Semuanya masih sama. Senyum teduh dengan rahang tegasnya. Wajahnya yang tak berubah, tetap muda seperti dulu.
"Ma'af." Satu kata yang sejak dahulu tak sempat ku utarakan akhirnya hari ini terlontar dari bibirku.
Suasana kedai kopi di dekat kota tua ibukota seakan membawa kenangan kami kembali.
Terlihat Kak Ji tersenyum sembari memainkan rambutnya.
"Saya kira mau ngomongin apa haha. Memangnya kamu salah apa sama saya Rubby?"
"Selama empat tahun ini peristiwa itu terekam sangat jelas. Ma'afkan saya yang sudah meninggalkan dengan alasan yang tidak jelas."
"Saya benar-benar tidak punya alasan lain waktu itu."
Bukannya menjawab dengan jawaban yang selaras Kak Ji memilih pertanyaan lain padaku. Ia masih sama. Tidak bisa ditebak.
"Bagaimana kabar kamu sekarang?"
Dengan kikuk aku menjawab, "Baik."
"Ibu sehat?" Tanya kak Ji kembali.
Aku mengangguk.
"Saya gak menyangka bakal ketemu kamu lagi di tempat lain."
"Kak Ji gak marah?"
"Untuk?"
"Semua kesalahan tanpa penjelasan waktu itu."
Lagi-lagi kak Ji tersenyum. Memperlihatkan sipit matanya dan bibirnya yang tipis.
"Rubby. It's just a the past. Kamu gak perlu merasa terlalu bersalah. Tidak perlu juga berusaha menyembuhkan luka saya. Only I know myself. And now I'm okay. So you too should be happy."
Mendengarnya sangat melegakan. Seakan melepas beban berkilo-kilo dari atas kepala.
Aku tersenyum respon yang diberikan kak Ji seakan memberi aura positif untukku saat ini.
Sembari memainkan gagang cangkir aku bertanya kembali.
"Apa saya boleh tahu obrolan ayah dengan Kak Ji? It's okay jika kak Ji keberatan. Tapi rasanya sangat mengganjal. Karena sampai detik ini saya tidak begitu paham dan membuat dugaan sendiri."
Kak Ji menyeruput teh hangatnya.
"Beliau menanyakan perihal orang tua saya. Kemudian saya diberi perumpamaan--
"Kebat kliwat, gancang pincang*?" Potongku.
(*Tindakan yang tergesa-gesa pasti tidak sempurna)
Kak Ji mengangguk dan melanjutkan.
"Saya waktu itu yang notabene bukan orang yang sehari-hari menggunakan bahasa Jawa hanya diam. Karena tidak mengerti maknanya."Terdiam tak dapat memberikan reaksi apapun.
"Tak apa Rubby. Berkat masukan dari ayah kamu saya memperbaiki hubungan dengan keluarga. Awalnya memang keras. Tapi batu yang ditetesi air juga akan melebur juga kan? Persis seperti itu."
"Karena itu Kak Ji meninggalkan rumah saya waktu itu?"
Kak Ji menggeleng, sembari tersenyum ia melihat ponselnya sebentar. "Karena weton."
Di detik kemudian kami berdua tertawa. Ternyata memang dariawal kak Ji dan aku hanya tidak sengaja dipertemukan dan mencoba menyalahi takdir walaupun kembali terasing.
Hanya di Jawa seseorang tidak bisa memperjuangkan cintanya karena takdir yang dibuat leluhur.
Aku mendongak menatap mata sipitnya. "Kak bisakah saya meminta satu permintaan terakhir untuk kita?"
"Selama tidak merugikan kamu dan saya di masa depan mungkin bisa."
Kak jiii
KAMU SEDANG MEMBACA
KALA |• Park Jihoon (Short Story)
Historia CortaTentang kita yang kisahnya rarai kala baru memulai. Namun kenangannya tetap rapi terpajang. Kala.