Ramuan Ajaib

19 3 0
                                    


Oleh: Megha_Rhie


"Lah, kenapa?"

"Nggak pa-pa. Pulang aja, yuk."

"Tapi ...."

"Ayolah," rengekku pada Melsa. Dengan muka kesal dan juga bibir monyong, Melsa mengikuti langkahku. Sebenarnya aku juga nggak enak, tapi aku mulai nggak nyaman. Daripada terjadi hal yang tidak diinginkan, lebih baik kehilangan uang saku selama satu minggu untuk membayar makanan yang sudah di pesan dan belum sempat di makan.

"Din! Kenapa sih lu? Sayang kan makannya ditinggal gitu saja," protes Melsa ketika kami berada di dalam mobil.

"Mel, kamu mau kita jadi santapan gadun-gadun yang ada di depan kita?"

"Dindaaa, lu tau dari mana, sih?" pekik Melsa sambil memutar bola mata.

"Mel, aku bisa lihat kalau makanan yang kita pesan itu udah dikasih obat tidur. Dan pelakunya mereka. Mereka yang duduk tepat dihadapan kita."

"Dindaaa, kalau halu tuh nggak usah keterlaluan. Orang jelas-jelas yang nganter makanan ke meja kita tuh Mbak-mbak waiters." Setelah itu kami sama-sama diam—tidak mengeluarkan satu kata pun. Dari raut wajahnya, aku yakin Melsa marah. Tapi, ini juga demi keselamatannya.

Duh, aku bingung harus bagaimana? Jika jujur, Melsa pasti tidak percaya dan bilang kalau aku halu. Tapi ....

"Mel," panggilku ragu-ragu. Aku tahu sifat Melsa jika sedang marah. Dan benar saja, panggilanku tidak membuatnya bergeming.

"AWAAAS!" Astaga! Kenapa semua bisa berhenti? Orang, motor, mobil, semua seperti patung. Mirip seperti yang sering aku tonton di film-film. Dan semua ini nyata. Terjadi di depan mata. Tapi tunggu! Apa penyebab semua ini? Apa karena teriakanku?

"Mel, Melsa! Bangun, Mel!" Melsa pun seperti patung. Apa yang terjadi denganku? Kenapa hanya aku yang bisa bergerak dan berbicara? Tunggu! Di mana anak yang barusan lewat di depan mobilku? Apa aku menabraknya? Apa dia ...?

Aku bergegas turun dari mobil untuk memastikan bahwa anak itu baik-baik saja. Astaga! Semuanya berhenti. Bahkan lampu lalu lintas saja diam. Ada apa dengan suaraku? Apa jangan-jangan ramuan yang aku minum itu membuat suaraku bisa menghentikan waktu? Jika, iya? Lalu bagaimana mengembalikan semua ini seperti sediakala?

Di sebuah ruangan yang berada tepat di samping kamarku, aku mengintip Ayah yang kelihatannya tengah sibuk mencampurkan beberapa cairan ke dalam tabung kecil yang aku sendiri tidak tahu namanya. Yang kulihat hanya kepulan asap keluar dari tabung itu. Tepatnya setelah Ayah mencampurkan cairan berwarna merah. Dalam batinku bertanya, "Apalagi ini?"

"Astaga!" Ups! Aku segera menutup mulut. Jantungku terasa mau loncat setelah melihat apa yang terjadi dalam ruangan itu. Ayah berubah menjadi monster yang sangat mengerikan setelah meminum cairan yang ia buat tadi. Gila! Ini sangat mustahil. Ini dunia nyata bukan fantasi. Tubuhku lemas seketika ketika satu tepukan mendarat di pundakku.

"Ayah?" Aku membelalakkan mata melihat dengan seksama untuk memastikan siapa yang berada di hadapanku saat ini.

"Kamu kenapa? Kenapa mukamu pucat? Lalu, sedang apa di sini?" cecar Ayah.

"Ti-tidak, Yah. Di-Dinda masuk kamar dulu, ya." Dengan langkah gontai, aku segera masuk kamar. Setelah mengunci pintu, aku langsung membaringkan tubuh dan menutupinya dengan selimut. Sungguh, keringat begitu deras mengucur dari seluruh bagian tubuh. Aku takut. Aku tidak percaya dengan apa yang aku alami hari ini. Kejadian di jalan, lalu kejadian di ruangan Ayah ... aku berharap ini mimpi. Tapi ternyata ini nyata. Ayahku monster. Tidak! Ayah adalah manusia. Perang antara batin dan logika pun terjadi.

****

Seperti pagi sebelumnya, pagi ini pun Ayah sudah menyiapkan sarapan untukku sebelum pergi ke sekolah. Katanya, aku tidak boleh makan, makan siap saji. Namun, pagi ini aku tidak ingin makan, makanan yang Ayah hidangkan. Jangankan memakannya, melihatnya saja, asam lambungku langsung naik. Bukan tanpa sebab, tapi saat aku hendak ke kamar mandi, aku melihat Ayah mencampurkan sesuatu ke dalam makanan itu. Warnanya merah seperti darah. Namun aku yakin itu bukan darah. Yang aku takutkan, cairan yang Ayah minum semalam. Aku tidak mau jadi moster.

"Nak, ayok duduk. Kita sarapan bareng." Suara itu berhasil menarikku dari lamunan.

"Ti-tidak, Yah. Dinda sudah kesiangan."

Baru saja tanganku memegang pegangan pintu, dari belakang seseorang menarikku dengan kasar. Ya, itu Ayah. Ayah terlihat sangat marah. Mukanya memerah. Kalian tahu tidak? Aku sampai pipis di celana saking takutnya.

"Kamu tidak boleh pergi sebelum memakan semua hidangan yang sudah saya siapkan," pekiknya. Ini kali pertamanya aku melihat sosok yang selama ini merawatku dengan lemah lembut bertindak kasar.

"Aku sudah merawatmu dengan susah payah. Sekarang kamu harus membalas itu semua. Kamu harus melakukan apa yang saya perintahkan. Minum ramuan ini, lalu pergi ke kota. Hancurkan semua gedung yang ada di sana," tekannya. Ucapannya terjeda untuk beberapa saat. Jangan untuk menjawab ucapannya, untuk sekedar bernapas saja begitu sulit. Leherku dipegangnya dengan cukup erat.

"Dan satu lagi yang harus kamu tahu, aku bukan Ayahmu. Aku adalah orang yang telah melenyapkan Ayah dan Ibumu. Mereka telah menjadi kelinci percobaanku!" tegasnya yang diiringi gelak tawa. "Pasti kamu bertanya kenapa kamu masih hidup dan tidak dijadikan kelinci percobaan seperti mereka? Karena kamu mempunyai kelebihan. Kamu bisa melihat masa depan."

Jadi selama ini Ayah selalu bertanya apa yang aku alami, apa yang aku lihat, dan apa yang aku ketahui hanya untuk ....

"Sekarang minum ini!"

"Daripada aku harus meminum itu, lebih baik bunuh saja aku, Yah. Aku tidak mau melakukan itu. Itu tindakan—"

"Diam!"

"Jangan bergerak!"

"Dinda ... lu nggak pa-pa, kan?" tanya Melsa sambil memelukku.

"Aku baik-baik saja, Mel. Terima kasih, ya." Untung saja semalam aku sempat mengirimkan pesan kepada Melsa tentang apa yang aku lihat. Dan untungnya lagi, Melsa datang tepat waktu dengan membawa polisi.

"Terima kasih atas kerjasamanya. Kalau begitu kami permisi. Selamat pagi."

Astaga! Ternyata selama ini Ayah adalah buronan. Ayah adalah seorang ilmuwan yang menyalahgunakan ilmunya. Pantas saja selama aku hidup dengannya, setiap kali keluar rumah, Ayah selalu memakai masker dan atribut lainnya. Aku kira Ayah alergi udara luar. Tapi ternyata ....

ANTOLOGI KEEMPAT KCTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang