Chapter 7

1.9K 376 86
                                    

[Name] duduk di atas batu besar, memandangi bulan yang terlihat aneh. Tentu bentuknya aneh karena bulan itu hanyalah bulan palsu alias buatan. Cantik, tapi tidak bisa dibandingkan dengan bulan yang ada di dunianya.

Khun Edahn di sisi lain, ia duduk sambil menyenderkan punggungnya di batang pohon yang terletak tidak jauh dari lokasi [Name] duduk. Tidak seperti [Name], Khun Edahn sama sekali tak tertarik untuk mengamati bulan di atas langit.

"Bagaimana bisa kau keluar dari kamarku?" Tanya Khun Edahn memecah keheningan.

"Lompat dari jendela," jawab [Name] sambil tersenyum tipis.

Khun Edahn menaikkan sebelah alisnya. Ia sangat yakin jika kamarnya berada di lantai yang cukup tinggi. Apakah [Name] tidak takut melompat dari ketinggian? Anehnya lagi [Name] terlihat tidak terluka sedikitpun.

"Kau gila," ucap Khun Edahn dengan nada mengejek.

[Name] mendengus, memilih untuk tidak memedulikan ucapan Khun Edahn. [Name] membalikkan tubuh, membiarkan Khun Edahn hanya bisa melihat punggungnya saja.

"Hei, kau marah?" Khun Edahn menyanggah wajah dengan satu tangannya. Ia menyeringai tipis, senang telah membuat gadis di dekatnya itu kesal.

Gadis itu tak bergeming. Ia tak menjawab pertanyaan Khun Edahn. Tetap diam sambil memandangi bulan di atas langit. Sebenarnya menurut [Name] bulan di atas sana tidaklah cantik, hanya saja unik. Itulah yang membuat [Name] tertarik untuk terus memandanginya.

"Kau terlihat begitu terkesima dengan bulan di atas. Padahal seharusnya kau tahu jika bulan di atas itu palsu. Tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan yang ada di luar menara."

"Aku tahu."

"Lalu, kenapa kau tetap memandanginya begitu lama?"

"Karena bentuknya unik. Dipikir-pikir juga, bagaimana bisa benda itu mengeluarkan cahaya yang begitu terang? Berapa Watt ya kira-kira?"

[Name] menggumamkan hal-hal aneh——lagi. Jika dipikir-pikir oleh Khun Edahn, ucapan [Name] barusan sama seperti perasaannya pada [Name]. [Name] memang cantik, tapi tentu banyak perempuan yang lebih cantik darinya. Satu hal yang membuat Khun Edahn tertarik hanyalah keunikan gadis itu yang jarang ditemukan oleh Khun Edahn sebelumnya.

Sifatnya yang konyol mirip seperti sifat Estella yang mana merupakan sahabatnya di masa lalu. Namun, tidak seperti Estella yang memiliki sikap bar-bar dan hanya bisa dikendalikan oleh Arlene, sikap [Name] lebih terkendali.

Khun Edahn berdiri dari tempatnya, lalu berjalan mendekati [Name]. Tanpa [Name] sadari, Khun Edahn sudah muncul tepat di depannya. Iris mata [Name] sedikit membulat saat wajah Khun Edahn semakin lama semakin bertambah dekat dengan wajahnya.

"Kau sepertinya suka mendekatkan wajahmu dengan lawan bicara, hm?" kata Khun Edahn sambil menyeringai. Khun Edahn tambah memajukan wajahnya, lalu berbisik pelan di telinga [Name] dengan suara menggoda, "Nah, bukankah kau suka menggoda seseorang? Kenapa tidak coba menggodaku sekarang?"

[Name] seketika terdiam, tentu karena kaget dengan perilaku Khun Edahn. Dalam batin ia berteriak, tidak tahu tindakan apa yang harus ia lakukan. Mendorong Khun Edahn? Itu tindakan yang bagus. Balik menggoda Khun Edahn? Pastinya akan lucu melihat wajah merona pria itu.

[Name] ikut balas memajukan wajahnya, lalu berbisik di telinga Khun Edahn sambil memasang senyum lugu, "Menggoda bagaimana maksudmu, hm?"

Perlahan-lahan [Name] meniup pelan daun telinga Khun Edahn. Khun Edahn sedikit berjengit ketika merasakan hembusan angin panas di daun telinganya. Rona merah terlihat muncul di kulit wajah. Jantungnya berdegup tak karuan bagaikan dram ditabuh.

Melihat itu, [Name] tertawa terbahak-bahak. Ia memegangi perutnya sendiri, serta menahan keseimbangan agar tidak jatuh dari batu tempatnya duduk.

Khun Edahn sendiri sudah mundur satu langkah menjauhi [Name]. Menggertakkan gigi sembari mengepalkan tangan, sungguh Khun Edahn merasa malu karena telah dipermainkan.

"Hei, kau marah?" Kini [Name] menanyakan hal yang sama. Pertanyaan yang sebelumnya sempat ditanyakan oleh Khun Edahn.

Khun Edahn berdecak kesal, lalu kembali duduk sambil menopang wajah dengan sebelah tangannya. Mood-nya terlihat buruk, tapi itu malah membuat [Name] merasa senang.

"Aku senang," ucap [Name] lantang. Senyum lebar mengembang di wajahnya dan harus Khun Edahn akui, [Name] terlihat sangat cantik ketika sedang tersenyum. "Aku senang karena sebelum mati, aku bisa berkenalan dengan orang lucu sepertimu."

"Tentu saja kau harus senang! Apalagi aku ini salah satu great warriors, juga salah satu orang terkuat di menara. Kau harus senang karena bisa dikenal oleh orang sepertiku."

"Dasar narsis," ejek [Name] sembari terkikik geli. "Yah, kalau begitu mohon maaf dan terima kasih. Aku harap kau akan menemaniku hingga dua bulan mendatang."

Mata Khun Edahn membelalak. Ia terkejut dengan ucapan [Name]. "Memangnya kau mau ke mana? Apakah kau tidak akan datang ke sini lagi?" tanya Khun Edahn.

"Kira-kira dua bulan lagi, aku akan mati," jawab [Name] riang. Ia tersenyum, memperlihatkan deretan giginya pada Khun Edahn.

Angin berhembus kencang. Suasana seketika sunyi. Khun Edahn membuka tutup mulutnya, hendak mengatakan sesuatu. Namun, tidak ada satupun kalimat yang bisa keluar dari mulutnya.

Tak berselang lama, cahaya mentari menyinari penjuru lantai menara. Tubuh [Name] perlahan-lahan menghilang menjadi butiran debu cahaya.

[Name] melambaikan tangan ke arah Khun Edahn. "Sampai bertemu lagi malam nanti," ucap [Name] sebelum tubuhnya benar-benar menghilang.

Khun Edahn mencoba meraihnya, tetapi cengkraman tangannya tembus begitu saja. Dadanya tiba-tiba terasa keruh, sedikit nyeri. Senyuman [Name] terlihat begitu menyedihkan di matanya.

Di dasar hatinya yang terdalam, muncul gejolak aneh. Ia tak ingin [Name] pergi. Namun, Khun Edahn tak bisa menghentikan kepergian [Name].

"Kira-kira dua bulan lagi, aku akan mati."

Kalimat [Name] kembali terdengar di benaknya. Khun Edahn bingung, kenapa [Name] mengatakan hal itu? Apakah ia mengidap penyakit? Namun, gadis itu jelas-jelas terlihat begitu sehat.

Khun Edahn terduduk diam begitu lama. Ia tak beranjak dari tempatnya. Ia diam, menunduk, dan mengepalkan tangannya begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih.

"[Name]..."

=•=•=•=•=•=

[Name] membuka mata. Cahaya mentari merambat masuk melalui jendela. Meski ia baru saja terbangun, samar-samar ia bisa mendengar keributan yang berasal dari luar kamar. Lebih tepatnya dari halaman rumahnya.

[Name] beranjak dari tempat tidur, kemudian sedikit mengangkat gorden jendela. Dari balik jendela, ia dapat melihat para pelayan tengah berkerjasama mengangkat puluhan mayat yang terkapar di halaman rumah.

[Name] sontak mundur selangkah, kemudian jatuh terduduk. Ia menutupi mulut dengan kedua tangan dan membiarkan air bening menetes dari pelupuk matanya.

Bukan puluhan mayat itu yang membuat [Name] berlinang air mata. [Name] memang terkejut, tapi dia sudah terbiasa dan tidak punya rasa lagi untuk menangisi puluhan orang mati yang jelas-jelas adalah musuh keluarganya. Yang membuatnya terkejut adalah salah satu mayat yang mana mati dengan sebuah pisau tertancap di dadanya.

[Name] mengingat dengan jelas mayat itu. Wanita berambut hitam panjang yang begitu dikenali olehnya. Itu adalah mayat ibunya. Wanita yang selama ini merawat serta membesarkan [Name].

"Tidak mungkin..." lirih [Name] sambil menangis meraung-raung.


[Bersambung]

I Want To Touch You [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang