Tirta: Persepsi dan Tujuan

12.9K 1.6K 866
                                    


TIRTA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

TIRTA

Gue lahir dengan diberi nama Tirta Adryansyah Birawa oleh Ayah gue hampir dua puluh enam tahun yang lalu.

Kalian bisa lihat sendiri, kan? Nama gue kece abis dan ganteng kayak orangnya. Sialnya, temen-temen gue punya panggilan lain yang lebih sering mereka pake buat manggil gue.

Titit.

Sangat nggak senonoh dan nggak berwibawa. Membuat gue nggak habis pikir kok bisa-bisanya mereka tega mengatai gue dengan nama alat vital laki-laki apalagi kalo lagi di tempat umum. Orang-orang pasti bakal mandang kami kayak sampah masyarakat karena berani-beraninya menyebut alat vital laki-laki secara terang-terangan.

Sebenarnya, asal muasal gue bisa dipanggil Titit adalah, karena nama gue Tirta. Dulu pas jaman masih awal-awal jadi mahasiswa, sekitar semester 2-an lah, si Ijal suka banget manggil gue Tita nggak pake R di tengahnya. Katanya lucu aja gitu, biar lebih akrab.

Awalnya gue biasa aja, dan nggak begitu mempermasalahkan. Tapi kemudian, temen-temen gue yang lain latah. Mereka jadi ikut-ikutan manggil gue Tita kayak si Ijal. Terus, Tiara ngaco aja suka tiba-tiba manggil gue "Tit!"

Dan dari situlah, Ijal punya ide buat manggil gue dengan lebih akrab lagi ketimbang Tita. Yaitu, Titit.

Tentu aja ide gila Ijal disepakati oleh semua orang secara nggak sadar. Kecuali Regan sama Sagara yang jarang manggil gue begitu. Mereka masih kategori normal manggil gue Tirta. Tapi Sagara kadang kalo lagi iseng juga suka ikut-ikutan manggil gue Titit, yang pada akhirnya, gue maklumin aja semau mereka.

Maksudnya, panggilan itu juga jadi terdengar lebih akrab dan easy listening kendati punya arti yang nggak senonoh.

Saat ini gue bekerja sebagai jurnalis di salah satu kantor redaksi media cetak di Bandung. Pasti orang-orang bertanya-tanya, gue bukan lulusan Ilmu Komunikasi atau bahkan Sastra, kok bisa nyasar jadi jurnalis?

Yah, sebenernya, ini option terakhir gue setelah 4 kali pindah-pindah kantor dan berakhir nggak nyaman kerja kantoran yang bener-bener LITERALLY duduk depan komputer setiap hari sampe pinggang encok.

Gue tuh anaknya jiwa petualang gitu, ngerti gak, sih? Jadi pekerjaan yang diem seharian di depan komputer atau di dalem ruangan jelas nggak cocok buat gue.

Gue perlu pekerjaan yang turun ke jalan atau ke lapangan kemudian berinteraksi dengan orang-orang. Meskipun gue nggak bisa dibilang berkepribadian ekstrovert, tapi gue juga bukan yang introvert banget sampe harus ngurung diri seharian doing nothing.

Gue berjiwa bebas. Makanya kenapa cita-cita gue sebenernya pengin pure mengabdi menjadi anak band sejati. Keren dan digilai cewek-cewek indie di luar sana.

Tapi, apa daya, kan? Hidup ini harus realistis, dan menjadikan bermusik sebagai tujuan hidup sepenuhnya nggak bisa bikin gue hidup kaya raya. Iya. Gue emang matrealistis, tapi jujur aja deh, kalian semua juga pasti punya sepercik jiwa ini cuman gengsi aja mau ngaku.

Tentang KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang