Chapter 8

1.8K 356 55
                                    

Hari ini [Name] berkabung atas kematian ibunya. Ibunya dimakamkan di pemakaman keluarga yang terletak tidak jauh dari lokasi rumah keluarga [Name] berada.

Foto wanita cantik disenderkan pada batu nisan. Pada batu nisan itu terukir nama ibu [Name] dan Liana, yang mana juga merupakan istri dari ayah mereka sang kepala keluarga.

Liana nampak menangis sembari memeluk buket bunga mawar berwarna putih, sedangkan sang ayah menundukkan kepala untuk mengamati foto istrinya yang telah tiada. [Name] sendiri terdiam, berdiri di bawah pohon yang terletak cukup jauh dari kerumunan orang-orang dan juga makam ibunya.

[Name] menatap kosong ke arah makam sang ibu. Ia tak berani mendekat, takut air mata akan mengalir lagi untuk yang kesekian kalinya.

[Name] tahu jika sang ibu kurang mencintainya, tapi sungguh [Name] tidak bisa membenci sosok ibunya. Meski ibunya terkesan galak, tegas, dan jahat, tapi [Name] tahu masih ada sedikit rasa kepedulian di dalam hati ibunya terhadap diri [Name].

Ketika acara pemakaman berlangsung, awan biru berubah kelabu. Setelah peti mati berhasil dikuburkan, langit ikut menangis. Air mata langit membasahi tanah, juga menimbulkan suhu dingin yang membuat suasana duka lebih terasa menyedihkan.

Ketika hujan semakin bertambah deras dan orang-orang mulai membubarkan diri, begitupula dengan Liana dan ayahnya, hanya [Name] yang masih setia berdiri di sana.

Seorang pelayan pria yang berdiri di dekat [Name] segera membukakan payung untuknya, lalu menutupi kepalanya dari guyuran air hujan. Meski mereka berteduh di bawah pohon, sungguh pohon itu tidak bisa membuat [Name] yang berdiri di bawahnya tetap dalam keadaan kering.

Seorang gadis berambut kecoklatan tiba-tiba datang mendekati [Name]. [Name] melirik ke arah gadis itu dan menatapnya dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Gadis itu cantik. Ia menggunakan kaus putih serta cardingan hitam, juga rok hitam dengan panjang di bawah lutut.

Gadis itu tersenyum tipis, lalu menepuk pundak [Name] berkali-kali. [Name] tidak membalas senyum gadis itu. [Name] justru bergetar, ia menggigil di bawah rasa takut.

"Ka—Karina..." ucap [Name] tanpa sadar.

"Senang atas kematian ibumu," ucap Karina sambil terkikik pelan. "Sayang sekali bukan kau yang mati atas penyerangan tadi malam. Jika kau yang mati, aku pasti bisa tertawa di pemakamanmu."

Tangan [Name] terkepal erat. Ia menatap nyalang ke arah Karina. Karina yang ditatap demikian justru sama sekali tidak terlihat takut. Ia malah terlihat menahan tawa akan reaksi yang ditunjukan oleh [Name].

"Jang—"

"Kalian," ucap seseorang memotong ucapan Karina.

Ketika Karina hendak kembali menyulut emosi [Name], ucapannya terpotong karena perkataan yang dilontarkan oleh orang lain. Perkataan itu terdengar begitu dingin, penuh akan nada intimidasi. Karina sontak menoleh ke belakang, begitupun dengan [Name].

[Name] seharusnya merasa lega karena ada seseorang yang datang untuk menghentikan pertengkaran mereka. Namun, perasaan lega itu lenyap karena [Name] tahu siapa orang yang telah memotong perkataan Karina sebelumnya.

Orang yang telah menghentikan pertengkaran mereka tidak lain adalah ayah [Name]. Pria itu memandang Karina dengan penuh aura intimidasi, tapi Karina tak terlihat gentar sedikitpun.

"Apa yang kau lakukan dengan putriku?"

