Bab Lima

4 2 0
                                    

Keimanan seseorang senantiasa naik turun. Sangat sulit untuk bisa menjaganya tetap pada garis lurus yang ideal. Selalu saja ada celah yang membuat tergoda untuk dijadikan alasan pemakluman kelalaian tanpa sadar.

Sejak lima belas menit yang lalu, Rara masih saja tidak percaya dengan apa yang dia alami. Niat awal untuk membantu Mariyam—adik kelas yang menjadi penerusnya sebagai sekretaris OSIS, berdiskusi dengan utusan sekolah lain dalam kepanitiaan kegiatan bersama libur semester nanti harus terganggu karena teman diskusi yang membuatnya sangat terkejut.

Semalam, Rara sudah memutuskan untuk menjaga jarak dan mengendalikan diri saat bertemu tetangga baru yang sukses membuat jantungnya berpacu cepat itu. Namun, siang ini, tindakan akan niat baiknya itu langsung mendapat ujian. Tepat saat Mariyam membuka pintu kafe tempat mereka membuat janji temu, Rara bisa merasakan dadanya bergemuruh hanya dengan melihat punggung yang kemarin sore dipandanginya.

Faiz di sana. Bangkit dan mengulas senyum santun saat Rara dan Mariyam mendekat. Menyambut dengan ramah sambil memperkenalkan diri dan rekannya yang menjadi perwakilan sekolah mereka dalam kegiatan yang sama.

Dengan gerakan kaku, Rara menarik kursi dan mendudukkan diri pada sisi yang sedikit jauh dari Faiz. Dia susah payah menenangkan diri dan mengumbar senyum pada setiap perwakilan sekolah. Dia menarik napas dalam untuk menenangkan diri, juga berusaha meredakan detak jantungnya yang tiba-tiba berpacu.

Diskusi dimulai dengan santai, memunculkan ide dan gagasan kegiatan yang akan dilaksanakan. Sudut bibir Rara tertarik saat mengetahui jika kegiatan yang akan mereka laksanakan adalah gagasan Faiz. Satu kegiatan perkemahan berlandaskan kegiatan religi yang mampu membuat camat mereka terkesan hingga menyarankan pelaksanaan dengan skala yang lebih besar.

"Baiklah teman-teman, mungkin sampai di sini dulu penjelasan yang bisa saya paparkan. Untuk kelanjutan pelaksanaan kegiatan saya percayakan sama kepanitiaan yang akan dibentuk. Sayang sekali, karena sudah kelas dua belas, saya tidak bisa berpartisipasi dalam acara ini." Faiz menutup kalimat penjelasannya dengan senyum santun.

"Oh, kelas dua belas juga? Saya juga." Suci, salah satu perwakilah SMA 32 bersuara. "Saya kira cuma saya anak kelas dua belas di sini," sambungnya.

"Saya juga kelas dua belas." Rara ikut bersuara. "Sayang sekali, ya, kita tidak bisa mengikuti kegiatan keren ini," ucapnya dengan lirikan kecil pada Faiz.

"Iya, nih. Persiapan buat kelulusan bikin nggak bebas," keluh Suci.

"Maaf, nih, Kakak-kakak. Mungkin sesi curhat perkara ujian bisa dilanjutkan nanti." Arin yang datang bersama Suci turut bersuara dengan nada canda.

Semua peserta diskusi kompak tertawa.

"Jadi, setelah pertemuan ini, mungkin akan lebih baik kalau kita konsultasikan sama pembina di sekolah masing-masing. Setelah itu adakan diskusi lagi untuk mematangkan konsep kegiatan. Bagaimana?" usul Rara setelah tawa mereka mereda.

"Setuju," kompak yang lain.

"Terima kasih untuk pertemuan yang menyenangkan ini," ucap Suci sambil menutup buku catatannya. "Senang bisa mengenal kalian semua."

Mereka bertukar senyum lalu satu per satu pamit dan meninggalkan kafe.

"Kak Rara nggak seperti biasanya waktu diskusi tadi," ungkap Mariyam saat dia dan Rara berjalan meninggalkan kafe.

Rara berhenti melangkah, menoleh menatap adik kelasnya itu dengan kening mengkerut. "Beda gimana?" tanyanya.

Mariyam mengangkat bahu. "Entahlah ... pokoknya vibes Kak Rara nggak muncul tadi."

Rara tergelak. "Kamu ini, ada-ada aja. Aku ikut ke sini, kan, buat cuma nemenin kamu," ucapnya dengan kedipan. Dalam hati Rara membenarkan, biasanya dia sangat aktif dalam mengeluarkan pendapat saat berdiskusi. Bahkan terkadang semua ide yang dia ajukan dengan sangat mudah diterima peserta yang lain. Penyebabnya tentu saja karena kehadiran Faiz yang selalu sukses membuatnya sulit fokus.

Mariyam mengulas senyum. "Maaf, ya, Kak, masih sering minta bantuan. Padahal Kak Rara juga banyak kegiatan."

Rara menggeleng cepat. Jari telunjuk dia angkat dan digerakkan ke kiri dan kanan. "Jangan bilang begitu lagi. Aku senang, kok, masih dilibatkan di acara sekolah," ucapnya tulus. Dia memilih mengamit lengan Mariyam dan menuntun adik kelasnya itu untuk berjalan lebih cepat.

***

Buku-buku tebal terbuka dan saling tumpuk satu dan lainnya. Beberapa kertas yang penuh coretan juga berserakan, memenuhi meja belajar yang dijadikan sang pemilik sebagai tempat untuk menumpukan kepala.

Rara mengeram frustrasi. Memukul pelan kepalanya sendiri sambil bergumam tidak jelas. Hampir 30 soal sudah dia selesaikan. Namun, perkara yang mengganjal pikirannya sejak sore tadi belum juga menghilang.

"Biasanya kerja soal beginian berhasil," keluhnya dengan helaan napas berat. Rara bangkit dan beranjak menuju pembaringannya. Bersandar dan kembali memikirkan kepayahannya menangani suasana hati setelah bertemu Faiz. Tangannya bergerak memegang dada. "Apa semua orang merasakan ini kalau sedang menyukai seseorang?" lirihnya.

Getaran ponsel membuat Rara beralih meraih gawainya itu dan membaca satu notifikasi yang baru saja masuk. Keningnya mengkerut mendapati dirinya baru saja ditambahkan ke dalam grup percakapan yang dia rasa asing. Hanya ada kontak Mariyam, anggota grup yang di simpan. "Kepanitiaan Awal," baca Rara pada nama grup yang baru saja menambahkan dirinya sebagai anggota.

Tidak mau penasaran lebih lama, jari Rara bergerak cepat mengetik pertanyaan dan mengirimnya kepada Mariyam.

Rara : Iyaam ... itu grup apa yah?

Mariyam : Hehehe ... maaf, ya, Kak. Langsung saya tambahkan tanpa izin dulu. Itu grup yang dibuat dari pertemuan sore tadi. Kami semua sepakat bikin grup biar bisa dapat saran atau tambahan dari Kakak2 sekalian yang ikut diskusi tadi. Tenang, isinya cuma kita berenam, kok.

Rara : Oh ... ok.

Mariyam : Terima kasih, Kak. Mohon bimbingannya, ya.

Rara mengangguk paham. Dia baru saja mau meletakkan ponsel saat otaknya baru saja mencerna dengan baik pesan dari adik kelasnya itu. Dengan cepat dia kembali membuka kunci layar ponsel dan membaca pesan beruntun dari grup yang datang bersamaan.

Jari Rara bergerak lambat menggulir layar, membaca setiap sapaan yang muncul hampir bersamaan. Dia menelan ludah mendapati satu pesan dengan nama Faizan Musyaffa diakhir nomor ponsel.

"Assalamualaikum semua. Terima kasih sudah ditambahkan. Semoga kegiatan perkemahan yang diniatkan berjalan lancar sesuai rencana."

Rara menahan napas. Tanpa usaha panjang dan lelah, dia bisa mendapat nomor kontak seseorang yang dia sukai? Dia tertawa kecil, lalu menggeleng cepat. "Aku mikir apaan, sih?" gerutunya lalu memukul kepalanya.

Belum pernah dia mengetik pesan sambil tersenyum lebar seperti ini. Merasakan debaran tak menentu sembari mengetik setiap huruf yang akan dia kirim.

Rara : Waalaikumsalam ... semangat, ya, semuanya~~

Rara menghela napas setelah melihat tanda jika pesannya sudah diterima oleh setiap anggota grup. Dia mengerutkan hidung membaca kembali pesan yang dirasa bukan gayanya.

"Waalaikumsalam. Semangat semuanya ... btw saling save nomor, ya. Hihihi."

Senyum Rara semakin mengembang. Dengan cepat dia mengirim emotikon jempol membalas pesan Suci. Setelah itu, jemarinya bergerak lincah menyimpan setiap nomor anggota grup. Rasa senang yang membuncah memenuhi dirinya, ada nama Faiz yang kini menghuni daftar kontak ponselnya.

***

Jejak Suara AzanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang