, mau sedih, mau seneng, itu urusan lo. Gue nggak mau peduli dan lo juga harus tau--gue nggak mau lo peduliin dalam hal seperti ini. Lo juga nggak perlu siapin sarapan sampai makan malam buat gue. It doesn't matter; gue nggak butuh.

"Surat perjanjian di tangan lo itu intinya cuma begitu aja. Gue cuma akan menjadikan lo istri di atas akta nikah dan di hadapan bokap gue--karena dia orang yang paling ngotot pengen cepet liat gue nikah.

"Lo nggak punya, dan nggak akan punya hak untuk ngontrol apalagi ngatur gue. Kita akan punya kamar terpisah dan sampai kapanpun gue nggak mau tidur sekamar sama lo.

"Kita ini individu yang berbeda dan sampai kapanpun, takdir hidup kita adalah jalan masing-masing. Karena bahkan sebelum kita menikah, gue bisa melihat bahwa kita berdua emang nggak cocok. Jadi, di dalam surat itu, gue juga menuliskan bahwa kita akan bercerai enam bulan setelah lo melahirkan anak buat gue. In consideration that anak gue akan butuh ASI eksklusif dan gue nggak bisa memenuhi kebutuhannya yang satu itu dengan bantuan baby sitter manapun.

"After all, semua itu adalah keputusan yang nggak akan mau gue revisi. Apalagi dengan kenyataan bahwa lo adalah anak perempuan yang 'dijual' untuk menebus hutang sama bokap lo sendiri."

Rai tertawa ketika ia mengatakan, "Kalau bokap lo aja nggak peduli sama perasaan dan kelayakan hidup lo--dengan menjual lo begitu aja ke gue... Then why should I?"

Dan Rai mungkin tidak akan pernah tahu bahwa setelah ia berbalik seusai mengucapkan kata-kata dengan lidahnya yang setajam keris, Reana menutup matanya dan untuk kali pertama selama lima tahun terakhir, perempuan itu menangis terisak-isak di atas kasur pembantu yang didudukinya, sebelum akhirnya wanita itu benar-benar melakukan permintaan calon suaminya--menandatangani surat perjanjian yang tidak pernah ia impikan itu.

Bersambung...

Satu kata buat Rai doong?

Kapan enaknya aku publish chapter berikutnya ya? Adakah yang udah add ini ke library kalian? Comment dan kasih vote doongg, hihiii. Comments dan votes kalian bikin aku semangat nuliis!

Follow Instagramku juga untuk dapetin spoiler bab berikutnya : @naralatasha yg mau followback lngsg DM ajaa :)

Istri di Atas KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang