90%÷6

32 8 6
                                    


𝓡 𝓱 𝓪 𝓹 𝓼 𝓸 𝓭 𝔂
ʙᴀɢɪᴀɴ ᴋᴇᴛɪɢᴀ

Aku terkejut bukan main saat ia memanggil Tari. Siapa Tari?

"Tari? Siapa Tari?" kataku dengan penuh kebinggungan.

"Jangan menelponku, aku sedang sibuk, Tari!" Ia langsung mematikan teleponnya.

Aku hanya menatap ponselku sambil memikirkan siapa Tari? Apakah dia tidak tau jika aku yang menelpon? Apakah dia keceplosan? Tapi Tari siapa?

Air mataku tiba-tiba saja turun. Merasakan hatiku sesak dibuatnya.

***

"Senna!"

Aku menoleh saat seseorang meneriakan namaku. Oh, itu Jimin. Teman sekelasku sejak kelas 10. Aku menatapnya seolah bertanya ada apa.

"—mau ke kantin?"

Aku mengangguk, "iya, Jim. Laper."

"Bareng boleh? Sekalian ada yang mau aku tanyakan."

Aku setuju saja. Kami berdua berjalan menyusuri koridor sekolah untuk pergi ke kantin. Oh iya, biar sedikit kujelaskan tentang Jimin.

Park Jimin, begitu nama lengkapnya. Dia pindah dari Seoul, dan lebih memilih tinggal di kota kecil seperti sekarang. Katanya, Seoul terlalu berisik. Aku tidak bisa konsentrasi belajar. Lagi pula, panas di sana. Aku tidak suka. Ah, seperti itu memang dia.

Dia sainganku sejak kelas 10. Kami berdua selalu berebut untuk mendapat posisi satu di kelas. Kadang aku yang mendapatkan, kadang juga dia. Tapi untuk semester terakhir, aku yang mendapatkannya.

Sesampainya di kantin, aku memesan nasi goreng dan teh hangat. Sedangkan Jimin memesan mie goreng dan air putih.

"Ngomong-ngomong, tumben tadi nilaimu dibawah 70, En? Apa kamu lupa kalau ada ulangan harian biologi hari ini?" tanya Jimin.

Sebenarnya bukan itu Jim. Aku sudah belajar dengan keras untuk itu, "aku kurang tidur semalam."

"Membaca Novel Eyang Sapardi lagi? Yang Hujan Bulan Juni?"

Aku tertawa, dia paham bahwa itu kebiasaanku, "iya, Jim. Memang untuk apalagi aku tidur larut jika tidak untuk buku istimewa itu?"

Tidak Jim. Aku berbohong.

Jimin hanya menggeleng, "tidak seru jika nilaimu anjlok. Aku bisa mendapat peringkat satu dengan mudah kalau begitu."

"Siapa yang bilang kamu bisa mengambilnya dari tanganku? Aku hanya gagal di satu ulangan saja, Park Jimin. Satu ulangan saja. Lihat saja di ulangan bahasa inggris kamis ini, aku akan mendapatkan nilai sempurna!"

Dia menatapku mengejek, "terlalu pede itu tidak baik, Senna."

"—lagipula bahasa inggris adalah bahasa sehari-hariku, Senna. Jangan lupakan itu." sambungnya menyombongkan diri.

"Kamu sama saja. Bahkan bahasa Korea yang sudah jelas bahasa sehari-harimu saja, kamu tidak mampu melampaui nilaiku. Jangan sombong." kataku tak mau kalah.

[𝗠𝗬𝗚] RhapsodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang