21. Bantuan Untuk Tae

65 15 0
                                    


Tae menuruni satu persatu anak tangga di rumahnya. Wajahnya yang lebih sering berekspresi datar itu, hari ini menyembunyikan kesedihan yang luar biasa. Ia masih ingat bagaimana semalam ia dibentak habis-habisan oleh ayahnya karena dirinya berteman dengan rombongannya yang sekarang dan sering pergi keluar untuk bermain.

Tae merasa hidupnya tak adil. Kenapa di saat anak-anak yang lain boleh bermain dan berteman dengan siapapun, Tae justru dikekang dan terus-terusan dipaksa untuk belajar. Padahalkan, Tae juga ingin menikmati masa SMA-nya.

Bukannya ia tak akan belajar dan terus-terusan bermain. Tae hanya ingin bernafas sedikit di tengah-tengah padatnya kegiatan belajar. Tae juga mau me-refreshing otaknya. Sesekali, ia menginginkan healing.

Belum sampai anak tangga terakhir, sebuah suara mengintrupsi Tae dan membuat langkahnya terhenti. "Tae, bangunkan Jeka," ucap sang papa dengan suara beratnya.

Taetak menjawab, cowok bermata besar itu hanya mengangguk dengan bibir yang ditipiskan. Lalu kembali menaiki anak tangga untuk membangunkan kakak pertamanya.

Di saat tangan Tae hendak membuka knop pintu, ada suara orang mengobrol dari arah kamar yang membuat Tae mematung. Ia mengernyitkan dahinya dan memajukan kepala perhalan agar mendekat ke pintu kamar Jeka. Ia sengaja tak bersuara agar tak ketahuan saat menguping pembicaran kedua orang itu dari dalam.

"Elo, sih, Bang." Tae tersentak kaget. Sebentar, bukannya itu suara kakak perempuannya, Helena? Kenapa kedua kakaknya berbicara secara sembunyi-sembunyi, seolah itu penting dan sangat rahasia?

"Gara-gara elo dulu gak mau ambil jurusan hukum dan banting stir ke seni, Papa malah menjadi-jadi kekang si Tae. Gue kasihan sama dia gara-gara semaleman diomelin papa."

Tae memundurkan kepalanya. Ia mengerjapkan mata berulang kali, menatap pintu kamar Jeka.

Masih penasaran, kini Tae kembali mendekatkan kepalanya ke arah pintu. Bahkan daun telinganya menempel tepat di pintu yang dicat cokelat itu.

"Ya, gue, kan, emang gak mau ambil hukum, Len. Gue juga pengen nemuin kesuksesan gue sendiri, sesuai dengan minat dan bakat gue. Gue bukan bonekanya papa, kali."

"Trus, Tae gimana?"

"Elo coba bantu bujuk Papa. Kalau gue yang bujuk, auto dilempar ke kandang buaya darat gue."

"Tck. Elo, tuh, jadi anak pertama kagak ada tegasnya."

"Len, denger, ya. Gue berani gelud satu banding dua puluh. Tapi asalkan jangan Papa. Emangnya elo mau punya abang ganteng, tapi malah dijadiin patung arca gara-gara dikutuk sama bokap?"

"Gak guna lo, ah."

Di saat merasakan ada yang berjalan dari arah dalam kamar, Tae sedikit panik. Dengan cepat ia berjalan ke tangga. Tae menunggu seseorang keluar dari kamar Jeka. Setelah melihat pintu terbuka dan menunjukkan sosok Helena di ambang pintu, Tae mulai melangkah, seakan orang yang baru saja tiba di lantai atas.

Helena tampak terkejut saat melihat Tae yang berdiri di lorong kamar. Helena berusaha keras menyembunyikan gugupnya, dalam hati ia berdoa agar obrolannya dengan Jeka tak terdengar oleh Tae.

Tae mengangkat alis. Ia memasang wajah pura-pura tak tau di depan Helena yang tengah keringat dingin. "Kak Helen abis bangunin Bang Jeka?"

"Ha?" Helena kebingungan. Namun ia segera tersadar dan menganguk kaku. Helena tergagap, "i-iya. Gue abis b-bangunin Jeka." Helena menoleh ke arah belakang. "Bang, gak usah tidur lagi. Cepet ke bawah terus sarapan."

Jeka yang masih di dalam kamar, menatap Helena kebingungan. Ia bertanya kebingungan saat Helena terus-terusan memberikan kode-kode yang berupa ekspresi wajah yang membingungkan Jeka.

BOSOM FRIENDs (02 L) - CHAPTER 1 : such a bad dreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang