Kupikir semua sudah berlalu, tanpa sedikitpun sisa yang dapat kujadikan sebagai halu, namun kenyataan semaunya berlaku. Semua kembali beresonansi. Baik yang dalam dan yang berasal dari luar diriku pun bergerak untuk terproyeksi sampai jelas terealisasi, kemudian berputar dan berpilin membentuk berbagai macam jenis ruang kenang, bahkan sungguh sulit bagiku untuk segera beranjak dan menyadari. Dan sungguh, sebab semua masih ada di Bumi.
...
Aku dan Rama melanjutkan perjalanan pulang malam itu setelah menghabiskan sepiring gorengan yang urung dibungkus, bersama segelas kopi masing-masing. Motor kembali di gas, mungkin sekitar 15 menit lagi segera sampai.
"Dan lu tau ram, gua juga bahagia karena tau mereka berdua benar-benar saling mencinta.
"Kalo lu sama Resa gimana ram?"
"Yaah... Bentar lagi nikahlah." Sombong Rama.
"Gua yang jaga prasmanan baksonya dah."
"Kaga lah, lu mah megangin kabel aja di belakang."
"Eek lah."
Tak berapa lama kemudian, aku dan Rama sampai di jalan dekat rumahku, belok kiri, sedikit lurus, dan sampailah di rumahku.
"Assalamu'alaykum bu, abang pulang."
"Wa'alaykumsalam warahmatullahi wabarakatuh, iyaa, masuk bang.
Eeh, ada Rama. Ayo masuk, ibu ambil minum dulu yaa Rama.""Iyaa bu, terimakasih repot-repot." Sahut Rama.
"Duduk dulu ram."
"Iyee.
Eh rif adik-adik lu kapan pulang dari akademi?""Sebulan lagi kek nya dah. Ngapa emangnya?"
"Oooh, semester ini adik lu yang seangkatan sama adik gua lulusan kan ya?"
"Iyee, trus?"
"Kita ajak yok ke warkop pak kus!" Seru Rama semangat.
"Naah, bagus tuh. Tambah rame dah di pak kus nanti." Balasku tak kalah semangat membayangkan keramaian malam di pak kus.
For your information, Pak kus adalah manusia, beliau yang menjaga dan mensukseskan warkop yang sekaligus beliau jadikan tempat tinggal kesekiannya. Kami baru beberapa bulan kenal dengan pak kus dan banyak orang yang langganan nongkrong disitu juga, benar-benar tempat yang hebat dengan segala kesederhanaan, kreativitas, dan kerendahan hati. Tempat yang menambah berbagai macam wawasan hidup.
"Ini Rama diminum dulu, ga usah buru-buru minumnya." Sahut ibuku, kembalinya dari dapur membawa minum.
"Iyaa bu, terimakasih." Angguk Rama sopan.
"Gimana tadi? Lumayan dapetnya?"
"Alhamdulillah bu, bisa inimah buat beli kopi sachet sedus, hehe." Jawab rama.
"Hus, ga baik kebanyakan minum kopi instan itu." Sinis ibuku.
"Eh iyaa bu, bercanda saya mah."
"Oiya bu, malem ini abang mau lanjut nginep di kantor."
"Ooh gitu, jadi abis ini mau langsung?"
"Iyaa bu." Balasku
"Yaudah bang, hati-hati dijalan ya, jangan kemaleman tidurnya."
Sedikit lesu tergurat di wajah ibu.
"Iyaa bu."
Lanjutku menyalimi tangannya, tangan yang sudah banyak kali mengangkat, menahan dan menghadang berbagai macam yang namanya kehidupan. Tangan yang selalu menadah di malam sunyi sembari menguntai banyak harap bahkan hingga menghapus sembab.
Memang selalu berat untuk meninggalkan beliau seorang diri, meskipun ibu sangat paham rasanya ditinggalkan oleh orang yang selalu bersamanya sepanjang waktu berlalu. Ya, papaku.Tidak, bukan sekarang aku menuliskannya. Yaa... Memang segera lebih baik daripada ingatan semakin pudar terkikis waktu.
"Ayo ram, gua yang nyetir sini."
"Nah gitu, pegel tangan gua ni." Dengan segera Rama menghabiskan minumnya, sekali tenggak, kemudian menyalimi tangan ibuku, berpamitan.
"Abang berangkat dulu ya bu, Assalamu'alaykum."
"Iyaa bang, baik-baik di jalan, Wa'alaykumsalam warahmatullah wabarakatuh."
Itulah ibuku.
KAMU SEDANG MEMBACA
CerPen(g)
Historical FictionInilah hidup Berjalan dengan adanya henti Tanpa peduli apa yang mengisi Dan tak satupun mungkin kembali Kecuali yang memang mau kembali