Sagara: Betul-betul Pulang

7.3K 1.1K 341
                                    


SAGARA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SAGARA

Kayaknya ini pertama kalinya gue bakal cerita dengan cara yang lebih santai daripada biasanya.

Mulai dari mana, ya? Karena kayaknya gue udah cerita banyak hal tentang diri gue.

Mungkin, gue akan mulai dari keluarga gue, karena gue jarang secara gamblang menceritakan mereka.

Gue lahir dari keluarga yang cukup sederhana. Papa memulai karirnya dari nol sebagai karyawan swasta di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang periklanan. Sekarang usia Papa udah 60 tahun, tapi masih giat bekerja sebagai Direktur Personalia di salah satu perusahaan besar yang ada di Tangerang.

Mama dulunya sempat kerja di Bank, tapi pensiun dini di usia 55 tahun karena udah keburu capek. Sekarang Mama cuman jadi ibu rumah tangga, menikmati hari tuanya sambil main sama cucu dan ngerawat tanaman hias. Halaman belakang rumah gue udah resmi jadi hutan belantara semenjak 5 tahun lalu Mama pensiun kerja.

Mama sama Papa seusia btw, mereka ketemu di kampus sebagai teman satu fakultas. Mama ngambil jurusan Akuntansi, sedangkan Papa ngambil jurusan Manajemen Pemasaran. Mereka kuliah di salah satu kampus swasta di Bandung.

Papa gue aslinya orang Bandung, sedangkan Mama gue ada keturunan jawa karena Eyang gue dua-duanya orang Jogja. Tapi, Mama lahir di Tangerang, jadi secara teknis beliau lebih ke tangerangian, sih.

Karena Papa asli Bandung, kami sekeluarga dulu sempet tinggal di sini—buat gue, Bang Wira dan Jendra, kami cuman sempet menghabiskan masa kanak-kanak di Bandung, tapi Mbak Tari menghabiskan masa remajanya di sini. Dia bahkan sempet masuk SMA di Bandung, sebelum waktu kelas 11 harus pindah ke Tangerang.

Gue nggak begitu ingat masa kanak-kanak gue ketika tinggal di Bandung, tapi pertemuan gue dengan Bang Gilang di kampus, yang notabene adalah tetangga masa kecil gue, sedikit demi sedikit membawa kenangan-kenangan itu kembali ke permukaan.

Aneh aja, gue bisa-bisanya nggak inget sama masa kanak-kanak gue ketika tinggal di sini, sedangkan sekarang gue rasanya nggak rela meninggalkan Bandung dalam waktu yang lama.

Gue bahkan nggak inget pernah ketemu Laras—cewek gue yang sekarang—padahal kata Bang Gilang dulu itu anak sering banget ngintilin dia waktu mau main sama gue.

Nggak tahu, deh, antara guenya yang pelupa, atau emang dulu momen gue sama dia nggak terlalu berkesan. Yah, namanya juga masih kecil, memorinya samar-samar.

Ngomong-ngomong, gue anak ketiga dari empat bersaudara. Kakak gue yang pertama, Mbak Tari, usianya 7 tahun di atas gue dan udah menikah beberapa tahun lalu. Sekarang dia udah dikaruniai anak yang usianya masih satu tahun (gue lupa spesifiknya berapa, tapi seinget gue ya satu tahun. Dia udah bisa jalan btw), namanya Lavina, biasa dipanggil Lala.

Gue nggak begitu deket sama Lala karena dia lahir waktu gue lagi ada kontrak kerja di Balikpapan. Gue juga cuman pernah beberapa kali doang pulang ke Tangerang, jadi nggak sempet ngajak dia main. Terakhir ya, waktu awal tahun ini, pas Bang Wira nikah.

Tentang KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang