Bab Empat

4 2 0
                                    

Pernah dengar ungkapan waktu seakan berjalan lambat saat kau sedang menunggu? Demikianlah yang dirasakan Rara seminggu terakhir. Merasa segala sesuatu berlangsung begitu pelan dari sudut pandangnya. Semua itu demi menunggu datangnya hari Kamis ini. Satu hari dimana Faiz akan pulang dan menghabiskan waktu libur di sekitarnya.

Maka, ketika hari itu tiba, Rara melangkah dengan riangnya memasuki lorong rumah sepulang sekolah. Menolak ajakan teman-temannya untuk menghabiskan waktu lebih lama bersama. Meninggalkan Salsya yang selalu menjadi teman berceritanya sepanjang perjalanan pulang.

Jam menunjukkan pukul 15.19. Rara tidak tahu pasti, apakah Faiz sudah pulang atau belum. Namun, satu hal yang sangat jelas, langkahnya menjadi sangat lambat dan pelan saat menapaki area depan rumah tetangga baru yang mencuri perhatiannya itu. Mendapati halaman rumah di depannya yang begitu sepi, Rara hanya bisa menghela napas kecewa dan melanjutkan langkah menuju rumahnya.

"Loh, Ra, tumben pulang cepat?" sambut Bu Ratna saat melihat anak gadisnya memasuki pekarangan rumah.

Rara hanya mengangguk lalu menghempaskan diri pada kursi kayu di teras rumahnya. Bibir bawahnya dimajukan setelah menghela napas keras. Ada sesal yang terbit dalam dirinya karena melewatkan kebersamaan dengan teman sekelas.

"Kamu kenapa?" Bu Ratna menepikan pot yang baru diisinya dengan kaktus, lalu menghampiri anaknya.

Alih-alih memberi jawaban, Rara hanya menarik bibir membentuk satu garis dengan mata yang disipitkan. "Kenapa dipindahin, Bu? Kan belum terlalu besar anakannya," ucapnya dengan dagu yang menunjuk kaktus yang baru ditinggalkan ibunya.

"Oh, itu buat tetangga baru kita. Kemarin dia muji kaktusnya. Yah, meski nggak minta, Ibu tetap mau kasih saja."

"Bu Riska?"

"Iya. Nanti lepas asar Ibu mau bawakan saja ke rumahnya."

"Rara aja, Bu," seloroh Rara antusias, seakan energinya baru saja diisi penuh.

Ibu mengernyit. Tatapannya berubah heran bercampur bingung. "Kamu kenapa jadi semangat gitu?"

Rara hanya bisa memamerkan cengirannya. Baru saja dia membuka mulut untuk membuat alasan agar ibunya tidak menaruh curiga, azan berkumandang menginterupsi niatnya. Kepalanya refleks menoleh ke arah masjid. Senyumnya otomatis mengembang. Suara itu. Irama itu. Sama seperti hari kamis sebelumnya.

"Ayo, Ra, ke masjid. Kayaknya kamu sudah lama nggak ikut berjamaah."

"Siap, Bu," ucapnya dengan pose memberi hormat, lalu bangkit dan mengekori ibunya memasuki rumah.

***

Cinta itu memang magis. Mampu membuat seseorang yang disihirnya melakukan hal diluar kebiasaan. Rara contohnya. Jika biasanya dia lebih senang menghabiskan waktu sore di rumah bersama buku ataupun gawainya, kini memilih keluar 'kandang' dan melangkah riang berjalan menuju rumah Faiz. Senyumnya terus mengembang seiring menipisnya jarak antara dirinya dengan rumah yang dituju.

Dadanya seakan bergemuruh mendapati sosok yang mencuri perhatiannya selepas berjamaah di masjid tadi tampak sedang duduk dan fokus membaca di teras. Rara merasakan tegang yang membuatnya kesulitan untuk melanjutkan langkah. Tepat saat dia menarik napas panjang, Faiz mengangkat wajah dan menatap langsung pada matanya. Rara hanya bisa mematung dan mengulas senyum kaku.

Faiz bergerak lebih dulu. Dia bangkit dan memberi isyarat agar Rara mendekat ke teras rumahnya. "Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya ramah.

"Ah, i-iya. Tante Riska ada?" ucap Rara setelah berhasil mengendalikan debaran di dadanya.

"Ada," jawab Faiz dengan anggukan, "Silakan duduk dulu. Sebentar saya panggilkan," lanjutnya lalu berjalan ke dalam rumah.

Rara mengangguk dan hanya bisa menghela napas lega sambil mengelus dada ketika Faiz balik badan. Dia meletakkan pot bunga yang dipegang eratnya sejak tadi, lalu duduk pada salah satu kursi yang ada di teras. Lirikan kecil dia arahkan pada buku yang dibaca Faiz tadi. Keningnya mengkerut mendapati tulisan Arab yang mendominasi sampul buku.

"Maaf, ya. Ummi baru pakai baju. Baru saja selesai mandi." Faiz muncul dan langsung berbicara hingga membuat Rara tersentak.

"Oh, tidak apa-apa. Saya juga sedang tidak ada urusan mendesak."

Hening. Canggung.

Faiz memilih berdiri tepat di depan pintu, memberi jarak antar dirinya dengan Rara yang tampak tidak tenang.

"Yang azan waktu asar tadi itu kamu, ya?" Rara berusaha memecah kesunyian.

"Iya," jawab Faiz singkat.

"Suaramu bagus," puji Rara, "Lantunannya merdu. Sama seperti minggu lalu," ucapnya tanpa berani melihat wajah sang lawan bicara.

Faiz hanya mengulum senyum. "Terima kasih," ucapnya. Dia hendak melanjutkan kalimat saat ibunya muncul sambil membetulkan jilbab. Faiz mengurungkan niat dan langsung masuk ke rumah setelah mengambil bukunya.

"Ada perlu apa, Ra?" tanya Bu Riska saat berdiri tepat di depan pintu.

"Eh?" Rara mendongak, sedikit kecewa mendapati Faiz sudah tidak ada di depannya. Dia mengulas senyum pada Bu Riska yang menanti jawabannya. "Ini, Tante," ucapnya menunjukkan pot yang dibawanya, "Ibu nyuruh saya bawa kaktus buat Tante."

"Wah, terima kasih," ucapnya, lalu berjongkok di depan kaktus yang menarik perhatiannya, "Padahal waktu itu saya cuma memuji tampilan kaktus ini loh," lanjutnya. "Sampaikan terima kasih buat Ibu kamu, ya."

"Iya, Tante," angguk Rara. "Kalau begitu saya permisi dulu, Tante," pamit Rara.

"Loh? Nggak tinggal dulu, Nak? Sekalian kita bisa ngobrol biar lebih akrab."

"Lain kali, ya, Tante," ucap Rara sopan, "Sudah terlalu sore ini, saya juga belum mandi." Rara terkekeh diakhir kalimatnya.

Bu Riska mengangguk. "Sering-sering main ke sini, ya, Nak. Saya sering merasa kesepian kalau Faiz nggak di rumah."

"Iya, Tante." Rara mengulas senyum. Dengan senang hati, lanjutnya dalam hati. Dia membungkuk pamit lalu berjalan meninggalkan pekarangan rumah Faiz. Senyumnya tercetak jelas. Satu momen ini yang akan membuatnya semakin menunggu hari Kamis yang kini sangat disukainya.

***

Langit-langit kamar bercat putih seakan menjadi layar yang memutar setiap detail peristiwa sore tadi. Rara terus saja tersenyum sambil mengingat kembali interaksi singkatnya dengan Faiz. Sesekali dia mendekap bantal bulu kesukaannya sambil memainkan kedua kaki di atas kasur. Berusaha meredam letupan-letupan kecil dalam rongga dadanya.

Rara memukul pelan kepalanya. Dulu, dia sering mencibir teman sebayanya yang dia anggap berlebihan dalam mendeskripsikan perasaan suka. Tapi, kini dia hanya bisa membenarkan setiap hal terkait yang pernah didengarnya itu. Rara menarik napas sembari menempelkan tangan pada dadanya, tepat pada bagian yang membuatnya merasakan dengan pasti detak jantung yang terlalu jelas. Dia hanya bisa tersenyum dan mengakui jika dia sedang jatuh cinta.

Getaran ponsel menginterupsi kegiatan Rara yang sedang meresapi perasaannya. Segera dia meraih benda pipih itu dan membaca notifikasi yang baru saja masuk. Satu balasan dari komentar yang dia tinggalkan pada akun Hafiz. Dia hanya memanyunkan bibir mendapati seniornya itu memberi tiga emotikon tertawa.

Rara memilih untuk menjelajahi beranda media sosialnya. Beberapa postingan dari teman dia berikan tanda suka. Jarinya berhenti menggulir layar mendapati postingan Annisa Rarasati. Raut wajahnya berubah sendu seiring napas berat yang dia embuskan. Satu kalimat yang mampu membuat Rara seketika merasa sangat bersalah.

"Sebaik-baiknya cinta adalah cinta yang dirawat dan dipupuk atas dasar ikatan halal yang direstui-Nya."

***

Jejak Suara AzanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang