6. Torehan Kenangan

1.7K 273 21
                                    


"Kau sudah mendengar jika mamanya Lyora meninggal?"

"Innalilahi wa innailaihi rojiuun, kata siapa Bu? Sakit apa? Kapan dikebumikan?"

Nayaka yang baru saja hendak bergabung di meja makan jadi bergegas duduk di dekat ibunya yang sedang menyesap teh madu yang disiapkan oleh Mbak Jum.

"Tadi Mbak Jum yang bilang, kebetulan kan pembantu di keluarga Lyora satu tempat penyalur dengan Mbak Jum dulu jadi ya kenal."

"Lalu?" Nayaka terlihat masih penasaran.

"Menunggu Lyora untuk dikebumikan, kan Lyo ada di Brisbane, mengenai penyebab meninggalnya lebih baik kita tidak membahasnya karena ibu merasa tidak patut untuk dibahas."

Nayaka terlihat penasaran, tapi ia merasa itu bukan urusannya, ia lebih penting menyiapkan dirinya agar tabah saat melihat Lyora, yang pasti akan hadir bersama suaminya.

"Kau hadir ya Nayaka, mewakili keluarga, walau bagaimanapun kita hampir jadi keluarga besar hingga datang cobaan itu dan menghancurkan semuanya."

Nayaka hanya mengangguk.

.
.
.

Satu persatu pelayat meninggalkan area pekuburan, hari telah menjelang senja. Lyora tak sempat menatap wajah mamanya untuk terakhir kalinya, karena saat ia tiba di rumahnya setelah menempuh penerbangan yang lama dari Brisbane, jenazah telah dibawa ke area pekuburan, beruntung ia masih sempat melihat jenazah yang diturunkan ke liang lahat. Tangis dan teriakan histeris Lyora sempat jadi perhatian para pelayat yang sebagian besar adalah karyawan papanya. Nayaka melihat laki-laki tampan dan tegap yang memeluk Lyora, lalu mengusap punggung Lyora perlahan.

Nayaka yang hadir bersama Nastiti melihat penuh luka pada Lyora yang berada dalam dekapan Chaldera. Ternyata Nayaka belum juga dapat melupakan Lyora. Matanya menatap nanar wajah yang selalu lekat di matanya. Sedang Nastiti yang baru kali ini melihat wajah Lyora merasa benar-benar terempas. Wajah serta tampilannya yang elegan takkan pernah bisa ia tandingi, ia hanya upik abu yang harus tahu diri saat hidupnya lebih nyaman dari sebelumnya. Dengan tampilan mata sembab penuh air mata pun kecantikan Lyora tak akan bisa ia tandingi.

"Itu Lyora, Nastiti."

Suara Nayaka terdengar jauh di telinga Nastiti karena ini untuk kesekian kali Nayaka memberi tahu jika itu Lyora dan Lyora.

.
.
.

Lestari cukup kaget saat melihat Nastiti yang melangkah sendiri, berjalan menunduk dan terlihat sedih.

"Loh mana Nayaka? Kok kamu sendirian, Nduk?"

Nastiti berusaha tersenyum meski hatinya masih terasa sakit. Nayaka menyuruhnya segera pulang, diantar sopir pribadi keluarga Nayaka, sedang Nayaka sendiri masih betah menunggu dan melihat Lyora serta keluarga besarnya di area pemakaman. Bahkan tadi berpesan pada sopirnya agar segera kembali setelah mengantar Nastiti pulang.

"Masih di area pemakaman Ibu, bahkan tadi rencananya mau ke rumah Kak Lyora, mau mengucapkan bela sungkawa secara langsung ke papa Kak Lyora dan kalau bisa ingin bertemu dengan Kak Lyora."

Lestari menghela napas, ia tak habis pikir, apa yang dikejar Nayaka, Lyora sudah punya kehidupan sendiri, begitu juga dengan dirinya.

"Istirahatlah Nak jika kau capek."

"Inggih Ibu."

.
.
.

"Turut berbela sungkawa Om," ucap Nayaka saat ia telah sampai di kediaman keluarga Lyora. Nayaka benar-benar menunggu hingga iring-iringan mobil keluarga besar Lyora meninggalkan area pemakaman dan mobilnya mengikuti dari belakang, lalu sampai di rumah megah itu.

Hendri mengangguk, menepuk pundak Nayaka, laki-laki yang hampir menjadi suami Lyora yang akhirnya menjadi kacau semuanya gara-gara ulah dirinya.

"Terima kasih Ka, itu ada Lyora dan suaminya tapi lebih baik kau tak menemui Lyora, ia sedang tak ingin berbicara dengan siapapun."

Nayaka pamit, ia menjauh dari Hendri, papa Lyora dan berusaha mendekat ke arah Lyora duduk bersama suaminya. Kepala Lyora nampak rebah di bahu Chaldera.

Chaldera yang tahu siapa Nayaka seketika menegakkan duduknya, dan tersenyum. Ia usap kepala istrinya.

"Sayang, ini ada Nayaka."

Lyora hanya menggeleng pelan, ia tetap merebahkan kepalanya di bahu Chaldera, dan lagi-lagi air matanya luruh.

"Maaf, Lyora masih shock, ia belum bisa diajak berbicara oleh siapapun."

Nayaka berusaha tersenyum meski ia sangat kecewa, tak bisa utuh melihat wajah wanita ia masih sangat ia cintai.

"Tidak apa-apa, saya hanya ingin pamit pulang, semoga Lyora tabah."

"Terima kasih."

Chaldera mengiringi langkah Nayaka yang menjauh dan ke luar dari rumah megah yang tampak masih ramai oleh keluarga besar Lyora. Chaldera melihat gurau kecewa di wajah Nayaka, ia tahu jika laki-laki yang telah berlalu dari hadapannya masih menyimpan rasa cinta pada istrinya.

.
.
.

Lestari masih menunggu Nayaka yang belum juga pulang meski hari telah larut, ia melihat jam yang telah menunjuk ke angka satu. Tak lama ia mendengar deru mobil dan langkah yang pelan seolah diseret. Lalu pintu berderit dan tertutup juga langkah yang semakin mendekat ke arahnya. Tampak wajah lusuh Nayaka. Lelah dan mata yang sedih.

Bau tak sedap menyeruak saat Nayaka duduk tepat di sebelah Lestari, ia hapal bau itu saat awal Nayaka kehilangan Lyora.

"Kau minum lagi? Bukankah sudah lama kau lupakan? Mengapa mulai lagi? Ingat, kau sudah punya istri bahkan akan punya anak dari Nastiti, perilaku orang tua akan menjadi contoh bagi anak."

Nayaka hanya mengangguk, meraoh gelas kosong dan mengisinya dengan air putih yang tersedia di meja lalu meneguknya. Ia hapus sisa air di bibirnya.

"Aku hanya minum sedikit Bu, tidak sampai mabuk, aku hanya menghilangkan kekecewaan karena tidak bisa berbicara langsung dengan wanita yang sangat aku rindukan. Aku ingin mengusap pipinya yang masih berlelehan air mata, tapi itu tak mungkin, ada suaminya si sana, aku hanya kecewa Ibu, tidak yang lain."

"Tak pantas kau berharap pada wanita yang sudah menikah dengan laki-laki lain, lakukan itu pada istrimu yang mungkin saat juga menangis karena kau masih saja berharap pada wanita lain."

Lestari bangkit dari duduknya sambil membawa gelas berisi susu hangat, meninggalkan Nayaka yang masih termangu.

Nayaka menyandarkan badannya pada sandaran kursi di ruang makan, ia memejamkan matanya tapi yang nampak malah wajah Lyora yang dengan wajah sendu dan air mata yang menggenang.

"Ly ..."

Rintih Nayaka pelan, ia seolah merasakan sakit yang dirasakan Lyora.

"Datanglah padaku Ly, akan kuhentikan derai air matamu, akan aku ganti dengan tawa bahagia dan aku berjanji tak akan mengulang kesalahan yang sama, aku akui ketololan keluargamu juga kebodohanku yang membuat kita terpisah bahkan mamamu yang meninggal karena bunuh diri itu juga karena ia merasa bersalah pada kakakmu almarhumah Lyona, terlalu banyak kesalahan yang dilakukan oleh keluargamu hingga kita juga ikut merasakan pedihnya, tunggu aku Ly, tunggu aku, aku akan datang padamu."

Nayaka bangkit berjalan terseok menuju kamarnya, membuka pintu dan tersenyum mesra saat melihat wanita yang ia rindukan terbaring di sana, berbalut baju tidur putih dengan paha terbuka karena tertidur nyenyak hingga baju tidur yang tersingkap tidak ia rasakan.

"Ly, aku datang padamu, kita kembali bersatu dalam cinta yang kita inginkan sejak dulu."

Dan Lestari kembali mendengar jerit Nastiti juga erangan Nayaka, ia hanya bisa mengelus dada saat ia melewati kamar Nayaka untuk kembali ke ruang makan karena akan meletakkan gelas kotor tempat ia minum susu hangat.

Apa yang ada dalam kepalamu Ka? Mengapa hanya napsu dan pikiran yang terlalu melambung jauh, tidakkah kau sadar bahwa apa yang kau lakukan akan berbalik pada dirimu kelak? Semoga tidak terlambat karena aku sebagai ibumu khawatir kau baru sadar setelah Nastiti pergi dan tak kembali lagi ... lalu Anya di mana kamu Nak? Bagaimana nasib cucuku kini?

🥀🥀🥀

4 Februari 2021 (14.53)

Senandung Luka (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang