Bab Tiga

6 2 0
                                    

Suasana sekolah masih ramai meski bel pulang sekolah sudah berbunyi sekitar satu jam yang lalu. Area paling mencolok dengan keramaian itu adalah ruang kelas siswa kelas tiga. Menghabiskan waktu lebih lama di akhir periode masa putih abu-abu sepertinya menjadi pilihan menarik bagi siswa yang akan menjalani ujian nasional beberapa bulan ke depan.

Ada yang mengisi waktu untuk mengerjakan soal-soal prediksi ujian nasional. Banyak juga yang membentuk kelompok dan mengabadikan kebersamaan penuh suka cita. Semua menikmati kegiatan pilihan masing-masing tanpa saling mengganggu.

Di depan ruang kelas unggulan, di samping kumpulan siswa yang sedang bermain gitar dan bernyanyi bersama, ada Rara yang sedang duduk selonjoran sendiri sambil memangku laptop. Matanya fokus pada layar datar di depannya. Jari telunjuk kanannya sibuk menggerakkan cursor.

"Cari apa, Ra?" Salsya yang baru saja dari kantin langsung mengambil tempat di dekat sahabatnya. Matanya ikut tertuju pada layar laptop.

"Tadinya mau cari cara pilih jurusan yang sesuai minat. Tapi, ini ketemu sama kegiatan bermanfaat setelah ujian nasional nanti. Kayaknya seru, Sya."

Salsya mendekatkan kepalanya, menajamkan pandangan untuk membaca artikel yang dibaca Rara. "Menarik," gumamnya.

"Minat?" ajak Rara.

"He-em," jawab Salsya dengan anggukan, "Tapi, lihat nanti, deh, Ra. Kita kan juga harus bikin persiapan buat seleksi penerimaan bersama."

"Iya, juga sih," lirih Rara. Dia kembali fokus pada laptopnya, menutup tab yang menampilkan artikel tersebut dan beralih membuka laman media sosialnya. "Sya, Kak Hafiz posting kegiatan tadi nih," ucapnya menahan senyum, "Kamu kok nggak pernah komen di akunnya Kak Hafiz sih?"

Salsya mendengkus. "Nggak wajib, kan, Ra?"

Rara hanya bisa terkekeh. Adalah hiburan tersendiri menggoda sahabatnya itu. "Cuma nanya, Sya. Aku sajalah yang komen," ucapnya, lalu mengetik beberapa kata, kemudian menekan tombol 'enter' dengan tegas.

"Suka-suka kamu, Ra," ucap Salsya lalu mengeluarkan ponselnya saat merasakan getaran pada gawainya itu. "Kok pakai tag aku segala, sih, Ra? Dasar iseng."

Rara hanya memajukan bibir bawah lalu tertawa kecil. Matanya fokus membaca notifikasi yang muncul. Ada beberapa orang yang menyukai komentarnya, juga ada tiga akun baru yang menjadi pengikutnya. Menjadi orang yang aktif dalam organisasi, terlebih pernah menjabat sebagai sekretaris OSIS membuatnya terbiasa mendapat banyak notifikasi dalam satu waktu.

Rara menutup laptop, lalu mengambil ponsel dari sakunya. Dia merasa tertarik untuk mengabadikan keseruan teman-temannya yang sedang bernyanyi bersama.

"Ra, pulang yuk," ajak Salsya. "Sudah lewat jam empat ini," ucapnya lalu bangkit dan berjalan ke dalam kelas.

Rara menoleh, lalu mengikuti langkah sahabatnya. "Sebentar lagi kita belajar nggak pake seragam lagi, ya, Sya," ucapnya saat berjalan sejajar dengan Salsya.

Salsya tersenyum kecil. "Dan ucapkan selamat tinggal untukmu yang sering dapat penghormatan dari adik kelas." Dia mencubit gemas lengan Rara.

Rara tertawa. "Wah, aku bakal rindu perlakuan istimewa itu," candanya, lalu merapikan tas dan menggandeng tangan Salsya untuk pulang bersama.

***

Rara mengulas senyum sambil melambaikan tangan kepada Salsya yang masih duduk di dalam angkutan umum yang baru saja dia tumpangi. Segera setelah kendaraan umum itu kembali melaju, Rara berbalik dan meneruskan langkah menuju rumahnya yang terletak pada lorong yang hanya dicor beton.

Matahari yang masih terik menjelang sore membuat Rara harus menyipitkan mata. Telunjuknya tergerak untuk membenarkan posisi kacamata yang dia rasa sedikit melorot. Langkah Rara melambat saat mendekati area depan rumah Bu Riska. Dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat seorang pengendara motor dengan helm full face sedang bersiap di dekat pagar. Dengan debaran jantung yang tiba-tiba kencang, Rara berjalan sambil menahan napas.

"Eh, anaknya Bu Ratna, kan? Baru pulang sekolah, ya?" Bu Riska menyapa saat Rara berdiri tepat di samping sang pengendara motor yang sedang memainkan ponsel.

"Iya, Bu," jawab Rara ramah. Lirikan kecil dia arahkan pada orang yang sedang duduk di atas motor. Dia mengulas senyum meski tidak tahu pasti arah pandang orang yang tampak enggan untuk membuka helmnya itu.

"Faiz, cepat, Nak. Aqil sudah siap ini," teriak Bu Riska ke dalam rumah.

Rara mengikuti arah pandang Bu Riska. Jantungnya semakin berpacu saat seseorang muncul dari balik pintu sambil mencangklong ransel.

Faiz setengah berlari meninggalkan teras rumah. Menghampiri dan mencium tangan ibunya sambil mengucap pamit. Dia mengulas senyum sambil mengangguk ramah saat pandangannya bertemu dengan Rara.

"Kenalkan, ini Rara tetangga kita juga. Meski jarang di sini, kamu toh harus saling kenal juga sama tetangga. Iya, kan, Ra?"

"Eh? I-iya, Tante," jawab Rara kikuk. Pertama kali melihat wajah Faiz dari dekat dan jelas tiba-tiba membuatnya gugup sendiri. Dia hanya bisa mengumbar senyum kaku saat Faiz mengucap permisi lalu duduk pada boncengan dan melambaikan tangan ke arahnya.

"Faiz itu tinggal di asrama. Liburnya tiap hari jumat, jadi kamis siang dia baru pulang ke rumah. Kembali lagi kalo hari jumat sore begini," terang Bu Riska tanpa ditanya.

Rara mengangguk paham. Senyumnya terukir karena mendapat informasi tambahan tentang Faiz.

"Ayo, mampir, Ra," ajak Bu Riska,

"Ah, terima kasih, Tante. Lain kali, ya, saya mampir." Rara membungkuk sopan, lalu melanjutkan langkah menuju rumahnya dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya. Hatinya berbunga, hanya butuh beberapa detik baginya untuk mengukir dengan baik wajah Faiz dalam pikirannya.

***

"Saya sering mendapat pertanyaan, kenapa bisa memilih jalan taaruf dan menjatuhkan pilihan pada Hanif? Saya juga tidak bisa memberikan jawaban pasti untuk pertanyaan itu. Ketika saya masih dalam proses memperbaiki diri, Tuhan mempertemukan kami pada satu kesempatan dan situasi yang baik.

Keyakinan itu datangnya dari Sang Pencipta. Setelah melalui perenungan dan salat istikharah juga tentunya, saya merasa mantap untuk menerima ajakan taaruf dan Alhamdulillah akhirnya bisa dilancarkan hingga akad dan status kami sah dan halal sebagai pasangan.

Pernikahan ini kami niatkan untuk beribadah kepada-Nya. Menjadikan bahtera yang baru kami bangun untuk mempraktekkan ilmu agama yang sudah diberi kepada kami agar bisa disampaikan pada keturunan kami kelak yang semoga senantiasa mendapat limpahan rahmat dari Sang Pencipta. Aamiin ..."

Mengulum senyum, Rara menekan tombol berbentuk hati pada postingan terbaru Annisa Rarasati. Dia menarik napas dalam, lalu memeriksa detak jantungnya sendiri. Entah bagaimana awalnya, dia mulai memosisikan diri pada jalan hidup idolanya itu. Hijrah dan menemukan pasangan hidup yang diidamkan oleh banyak perempuan.

Rara membenamkan kepala pada bantal. Berteriak tanpa suara sambil membenturkan kaki bergantian pada kasurnya. Dia memukul kepalanya pelan. Mencoba mengusir pikiran halu yang tiba-tiba muncul. Imajinasi yang mampu membuat perutnya terasa penuh akan kepakan sayap kupu-kupu.

"Astaga ... Rara, sadar," ucapnya, lalu bangkit sambil menampar pelan pipinya sendiri. Dia mengambil kalender dari meja belajarnya. Menandai tanggal hari ini dengan tinta merah. Menambah keterangan dengan gambar bunga dan bentuk hati. Membuat pengingat akan hari dimana jantungnya pertama kali berdebar kencang karena lawan jenis. Satu reaksi yang menunjukkan jika dia baru saja merasakan cinta untuk pertama kalinya.

***

Jejak Suara AzanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang