14. Berburu Ubur-Ubur (II)

103 19 25
                                    

"Rumah Sungsang dimana, sih, Muel?! Ini kita udah muter nih jalanan dua kali!" Misuh Seno. Pandangannya masih menghadap ke depan karena dirinya tengah mengendarai motor. Sesekali ia melirik Samuel melalui kaca spion kiri, memastikan Samuel tengah melihat maps digital itu dengan benar.

Kepala Samuel menoleh ke kanan dan kiri. Lalu ia menunduk, kembali memastikan titik koordinat yang telah diberikan Ensang. "Ensang tinggal di alam ghoib kali, ya, Sen? Rumahnya gak jelas gini ada dimana."

"Ndasmu!" ((Pala lo!))

Setelah menyusuri jalan itu sekali lagi, akhirnya mereka berhenti di depan gerbang salah satu rumah. Mereka memastikan rumah itu dengan cermat, membandingkan bentuk rumah itu dan gambar yang tertera di maps.

Samuel menatap Seno bingung. Dengan alis mengernyit ia berkata, "kok, beda, ya?"

Seno yang juga tak tau apa pun hanya mengedikkan bahunya, diiringi lengkungan bibir kea rah bawah. "Everything can change, Muel."

"Sok bule lu, ah."

Samuel mengintip ke sela-sela pagar kayu yang setinggi dua meter itu. Dari sela kecil itu ia melihat rumah yang sudah mulai usang. Warna catnya tak lagi cerah, rumput di halamannya pun sudah cukup tinggi. Rumah itu tampak seperti... tak terurus?

"Lo yakin Sungsang tinggal di sini?" Tanya Seno yang sudah ikut-ikutan mengintip ke dalam pekarangan rumah.

"Kalau dilihat dari titik koordinatnya, sih, ini yang paling memungkinkan."

"Pintu depannya dibuka. Ada tamu kali, ya? Eh. Tapi, kok, gak ada kendaraan, ya? Apa tamunya jalan kaki?"

Samuel yang sedang sibuk memantau, melirik ke arah Seno dengan wajah sebal. "Lo kesini mau jemput temen lo, bukan nyelidikin kasus penyelundupan ikan cupang!"

Seno balas melirik ke arah Samuel dengan decihan dan cibiran kecil. Ia bahkan mengangkat salah satu ujung bibirnya sambil mengikuti omongan Samuel barusan dengan nada yang dilebih-lebihkan.

Di saat sedang asik saling bacot, Samuel dan Seno tersentak kaget saat mendengar bentakan keras dari arah dalam rumah. Dengan cepat mereka mengintip lagi dari sela-sela pagar kayu tersebut, memastikan apa yang terjadi di dalam sana.

Tampak seorang lelaki paruh baya keluar dari rumah itu sambil menarik seorang pemuda yang hampir setinggi dirinya. Wajahnya menunjukkan ekspresi marah yang menggelora. Ditambah lagi, tarikan lelaki itu tampak kuat.

"Lepasin!" Teriak orang yang ditarik lengannya itu. Pemuda itu mengijak rem pada dirinya sendiri, menahan agar dirinya tak terseret lagi. "Udah aku bilang kan kalo aku gak mau ikut?!"

"Mau ngapain kamu di sini, hah?! Di sini kamu hidup susah! Kamu mau hidup susah begini terus, hah?"

"Tapi ini lebih baik dari pada aku harus pergi dari sini!"

PLAK.

Tamparan keras sampai ke pipi kiri pemuda itu. Lelaki paruh baya yang memukulnya barusan itu menatap pemuda itu marah. Ia bahkan tak merasa bersalah karena telah melayangkan tamparannya.

Di tengah pertengkaran kedua orang di teras itu, tiba-tiba muncul lagi seorang pemuda dari dalam rumah. Kaki kanan pemuda itu pincang, ketara sekali saat ia berjalan.

"Papa," panggil cowok pincang itu dengan tangisan yang deras. Ia berusaha meraih lengan lelaki paruh baya itu dengan langkah pincangnya.

Seno dan Samuel yang diam-diam mengintip perkelahian itu, membulatkan mata serempak. Mereka saling bertukar pandangan kaget satu sama lain. Mereka mengintip lagi ke arah dalam, memastikan orang yang mereka lihat tadi adalah orang yang mereka kenal.

BOSOM FRIENDs (02 L) - CHAPTER 1 : such a bad dreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang