Rara menggembungkan pipi sambil menatap gemas lawan bicaranya. Sekali lagi dia menarik napas, lalu menopang dagu dan dengan sabar menunggu sosok yang bersila di depannya selesai menikmati es krim yang dia beli.
Semalam, setelah mengendalikan debar jantung setelah mendapat chat pribadi dari Faiz, Rara harus menelan kecewa dan hanya bisa manyun saat membaca isi pesan itu. Dan sekarang, dia harus menghadapi tingkah polos manusia yang disebutkan namanya dalam pesan dari Faiz.
"Iqbal," Rara mengerang gemas, "Mau sampai kapan kamu jilat stick es krim itu, hah?"
Iqbal meringis, memamerkan gigi depannya yang baru saja tumbuh. "Sampai Kak Rara nawarin beli es krim lagi," candanya.
Rara berdecak, tangan kanannya refleks terangkat seolah ingin memukul kepala sang lawan bicara. "Kamu ini, Kakak sudah cukup sabar, ya, nunggu jawabanmu dari tadi."
"Memangnya kenapa kalau Iqbal berteman sama Kak Faiz?"
Rara menggeleng cepat. "Bukan itu pertanyaan Kakak. Maksudnya itu, sejak kapan kamu akrab sama Faiz? Perasaan dia jarang ada di sini."
"Oh ...." Iqbal mengangguk. "Ustaz di pondok tahfiznya Iqbal juga guru pesantrennya Kak Faiz. Kami sudah sering ketemu sebelum Kak Faiz pindah ke sini."
Dan gantian Rara yang kini mengangguk. Dia tidak bisa mencegah senyumnya yang otomatis mengembang. Memunculkan tatapan menyelidik dari anak polos yang duduk di depannya.
"Kenapa senyum, Kak?"
"Eoh?" Rara mengerjap. "Nggak apa-apa, kok," kilahnya. Dia memilih meluruskan kaki di samping Iqbal, pikirannya sudah menyusun ragam pertanyaan untuk menggali lebih banyak informasi tentang Faiz. "Jadi, kalian sudah kenal lama, ya. Kira-kira kenapa Faiz harus batalin janji ngajarin kamu azan hari kamis nanti, ya?"
Iqbal mengangkat bahu, cuek. Sama tidak tahu akan alasan Faiz.
"Kamu nggak penasaran?"
"Nggak, tuh."
Rara mendelik melihat ekspresi sepupu jauhnya itu. "Kalau orang yang kita kenal baik tiba-tiba membatalkan janji yang dia buat sendiri itu harusnya bikin kita mencari tahu alasannya, Bal. Setidaknya dia tahu kalau kita perhatian sama dia."
Iqbal tampak menimbang. "Begitu, ya, Kak?"
"Iya, dong," jawab Rara cepat. Hatinya bersorak karena berhasil menghasut Iqbal.
"Tapi, Iqbal nggak punya nomornya Kak Faiz."
"Nah, Kakak punya. Kalau kamu mau, kita bisa telepon dia sekarang." Rara berucap riang. Dia kini punya alasan untuk terus melakukan kontak dengan Faiz.
Iqbal menggeleng cepat. "Sore-sore begini Kak Faiz nggak pegang hape. Dia pasti lagi sibuk setoran hafalan sama ustaz."
Rara termangu. "Kamu bahkan tahu keseharian Faiz, ya," lirihnya.
"Jadi, gimana dong, Kak?"
Rara menarik napas, menatap mata jernih Iqbal yang menunggu solusi. Ada rasa bersalah yang terbit dalam dirinya karena telah memanfaatkan anak polos itu untuk melakukan kontak dengan Faiz.
"Kak Rara bisa tanya Kak Faiz nanti malam?" tanya Iqbal penuh harap. "Kak Faiz pernah bilang kalau dia bebas pegang hape kalau malam."
"Oh ... begitu, ya?" Rasa bersalah Rara semakin bertambah.
"Bilang aja kalau Iqbal yang minta tolong sama Kak Rara. Bisa, kan, Kak?"
Rara mengangkat dua jempolnya. "Oke, deh," ucapnya tampak pasrah. Sebenarnya hal itu yang menjadi tujuannya sejak awal menahan Iqbal di pelataran masjid setelah salat asar tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jejak Suara Azan
General FictionLantunan azan di waktu Asar bukan saja mampu memanggil jamaah untuk berjalan menuju masjid. Namun, juga berhasil menuntun hati seseorang untuk melangkah menjemput hidayah-Nya.