Karina menyeringai. Ia terkekeh sambil menutupi mulutnya bak seorang perempuan yang penuh akan sopan santun meski kenyataanya tidaklah begitu.

"Aku datang ke sini tentu untuk mengikuti upacara pemakaman keluargamu. Aku turut bersedih akan kematian istrimu, paman."

"Kau turut bersedih? Sepertinya aku mendengar kalimat yang berbeda sebelumnya. Jangan berbohong, dasar gadis tidak tahu malu. Kau sama saja seperti orangtuamu, kotoran!"

Kata-kata yang diucapkan oleh ayah [Name] begitu tajam. Penuh akan amarah dan juga benci. Karina yang mendengar kata-kata penuh hujatan itu terdiam lama. [Name] kira Karina merasa kesal dan segera akan berteriak atau menangis setelah mendengar kata-kata ayahnya. Namun, pemikirannya itu ternyata salah.

"HAHAHAHAHA!!!"

Karina tertawa terbahak-bahak. ia tertawa dan terus tertawa hingga ia memegangi perutnya sendiri karena merasakan keram.

[Name] mengerutkan dahi, sangat bingung dengan reaksi Karina. Gadis itu benar-benar gila! Itu yang dipikirkan oleh [Name].

[Name] kembali menatap wajah ayahnya. Wajah sang ayah nampak menggelap. Ia menggertakkan gigi dan tatapannya begitu mirip dengan tatapan seekor harimau yang akan segera menerkam mangsanya.

Karina berhenti tertawa setelah kehabisan napas. Ia lalu melihat jam di pergelangan tangannya dan kedua matanya langsung membulat sempurna.

"Oh, sudah saatnya! Aku harus menjumpai Estella sekarang."

Karina berlalu pergi begitu saja, kemudian melambaikan tangan setelah jaraknya dengan [Name], ayah [Name], dan juga pelayan [Name] sudah berjarak cukup jauh.

Ayah [Name] berdecak kesal sembari menggaruk kulit kepalanya yang tidak gatal. Ia lalu menatap ke arah [Name] dan tatapannya itu berhasil membuat [Name] takut dan akhirnya menundukkan kepala.

"Jika kau bertemu gadis itu lagi, langsung bunuh dia. Jangan biarkan dia menjelekkan kamu, termasuk keluarga kita juga!"

"Kalau begitu kenapa bukan ayah saja yang membunuh dia?" Tanya [Name] takut-takut.

Sang ayah berdehem beberapa kali sambil membuang muka ke arah lain, "Sebagai orang dewasa, tidak sepatutnya bagiku membunuh anak-anak."

[Name] tersenyum tipis. Ia tahu jika sang ayah memang tidak kuat hati untuk membunuh anak-anak. Mungkin ayahnya juga teringat akan saudara-saudaranya yang telah ia bunuh dengan tangannya sendiri sebelum akhirnya ia resmi menjadi kepala keluarga. Sama halnya seperti [Name] yang terauma karena telah membunuh kakak kandungnya sendiri.

Siang itu mereka pulang dari tempat pemakaman. Hujan reda setelah mereka sampai di rumah. Siang itu para pelayan masih berpakaian hitam-hitam, begitupun dengan [Name] dan keluarganya.

[Name] segera melangkah ke kamar, lalu merebahkan diri di atas ranjang. Ia segera menutup mata, hendak tidur dan ingin sekali masuk ke alam mimpinya.

Dia berharap kehadiran Khun Edahn akan sedikit mencerahkan hatinya yang penuh rasa duka. Dia harap dengan kehadiran Khun Edahn, emosinya akan kembali ceria meski hanya untuk sedetik saja.

Akan tetapi, sepertinya keinginan [Name] tak terkabul untuk hari ini. Setelah [Name] tertidur, hanya kegelapan yang menyambutnya. Ia tak bermimpi, hanya ada kekosongan, dan dia tidak bertemu dengan Khun Edahn.

Bersambung....

Note : Tolong beritahu jika ada kesalahan dalam penulisan. Terima kasih telah membaca 💃

I Want To Touch You [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang