Bab Satu

12 3 0
                                    

"Menuju halal. SAH coming soon."

Rara mengulum senyum lalu kembali berguling di atas tempat tidurnya. Ada rasa senang tak terkira dalam hatinya membaca caption dari video undangan yang diunggah Annisa Rarasati—penyanyi idolanya. Baper, begitulah kira-kira kata kekinian yang tepat untuk menggambarkan suasana hati Rara.

Jemari Rara kini sibuk beradu dengan papan tombol ponselnya, turut serta meninggalkan komentar selamat pada artis yang baru saja memantapkan diri untuk menggunakan jilbab itu. Ibu jari Rara terus menggulir layar untuk membaca komentar yang ada. Keningnya mengkerut membaca satu komentar yang lumayan panjang. "Taaruf?" lirihnya, "Kak Nisa taaruf sama calon suaminya?" gumamnya sendiri.

Rara kini fokus untuk menelusuri akun calon suami Annisa Rarasati. "AHMAD HANIF RAMADAN?!" pekiknya tanpa sadar, "Demi apa?! Hafidz terkenal itu? Wah ... perkara jodoh memang penuh misteri, ya," komentarnya.

"Allaahu Akbar, Allaahu Akbar."

Rara tersentak, kepalanya refleks menoleh ke arah masjid yang memang tidak jauh dari rumahnya.

"Asyhadu An Laa Ilaaha Illallaah."

Rara menarik napas dalam lalu bangkit, dia berjalan menuju jendela dan memandang menara masjid dengan kening berkerut.

"Asyhadu anna Muhammadar Rasuulullaah."

Rara memegang dadanya, merasakan irama detak jantungnya yang tiba-tiba berpacu.

"Hayya 'alas-shalaah."

Rara menajamkan pendengarannya, merasa asing dengan suara sang muadzin.

"Hayya 'alal-falaah."

Rara memejamkan mata, meresapi lantunan adzan yang membuatnya nyaman.

"Allaahu Akbar, Allaahu Akbar."

Rara merasakan kedua sudut bibirnya membentuk lengkungan dengan tulus.

"Laa Ilaaha Illallah."

Rara mengembuskan napas, ada perasaan lega yang mengisi rongga dadanya. Pandangannya masih fokus pada menara masjid. "Siapa muadzinnya?"

***

Langit terlihat mendung menjelang sore. Rara sedang duduk di teras rumahnya menunggu Ibu yang belum pulang dari masjid, meski sudah satu jam sejak iqamah dilantunkan. Dia baru saja bangkit untuk masuk ke rumah ketika Ibu muncul masih lengkap dengan mukenanya.

"Kok lama?" tanya Rara bahkan sebelum Ibu membuka mulut untuk mengucap salam.

Ibu hanya tersenyum kecil. "Tadi singgah di rumah baru yang dekat masjid," jawabnya, "Nanti malam ada acara syukuran di sana. Kamu ikut juga, ya."

Rara memanyunkan bibir. "Nggak, ah, Bu," ucapnya sambil mengekori langkah Ibu, "Paling nanti banyakan ibu-ibu di sana."

Ibu berbalik dan menatap anaknya sambil menghela napas. "Kamu mau tinggal sendirian di rumah?" tanyanya. "Ayah mungkin lembur lagi hari ini."

"Iya, deh," pasrah Rara. "Oh, iya, Bu," selorohnya antusias ketika mengingat kembali tujuannya menunggu kepulangan Ibu dari masjid tadi, " Yang adzan tadi siapa, ya?"

Kening Ibu mengkerut menatap putri sematawayangnya. "Kenapa tiba-tiba nanyain muadzin?" herannya.

Rara memamerkan giginya, merasa bingung harus menjelaskan seperti apa. "Suaranya belum pernah kudengar sebelumnya," ucapnya sambil menggaruk tengkuk.

"Ibu nggak tahu, Nak," jawab Ibu, "Ibu, kan, salatnya nggak di barisan laki-laki."

"Yah, Ibu," kata Rara lesu lalu menghempaskan tubuh di atas sofa depan televisi.

Jejak Suara AzanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang