Jam menunjukkan waktu hampir tengah malam. Namun, Rara masih terjaga dengan mata yang terbuka lebar sedang menatap fokus layar ponsel digenggamannya. Ibu jarinya terus saja menggulir layar demi menemukan satu akun yang sangat ingin diselidikinya. Mengabaikan jika kegiatannya ini semakin menambah buruk kondisi matanya yang sudah harus ditolong dengan kacamata minus 2.
Beberapa jam berlalu sejak dia berselancar di dunia maya. Sayang, akun atas nama Faizan Musyaffa tidak juga dia temukan. Rara mendengkus kesal lalu meletakkan ponsel di samping bantalnya. "Masa, sih, Faiz nggak punya instagram, twitter ataupun facebook? Nggak seru banget," gerutunya sendiri. Dia lalu memperbaiki posisi berbaringnya lalu menutup mata.
Rara kembali membuka mata saat merasakan ponselnya bergetar. Dengan mata menyipit, dia meraih gawainya itu lalu membaca pesan yang baru saja masuk. Tawa gelinya terdengar setelah membaca kalimat yang baru saja masuk lewat dm instagramnya.
syalsya_azzahra : Hai, ceue ... kok belom tidur?
raeshabira : Lah? Kamu sendiri kenapa belum tidur?
syalsya_azzahra : Kebiasaan, ye. Ditanya malah nanya balik. Kamu percaya kalau saya bilang lagi belajar?
raeshabira : Nggak banget lah. Wkwkwk
syalsya_azzahra : Hahaha ... susah tidur nih. Iseng buka IG, eh, ketemu akunmu yang masih aktif. Hayo ... stalking siapa?
raeshabira : hahahahahahahahahahahaha 1001x
syalsya_azzahra : Wah ... serius, Ra? Siapa nih? Penasaran level 1002.
raeshabira : Tidur, Sya. Besok harus sekolah.
syalsya_azzahra : Aih ... Rara nggak seru. Besok saya tagih, ya. Hehehe ...
Rara mengulum senyum membaca balasan sahabat baiknya itu. Dia memilih mematikan ponsel dan berusaha agar segera tertidur setelah melihat jam yang sudah lewat tengah malam. Dia pikir tidak akan lucu jika terlambat bangun hanya karena sibuk mencari akun media sosial tetangga barunya yang bahkan wajahnya saja belum dia lihat dengan jelas.
***
Rara merapikan jilbab cokelatnya setelah melewati gerbang sekolah. Dengan tergesa dia berlari menuju koridor. Bukan karena terlambat, melainkan karena seseorang yang melambaikan tangan penuh semangat di ujung koridor menuju kelasnya. Ada Salsya di sana dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya.
"Kita kayak belum pernah ketemu beberapa hari, ya?" ucap Rara saat berdiri di sisi sahabatnya.
Salsya terkekeh, lalu menggandeng lengan Rara. "Saya nggak sabar mau dengar cerita seru hari ini," ucapnya lalu tersenyum jail.
"Kalau yang anda maksud itu perihal percakapan tadi malam," tebak Rara, "Maaf, anda harus kecewa Nona Salsya," lanjutnya sambil menggeleng.
Salsya memajukan bibir bawahnya. "Okelah kalau belum mau cerita," ucapnya dengan ekspresi kecewa yang dibuat-buat. "Toh, nanti kalau kamu galau atau apapun ceritanya pasti sama saya juga, kan?"
Rara terkekeh. Tidak ada lagi sangkalan yang bisa dia katakan atas ucapan Salsya yang sangat benar adanya. Dia hanya bisa menyikut pelan pinggang temannya itu. "Eh, itu bukannya Kak Hafiz, ya?" tunjuk Rara pada orang berjas hijau yang berjalan ke arah mereka, "Ngapain dia ke sini?"
Salsya yang baru melihat orang yang ditunjuk Rara hanya mengangkat bahu, sama tidak tahunya dengan tujuan kedatangan senior mereka itu.
Kaki Rara kini terarah untuk bergerak cepat menghampiri Hafiz. Tangannya menggandeng erat lengan Salsya. Dia berusaha menahan senyum menyadari rona merah pada pipi sahabatnya. Meski Salsya tidak pernah mengutarakannya, tapi, Rara sangat tahu jika teman sebangkunya sejak kelas satu itu menaruh perasaan pada senior yang dulu menjabat sebagai ketua ekskul rohis di sekolah mereka.
"Pagi Kak Hafiz," sapa Rara dengan lambaian tangan saat pandangannya bertemu dengan Hafiz.
Hafiz hanya mengulas senyum ramah menanggapi. Dia menghentikan langkah saat berjarak hampir satu meter dari Rara dan Salsya.
"Ada hajat apa nih?" tanya Rara akrab, sebagai siswa yang aktif dalam organisasi sekolah, dia memang sudah terbiasa berinteraksi dengan senior bahkan alumni sekolahnya.
Hafiz hanya bisa terkekeh mendengar kalimat Rara, menyadari tidak ada perubahan dalam pilihan kata yang sering dilontarkan adik kelasnya itu. "Ini," ucapnya memperlihatkan selebaran di tangan kanannya, "Nanti saya sama beberapa teman kampus mau sosialisasi pengenalan kampus kami. Sebenarnya kegiatannya pas istirahat nanti, tapi, saya sengaja datang lebih pagi, sekadar memantau sekolah dulu."
"Memantau sekolah atau seseorang, Kak?" goda Rara lalu menyikut pinggang Salsya yang memilih diam sejak tadi.
"Kamu ini, masih suka iseng, ya. Masuk kelas sana, sebentar lagi bel masuk."
"Siap, Kak," ucap Rara lalu berjalan lebih dulu. Sengaja melepaskan pegangannya pada lengan Salsya.
Salsya yang ditinggal hanya bisa memberi senyum kaku lalu menunduk pamit pada Hafiz dan segera berlari mengejar Rara.
***
Siswa kelas tiga duduk melantai pada lapangan indoor sekolah. Sebagian sedang fokus menyimak pemaparan alumni mereka yang sedang memberi perkenalan akan salah satu kampus favorit di daerah itu. Beberapa lainnya menggerutu mengeluh karena waktu istirahat mereka tersita untuk hal yang mereka anggap tidak terlalu penting.
Rara dan hampir semua teman sekelasnya berada pada barisan depan. Sebagai penghuni kelas unggulan, antusiasme mereka terlihat jelas untuk mendengarkan kisah senior yang berhasil menjadi mahasiswa dari kampus bergengsi di daerahnya.
"Kamu pilih jurusan apa, Sya?" bisik Rara.
"Aku mau jadi dokter, Ra," jawab Salsya dengan mata yang fokus ke depan. Memandang Hafiz yang sedang berbicara di sana.
Rara menghela napas. Merasa diri ketinggalan jauh karena belum memikirkan apa-apa untuk melanjutkan pendidikannya. "Aku nggak nyangka kalau Kak Hafiz penghuni fakultas MIPA, kirain dia bakal pilih pendidikan agama atau sejenisnya," ucapnya, kemudian menyamakan pandangan dengan Salsya.
"Kenapa berpikir begitu?"
"Kak Hafiz kan religius banget," jawab Rara sekenanya.
"Orang religius memangnya cuma boleh jadi guru agama dan sejenisnya, Ra?"
Rara menoleh lalu menarik kedua sudut bibirnya membentuk satu garis. "Iya, deh, iya," ucapnya.
Salsya tersenyum kecil menatap ekspresi Rara. "Kamu sendiri sudah memilih jurusan?"
Bahu Rara merosot. Dia menggeleng pelan.
Salsya mengelus punggung sahabatnya. "Nggak usah sedih, nanti juga ketemu kok," hiburnya.
"Aku iri sama kamu, Sya. Pikiran kamu sudah jauh ke masa depan. Sedang aku malah seringnya fokus sama hal-hal yang tidak penting. Bahkan rela begadang hanya untuk cari akun tetangga baruku."
Salsya menahan senyum. "Oh, jadi semalam mau stalking tetangga baru nih?"
Rara terkekeh. "Tuh, kan, kamu bahkan bisa bikin aku mengaku tentang kejadian semalam," keluhnya lalu menepuk kepala sendiri.
"Kamu itu punya banyak kelebihan tau," ucap Salsya, "Sudahlah, nanti juga bakal ketemu sama jurusan yang cocok kok. Jadi penghuni tetap lima besar angkatan kita itu nggak mudah loh, Ra. Kamu kalau sudah serius sering bikin Ahmad yang langganan rangking satu juga merasa terancam loh."
Rara mengangkat kepala dan mengulas senyum. Dia menatap Salsya penuh terima kasih. Sahabatnya itu memang selalu pandai membantunya menata suasana hatinya yang kacau. "Thanks, Sya," ucapnya tulus.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Suara Azan
General FictionLantunan azan di waktu Asar bukan saja mampu memanggil jamaah untuk berjalan menuju masjid. Namun, juga berhasil menuntun hati seseorang untuk melangkah menjemput hidayah-Nya.