7. Membalut Luka

1.7K 263 14
                                    


Pagi hari Lestari melihat Nastiti dengan mata sembab membantunya menyiapkan sarapan, menata piring dan gelas, serta sendok garpu. Lestari menghampiri Nastiti dan memegang pundaknya.

"Sudah nggak usah, Nak, tidur saja kalau capek, biar nanti sarapannya ibu antar ke kamar."

"Ah, tidak Ibu, biar saya makan di sini saja."

Baru saja selesai berbicara, Nastiti hampir saja terjatuh. Lestari memapah Nastiti ke kamarnya.

"Kamu kenapa Nak? Kecapean karena Nayaka semalam ya?" Pertanyaan Lestari yang membuat wajah Nastiti bersemu merah, ia hanya menggeleng.

"Tidak Ibu, saya sudah terbiasa dengan cara Mas Nayaka, saya hanya lelah batin saja, semalam saya sulit tidur karena Mas Nayaka bolak-balik manggil saya Lyora, sambil memeluk saya."

"Ah ya, sabar Nak ya, ibu yakin akan tiba saat kamu bahagia, hanya perlu waktu saja, ibu yakin ia akan bisa mencintaimu."

"Aamiiiiiin semoga Ibu."

Sampai di depan pintu kamar Nayaka, Lestari meraih gagang pintu dan mendorongnya bertepatan dengan Nayaka yang akan ke luar. Dan kaget saat melihat wajah pucat istrinya.

"Kenapa Nastiti, Ibu?"

"Tanya pada istrimu!"

Lestari segera berbalik setelah Nastiti dipapah Nayaka menuju kasur.

.
.
.

Sementara di tempat lain Anya yang menimang anaknya yang sudah berusia dua bulan tampak sangat bahagia. Sejak Lukman tidak bekerja di perusahaan pelayaran mereka bisa bertemu setiap hari. Lukman yang membuka bengkel kecil-kecilan bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka hingga menganjurkan Anya untuk tidak menerima bantuan apapun dari Nayaka. Hanya saran saja sebenarnya dan ternyata Anya langsung mau.

"Iya Mas Lukman saya setuju, biar nanti saya bilang sama Bapak kalau dititipi uang lagi sama laki-laki itu, biar ditolak saja."

"Tapi satu hal harus kamu ingat, walau bagaimanapun dia mantan suamimu, kelak jika cukup umur perkenalkan anak kita pada laki-laki yang telah membuatnya hadir di dunia." Lukman sesekali mencium kepala bayi tampan yang sedang tidur nyenyak di gendongan Anya. Anya menggeleng, wajahnya kembali beku, meski mungkin cintanya masih tersisa pada Nayaka dan sulit untuk dihapus tapi jika ia ingat bagaimana perlakuan Nayaka padanya dan juga pada kandungannya, ia tak akan pernah mengenalkan bayi yang lahir dari rahimnya itu pada Nayaka.

"Tidak akan pernah, buat apa? Dia tak pernah menginginkan bayi ini, bahkan saat aku melarikan diri dia membiarkan saja, seandainya tidak ada bapakmu entah aku akan kemana, aku tak punya siapa-siapa lagi yang bisa aku ajak berembuk atau sekadar tempat berkeluh-kesah. Sudahlah Mas, bagi aku, bayi ini anak kita, kakek neneknya juga ada di sini, anak ini akan punya keluarga lengkap, tidak akan seperti aku yang selah hidup sebatang kara, mama di rumah sakit jiwa, meski sudah mulai bagus ingatannya, papa juga tak ingin melihat aku dan mama karena dia ada di Singapura bersama istri pertamanya, sudahlah, aku bahagia di sini, tak ingin ke mana-mana lagi."

"Aku hanya mengingatkan, karena kau akan berdosa jika memutus tali silaturahim antara anak dan bapaknya."

"Dia yang lebih dulu Mas jadi bukan aku yang memulai, udahlah Mas, bikin sakit hati saja ngomongin orang itu, Mas sarapan dulu, nanti baru ke bengkel."

"Iya."

Pak Karyo dan Bu Karyo yang mendengar pembicaraan keduanya tampak bahagia karena Lukman sudah menganggap bayi Anya dan Nayaka seperti anaknya sendiri, sedang Anya pun sepertinya tak ingin lagi berbicara tentang Nayaka. Mereka sudah merasakan kebahagiaan yang lengkap saat Lukman tidak lagi selalu berlayar, Anya yang sudah melahirkan dan cucu yang lucu meski bukan darah daging Lukman tapi cukup membuat masa tua Pak Karyo dan istrinya tersenyum penuh damai.

Anya pun tak malu-malu lagi sekamar dengan Lukman, Lukman juga tak segan membantu Anya saat bayi lucu itu terjaga saat malam. Setelah bayi itu lahir memang tak lama kemudian Lukman dan Anya menikah. Lukman yang sejak awal sebenarnya tak ingin menikah karena gadis pujaannya yang hanya berjarak beberapa rumah meninggalkannya menikah dengan seorang pedagang kaya raya. Tapi Lukman jadi iba saat tahu kisah Anya yang menyedihkan, akhirnya bersedia menikahi Anya dan Anya pun bersedia menerima Lukman agar bayinya tak kehilangan sosok seorang bapak.

Meski masih tersisa rasa cinta pada Nayaka namun kebencian Anya jauh lebih besar lagi. Jika Nayaka tak peduli padanya itu tak masalah tapi ketidakpedulian Nayaka pada bayinya itu yang membuat Anya tak bisa memaafkan Nayaka. Tak pernah sekali pun Nayaka sekadar menjenguk putranya, darah dagingnya, hanya uang yang ia kirimkan lewat bapak mertuanya yang sampai saat ini masih bekerja sebagai tukang kebun di rumah orang tua Nayaka. Dan keputusan Anya telah bulat, ia tak akan lagi menerima uang yang dikirimkan oleh Nayaka karena tanpa uang itu ia yakin masih bisa memberi anaknya makanan yang layak.

.
.
.

"Kenapa Anya menolak Pak Karyo? Apa ia sudah merasa lebih?"

Nayaka menanyakan alasan tiba-tiba saja Pak Karyo menolak uang yang ia kirimkan secara rutin.

"Non Anya menolak Den, mungkin karena ia telah menikah dengan anak saya, jadi anak saya yang punya bengkel kecil-kecilan sudah bisa menghidupi Non Anya dan putra Den Nayaka."

Nayaka hanya mengangguk dan menerima kembali amplop coklat itu.

"Oh ya tidak apa-apa, artinya bukan saya yang tak ingat untuk memberinya makan tapi ia yang menolak, kalau ia tak ingin berhubungan lagi dengan saya, saya lebih dari itu Pak, sejak awal kami sudah dipertemukan dengan cara yang salah, anak itu ada juga karena kesalahan, saya tak pernah menginginkannya, syukurlah Anya sadar diri dengan menolak uang dari saya artinya selesai sudah hubungan saya dan dia, tak usah mengingat saya lagi, anggap saya tak pernah hadir dalam hidupnya, sampaikan itu pada Anya."

"Inggih, Den."

Pak Karyo tak habis pikir bagaimana mungkin Nayaka yang ia tahu laki-laki baik, sabar dan selalu santun mengeluarkan ucapan yang rasanya tak pantas diucapkan oleh seorang laki-laki yang telah memiliki anak, bahkan sebentar lagi ia melihat istri Nayaka yang baru saja tinggal di rumah besar itu juga sedang hamil. Entah karena perjalanan hidup atau peristiwa menyakitkan yang membuat tuan mudanya yang telah melangkah meninggalkan Pak Karyo menjadi pribadi yang mengerikan, tak bertanggung jawab dan bahkan terlihat ingin menghilangkan kisah Anya dan anaknya dari lembar hidupnya. Bagi orang kecil seperti Pak Karyo sikap Nayaka kali ini tak pernah bisa ia pahami, bagaimana bisa manusia berpenampilan layaknya malaikat namun berhati iblis.

🥀🥀🥀

5 Februari 2021 (14.10)

Senandung Luka (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang