Malam semakin sunyi, suara kendaraan bermotor yang di gas kencang hanya beberapakali terdengar, kemudian disusul dengan kesunyian yang berlanjut, pertanda malam semakin larut. Gelas kosong kembali diisi oleh kopi untuk kesekian kalinya. Beberapa pelanggan Warkop Pak Kus pun bergantian datang dan pergi, hingga menyisakan aku dan Rama ditambah beberapa orang yang memang sengaja tidak pulang kerumahnya untuk kembali melanjutkan kerjanya esok hari, menginap. Ada bangunan bekas disebelah warkop yang biasa ditempati, namun tak sekedar untuk bermalam. Serta beberapa orang yang rumahnya berada dilingkungan sekitar warkop, sengaja pulang lebih malam. 'Bukannya hanya buang-buang waktu jika terus seperti itu? Lebih baik melakukan hal yang bisa menghasilkan, uang contohnya.'
Ya begitulah, jika memang hanya uang yang dijadikan hasil. Namun semua tergantung persepsi yang biasanya tercipta karena budaya yang berlaku disekitarnya. Maka kudo'akan, 'mudah-mudah yang bertanya tadi segera sadar akal, supaya tidak segera menjadi dajjal.' Aamiin....
Dibelahan kota lainnya, dimalam yang sama. Hal diluar segala dugaanku, belum pernah sekalipun terbetik dalam pikiran. Hal yang akan kuketahui nanti, setelah sekian lama tidak berkabar dengan mereka berdua.
Ya, Witri dan Faris.
Malam itu adalah malam yang cukup dramatis, bersanding baik dengan kisah mereka. Angin berhembus kencang, kilat dan guntur saling berbalas, mungkin sebentar lagi hujan turun. Dirumah dan kamar masing-masing, mereka berdua bertengkar hebat melalui videocall. Penyebabnya adalah satu hal yang sungguh sering dirasa banyak insan manusia dalam hubungan dengan status resmi dari mereka sendiri, bukan dari hukum yang berlaku dalam negara. Ya, perselingkuhan. Hal yang benar-benar kapiran, jika diributkan. Sebab mungkin satu diantaranya hanya mencinta dengan 'karena' atau bisa jadi satu diantaranya merasa hubungannya sudah tak lagi sehat, toxic, sehingga memilih yang lain yang dirasa lebih nyaman dengannya. Sungguh sia-sia. Dan dalam kisah ini, Faris sungguh merasa tidak nyaman dengan sikap Witri beberapa bulan terakhir yang terkesan mengekang. 'Jangan begitulah, jangan beginilah, harus begitulah, harus beginilah, atau kamu mau aku ngambek!?'. Hahaha sepele sekali bukan?
Apakah wanitanya yang salah? Tidak, kurasa tidak! Karena memang itulah hakikat wanita, ingin hati merasa damai, sama seperti seorang ibu yang menginginkan keselamatan dan kebaikan selalu untuk keluarga. Jadi, salah prianya dong! Tidak juga, kurasa juga tidak. Karena begitulah masa muda seorang pria, ingin bebas mencoba yang dimaui, pengalaman yang banyak, pengetahuan tentang banyak hal, agar kelak nanti punya banyak hal untuk dibagikan, diceritakan bahkan dibanggakan, entah untuk sanak saudara maupun untuk teman baik.Hingga satu saat, entah kebetulan atau memang alam sungguh mendukung. Faris, dalam klik yang biasa ia lakukan pada gadgetnya dengan sosmed tujuannya. Sungguh hal yang sebenarnya sudah biasa ia lakukan, namun malam itu hal yang biasa pun bisa berdampak hebat dikedepannya. Faris melihat snapstory dari mantannya, mungkin iseng yang dipikirkannya, entahlah. Kemudian Faris mencoba menyapa, lagi. Beberapa detik, status pesan menjadi 'dibaca', beberapa detik lagi 'mengetik', jantung berdebar kencang, sedikit terkejut dengan respon cepatnya. 'Ting!'. Pesan masuk diterima.
Yang disapa pun kaget bukan kepalang, tidak menyangka sedikitpun, semenjak kejadian menyesakkan kala dulu. Tiba-tiba menyapa, tanpa perlu peringatan terlebih dahulu untuk menyiapkan diri dan hati. Ya, rasa itu masih ada, selalu ada, menunggu untuk disiram kembali. Dengan napas tertahan, tangan sedikit tergetar, namun senyum tersimpul tak tertahan. Mulai mengetik, membalas sapaan, bertanya kabar, dan seterusnya, dan seterusnya. Hingga tumbuh kembali benih dari bunga yang dulu layu. Cicely sungguh beruntung malam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
CerPen(g)
Ficción históricaInilah hidup Berjalan dengan adanya henti Tanpa peduli apa yang mengisi Dan tak satupun mungkin kembali Kecuali yang memang mau kembali