√4^(2)×4−1

2 0 0
                                    

Yoongi menatap ke arah tiket pesawat yang dipegangnya. Penerbangan ke Seoul dua hari lagi. Bahkan ia belum memberitahu Senna soal ini. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini pilihan terbaiknya. Walau akan sama-sama menghancurkan mereka.

"Tidak ada niatan mengajak Senna keluar dan membicarakan ini baik-baik?" ucap Namjoon disela telepon.

Yoongi berpikir sebentar, "kupikir dia masih sibuk."

"Datanglah ke rumahnya. Ajak dia ke Absan Park, atau ke menara 83."

"Aku tidak membutuhkan saranmu."

"Buat ini jelas sebelum terlambat, Yoon. Terlebih kau tau sendiri ...." Namjoon menggantungkan ucapannya.

"Tau soal apa?"

"Tidak apa-apa. Temui dia."

"Apakah sekarang waktunya?"

"Bodoh sekali kau bertanya seperti itu. Jika esok kau baru memberitahunya, apakah dia akan lega? Bukankah setidaknya sebelum kau pergi, kau harus memastikan perasaannya?"

Yoongi mencerna perkataan Namjoon.

"Pergilah."

"Pukul 7 malam sekarang. Apakah dia mau menemuiku?"

"Telepon dia. Pastikan itu. Sudah, aku tidak ingin mendengar pertanyaan bodohmu itu lagi." Namjoon lalu memutuskan sambungan teleponnya.

Yoongi menarik napas panjang. Merangkai kata-kata yang cocok untuk memberitahu Senna. Dan bagaimana caranya agar gadis itu tidak marah dengannya.

.
.
.
.

"Maaf, ya, En. Motornya agak bermasalah. Harusnya tadi aku pakai mobil." Jimin tak henti-hentinya meminta maaf kepadaku, "kita jadi harus jalan kaki deh. Maaf, ya?"

Aku tertawa, "tidak apa-apa, Jim. Aku malah lebih suka jalan kaki. Lagian sudah dekat kok." ucapku sambil membenarkan posisi tas kecil yang kupakai, "Yefa lucu, ya. Aku jadi ingin adik perempuan." lanjutku sambil terus berjalan menuju rumah.

Waktu di pertigaan dekat toko roti, motor Jimin tiba-tiba terasa berat. Waktu kami mengeceknya, ternyata ia kempes. Dan kebetulan ada bengkel yang masih buka saat jam 9 malam. Dari awal Jimin menyuruhku naik taksi atau ojek saja, tapi aku menolaknya. Karena pertigaan ini tidak terlalu jauh dari rumahku. Hanya perlu 10-15 menit dengan berjalan kaki. Lagipula aku sudah mengabari Ibu dan Abang.

"Iya, Yefa memang lucu. Senang sekali tadi dia menyukai hadiahku. Ah, terima kasih Ahn Senna. Kamu sudah banyak membantuku." balas Jimin.

"Santai saja, Jim. Kamu terlalu banyak meminta maaf."

Bugh!

Satu pukulan melesat ke ujung bibir Jimin. Membuat laki-laki itu langsung terdorong ke belakang, dan berakhir di atas aspal sambil memegangi bibirnya, nampak berdarah.

Aku langsung melihat ke arah orang yang memukul Jimin dengan tiba-tiba. Y-yoongi?

"Yoongi-ssi! Bagaimana bisa kamu melakukan ini?! Sudah kehilangan akal, hah?!" Aku langsung membentak Yoongi dan menghampiri Jimin, "tidak apa-apa, kan? Ayo, aku bantu." aku membantunya berdiri. Jimin nampak kesakitan sambil memegangi sudut bibirnya, "astaga, bibirmu berdarah!"

Yoongi tiba-tiba menarik tanganku, "Senna, kekasihmu di sini!" bentaknya sambil menatapku tajam.

Aku balas menatap mata hitamnya, "maksudmu apa? Mau jadi jagoan kamu?"

"Kamu tanya maksudku apa?" Yoongi menunjuk Jimin, "laki-laki ini Senna. Kamu bilang kamu tidak ada waktu denganku, lalu kau keluar berduaan dengannya?!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 31, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[𝗠𝗬𝗚] RhapsodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang