Setelah habis banyak gelak tawa, meja warkop Pak Kus kembali tenang. Bang Kep dan yang lainnya menyeruput lagi gelas kopi yang tinggal setengah isinya.
"Oiya, kemana aja lu rif? Lama ga keliatan." Tanya Bang Kep.
"Udah mulai kerja saya bang."
"Ooh, kerja apatuh?"
"Jadi guru MI bang."
"Wiih keren nih, ngajar pelajaran apa emangnya? Nanti keponakan gua ajarin juga ya."
"Hehe, ngajar olahraga sama bahasa, bang. Boleh tuh nambah-nambah pengalaman lah."
"Naah mantap kalo gitukan. Oiya jadi guru MI bisa juga dong ngajar ngaji?"
"Bisa ko bang."
"Nah sekalian ajarin juga keponakan gua."
"Hahaha, iya bang boleh. Bang Kep nya ga sekalian saya ajarin ngaji juga?"
"Yeeh, gua kasih tau nih lu, gini-gini gua jago kalo ngaji mah, udah iqro 6 gua kalo lu mau tau."
"Hahahaha."
Meja warkop kembali dipenuhi gelak tawa. Bang Kep memang jago melawak, dan yang lainnya juga tak kalah jago. Itulah kelebihan dari orang-orang di warkop ini, dan dengan keahliannya itu, mudah bagi Bang Kep mengambil hati seorang wanita berdarah campuran German. Ya bang Kep punya seorang kekasih blasteran German dan Indonesia.
"Lah kalo Rama kemana aja? Lama juga ga keliatan."
"Ooh saya juga ngajar bang, di kantor tapi. Ngajar anak-anak yang kurang beruntung sih bang, itung-itung bantu mereka."
"Wiih bagus juga ini, tapi ko bisa sama gitu ya kerjaannya kalian berdua? Udah gitu kemana-mana berdua mulu keliatannya."
"Hahaha, sama lah bang kek bangsa ini, bisa bersatu dan berintegrasi gara-gara senasib, yaa kita berdua begitu juga lah."
"Ooh sama-sama senasib jadi cowo ya? Asal jangan nge gay aja kalian."
"Iiih najis gua mah." Sahut Rama.
"Lah gua juga euy, geser dikit sana lu. Nempel bae di gua lu mah."
"Hahahaha."
Dan gelak tawa semakin ramai terdengar.
"Ini mie sama kopinya nak Syarif, nak Rama."
"Terimakasih ya bu." Sigap Rama mengambil pesanannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CerPen(g)
Historical FictionInilah hidup Berjalan dengan adanya henti Tanpa peduli apa yang mengisi Dan tak satupun mungkin kembali Kecuali yang memang mau kembali