Patah hati bukanlah perkara mudah bagi siapapun. Hampir setiap malam gadis itu menangis, tapi air mata seakan tidak menyerah untuk berdesakan keluar saat ia mengingat sosok Bulan.
Tidak ada barang istimewa yang bisa ia tatap untuk mengingatkannya pada Bulan. Tidak ada juga tempat istimewa yang sering mereka kunjungi. Andai saja ada, rasanya pasti akan lebih baik.
Bagi Afsheena, mengenang barang pemberian dan mengingat setiap tempat istimewa bersama seorang yang kini meninggalkan lebih baik daripada ditepis dalam keadaan berharap sepertinya kini.
Gadis itu menghapus kasar air matanya. Hidup harus terus berjalan bukan?
"Nangis lagi? Sebenernya lo tuh kenapa deh Na? Cerita sama gue." Desak David yang terdengar frustasi.
"Gue gak apa-apa Vid. Lo tau gak sih, ada saatnya kita tuh pengen nangis aja gatau kenapa." Bohong Sheena.
"Dusta lo, nanti kupingnya panjang."
Sheena memutar matanya. "Ck, apasih lo."
"Hmm, gimana kalo kita bolos?"
"Gila ya lo."
"Sekali-kali Na. Lagian ya lo bakalan nyesel pas udah lulus nanti kalo sekolahnya gak pernah bolos."
Ini merupakan hal baru bagi Sheena, tidak pernah sekalipun ia terpikir untuk bolos sekolah. Tapi, ia benar-benar tidak bersemangat untuk belajar saat ini. Sheena mengangguk menyetujui ide David.
Tidak sulit bagi David dan Sheena untuk keluar dari gedung sekolah. Setiap penjaga kantin mempunyai akses rahasia yang bisa membawa mereka keluar masuk sekolah membawa belanjaannya tanpa melewati gerbang depan. Berkat sifat asyik tapi tetap sopan yang dimiliki David, itu membuatnya bisa berteman dengan siapa saja termasuk ibu-ibu dan bapak-bapak penjaga kantin.
"Nana." Panggil David pada Sheena yang terkantuk-kantuk di kursi penumpang sebelah David.
"Hm?" Sahut Sheena tanpa melihat David.
"Wah sekarang nyaut ya dipanggil Nana, dulu aja bilangnya sok imut ewh."
Sheena mendelik. "Lo tuh maunya apa sih Viid?"
"Galak banget ya ibu negara. Mau ke mana nih kite buk?"
"Mana gw tau kan lo yang ngajak, pinteer!"
"Lo ditolak si bubul ya?" Tembak David. "Ck. Iya Bulan deh namanya Bulaan."
"A-apa sih lo."
"Ah lebih tepatnya lo bahkan belum sempet nyatain perasaan lo dan si Bubul itu nolak lo mentah-mentah." David meralat.
Gadis itu tercekat. "Vid, gausah sok tau ya."
"Sheena-"
"GUE GAK TAU! GUE BAHKAN BARU TAU KALO GUE SUKA SAMA DIA KETIKA DIA BILANG GUE HARUS PERGI DARI DIA!" Jerit Sheena membuat David panik seketika.
"Dan lo mau tau yang paling menyedihkan? Kak Bulan yang sadar duluan sama perasaan gue! Dia sadar duluan dan dia kasih tau gue dengan cara pergi dari gue! Ini lebih sakit dari yang lo kira Vid, kenapa harus bahas ini sih." Badan Sheena melemas seiring berjatuhannya air mata.
David menepikan mobilnya. "Na, maafin gue ya. Maksud gue, cukup Na! Cukup lo nangis sendirian, cukup lo merasa hancur! Apa keberadaan gue gak berarti buat lo?"
Gadis itu menatap mata David yang diliputi kekesalan, kefrustasian, dan kasih sayang. "Gue selama ini kesel banget ngeliat lo sedih Na, gue kesel karena gue gak tau apa-apa. Gue bahkan harus nyari tau sendiri penyebab dari murungnya orang yang penting di hidup gue. Gue rasa lo masih segitu sungkannya sama gue, makanya lo gak mau cerita. Ketika gue udah tau pun gue selalu nyoba ngehibur lo tanpa mention masalah lo."
"Tapi kenapa sih Na, lo tuh gak pernah mau membuka mata lebar-lebar? Kenapa lo selalu fokus dengan masalah hidup lo? Hampir setiap hari lo murung tentang masalah lo di rumah, masalah dengan teman-teman lo, tapi yang paling bikin gue muak tuh masalah lo dengan si Bubul ini!"
"Plis Na, gue tau hidup lo mungkin berat walaupun lo gak pernah cerita seperti apa itu. Tapi masa lo gak mau 'melihat' orang yang mau selalu ada buat lo, yang seneng ketika lo seneng, yang bingung ketika lo sedih karena gak tau apa-apa. Ada gue, ada Alia, Na."
Tangis Sheena semakin menjadi mendengar penuturan David. Ia tidak menyangka David sepeduli itu, dan mungkin Alia juga. Atau, memang karena selama ini ia menutup mata?
"Maafin guee.. gue memang bodoh, gue bodooh."
David melepaskan seatbeltnya, memeluk Sheena yang menangis tersedu-sedu. "Maaf ya gue bikin lo nangis." Ucapnya lembut.
*********
Kedua insan itu sibuk dengan kegiatan masing-masing di sebuah rumah makan yang tampak ramai dengan pemandangan hamparan kebun teh yang menyejukkan. Yang satu sibuk mengabsen satu persatu makanan yang ada di meja, dan yang satu lagi sibuk mengabadikan momen tiap sendok yang masuk ke dalam mulut gadis di depannya.
"Deuh deuhh lahap bener ya yang lagi patah hatiii." Lelaki itu bersuara.
Sheena menghentikan kegiatannya sejenak. "Gue sekarang udah ngebuka mata gue, dan sadar kalo temen gue ternyata kaya. Jadi ya manfaatin lah ya." Sindir gadis itu dengan niat membuat David kesal.
"Haha, gue suka kalo lo manfaatin." Ujar David dengan senyum yang tulus.
Apa itu barusan? Kenapa reaksi David tidak seperti apa yang diharapkannya?
Sheena berdeham. "Yaudah kalo gitu beliin gue rumah makan ini. Gue suka makanannya, pemandangannya juga oke banget."
"Oke."
Sheena makin mengerutkan keningnya. "Lo punya duit sebanyak itu?"
"Hahaha enggak lah, gue juga masih sekolah kali. Tapi nanti di masa depan gue janji bakalan beliin rumah makan ini buat lo."
"Apaan sih gue becanda viiid."
"Gue enggak."
Sheena menatap mata David, padahal ia becanda untuk membuatnya kesal, tapi kenapa jawaban David seserius ini? Mata berbinar dan senyuman itu betul-betul menunjukkan keseriusan dan ketulusan.
"Gila lo."
*********
"Lan kayaknya ada yang kelewat deh, kelas 10 IPA 4 sama 11 IPS 3." Ujar salah satu laki-laki dari sekelompok anggota OSIS yang sedang mengumpulkan sumbangan untuk korban longsor di daerah dekat sekolah.
"Oh yang tadi lagi ulangan harian ya."
Lelaki itu mengangguk, sementara Bulan terlihat berpikir untuk memasuki kelas Sheena. Tentu saja rasa bersalah selalu menghantuinya akhir-akhir ini.
"Yaudah biar cepet kita mencar aja." Ujar salah satu lelaki lagi.
"Kalo gitu saya ke-"
"Urang ke 11 IPS 3 ya, soalnya mau sekalian minjem buku paket fisika ke si Zamzam ehe, tau sendiri lah Lang pak Kurniawan."
Niat Bulan untuk menghindari kelas Sheena hilang begitu saja. Bulan mengangguk sambil tersenyum kikuk, dalam hatinya ia berharap gadis itu sudah baik-baik saja ketika melihatnya.
Sekelompok pria itu memasuki kelas, bisik-bisik mulai menyeruak. Ada yang bertanya-tanya sumbangan dalam rangka apa, ada yang menertawakan Jalil yang memang sedari tadi bertingkah konyol, dan lebih banyak lagi yang mengagumi visual Bulan.
Sementara bulan terlihat celingukan mencari sosok seseorang yang tidak ada di kelasnya. Harusnya ia bersyukur, tapi entah kenapa hatinya mencelos rindu.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Is The Purpose?
Teen FictionKadang aku berpikir, apakah seekor kupu-kupu terbang kesana kemari membawa secarik tujuan di sayapnya? Atau ia hanya menikmati nyamannya semilir angin yang menyentuh setiap inci tubuhnya dan melihat betapa indahnya bunga-bunga di sekitar hingga ia m...