Perhatian Pertama

1.6K 38 2
                                    

"Apa? Lo udah nikah?"

Rai memijat kepalanya yang berdenyut. Entah karena lelaki itu baru saja mendengar pertanyaan yang paling tidak ingin ia jawab, atau karena lawan bicaranya barusan bersuara dengan intonasi setinggi tower Telkom. "Bisa nggak teriak, nggak sih? Gue traktir lo dinner di Shangri La gini bukan karena mau buang-buang energi tau."

"Lo udah nikah dua bulan dan gue bahkan nggak tau?" Ananta masih saja mengindahkan permintaan lelaki tampan yang sudah sepuluh tahun menjadi sahabatnya ini. "Gila, Rai! Gue dianggap apa sih sebenernya?"

"Gue nikahnya kan terpaksa, Ananta..." Pria itu menghela napas entah untuk yang keberapa kalinya malam ini. "Cuma biar punya anak doang, abis itu cerai. Tadi kan udah gue ceritain!"

"Ya tetap aja! Masa gue nggak tau?"

"Lo tau juga buat apa?" Rai tidak mengerti. "Gue bakal cerai dan bakal balik jadi Rai yang sekarang. Ya, well... Cuma bakal nambah satu buntut aja, yang mirip sama gue."

Rai tentu saja tidak tahu bahwa Ananta, diam-diam selalu mengharapkan dirinyalah yang akan menjadi Nyonya Narendrea. Sepuluh tahun menjadi satu-satunya orang yang diperkenankan Rai untuk mendengarkan semua kisah dalam hidup lelaki itu secara langsung dari mulutnya sendiri, telah membuat Ananta menaruh banyak harapan akan lelaki yang sempat ia anggap sebagai calon suaminya yang mutlak ini.

Sampai ketika tadi sore, Ananta mengajak pria itu untuk menonton bioskop seperti biasanya dan Rai menolak--dengan alasan ia harus membicarakan sesuatu bersama istrinya malam ini.

Tentu saja Ananta tak langsung mempercayainya. Sampai ketika ia berhasil menyeret Rai untuk makan malam (tentu saja ditemani kartu kredit pria itu) dan melihat bagaimana kusutnya Rai saat ini.

"Udahlah, makan aja," desah Rai sembari meraih sendoknya dengan tak bersemangat sama sekali. "Gue butuh escape daripada di rumah liatin muka dia terus."

Ananta tidak menyahut. Ia benar-benar menyesal karena kecolongan dengan wanita beruntung yang berhasil meraih status sebagai Nyonya Narendrea itu.

"Siapa sih istri lo?" Ananta benar-benar tidak tahan untuk tidak bertanya. "Anaknya Pak Gibran? Atau Pak Hartanto?" Ia mencoba menyebut dua nama pengusaha paling terkenal se-Jakarta—yang semuanya punya anak perempuan seumuran dengan mereka.

Tapi ketika gelengan yang didapatnya, Ananta jadi mengerutkan dahi dalam-dalam.

"Siapa? Bapaknya Crazy Rich Surabayan ya, yang gue nggak kenal?"

Kali ini yang didapatnya hanyalah helaan napas. "Udahlah, Ta. Gue nggak duduk sama lo di sini buat ngomongin dia," tukas Rai yang sontak membuat Ananta duduk terdiam.

Dalam hati Ananta bersumpah bahwa ia akan mencari tahu hingga ke akar-akarnya, perihal wanita mana yang merampas posisi impiannnya sebagai istri Rai itu.

"Lo mau ke mana abis ini?" tanya Ananta berusaha meredakan kemarahan yang melingkupi dadanya.

Ia melihat Rai tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, "lo nggak ada kerjaan kan? Temenin gue minum lah ya. Bisa?"

"Apa sih yang nggak buat lo," kekeh Ananta ketika perempuan itu membayangkan apa yang biasanya terjadi ketika mereka 'minum' bersama.

***

Reana yakin sekali ia sudah mengantuk. Tapi kenyataan bahwa suaminya belum pulang ketika jam bahkan telah menunjukkan pukul satu pagi ini membuatnya merasa gusar.

Ia dan Rai punya sebuah kesepakatan aneh, dimana keduanya akan melakukan hubungan suami istri setiap hari Senin dan Kamis. Selain itu, mereka hanya akan menjadi dua orang asing yang kebetulan tinggal satu rumah.

Istri di Atas KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang