Afsheena Faranisa Zaline.
Gadis cantik berhidung mancung. Begitu orang mengenalinya. Atau, gadis cantik yang jutek dan sombong, begitu juga orang mengenalinya.
Gadis yang baru memasuki semester kedua SMP ini memang sedang populer. Berkat otaknya yang pintar dan wajahnya yang jutek jarang senyum, ia menjadi bahan omongan sana sini. Baik di kampungnya ataupun di sekolah.
"Kamu tuh kalau ngelewat depan orang permisi dong judes banget jadi orang. Kan ibu yang jadi bahan omongan punya anak kaya kamu gatau sopan santun. Percuma pinter kalo gapunya adab"
Ia menatap sang ibu yang baru berhenti mengoceh. Ibunya yang selalu memusingkan perkataan orang lain itu selalu berhasil membuatnya menghela napas dalam-dalam. Tak sekali dua kali ia difitnah seperti ini, tetangganya selalu menyebar fitnah bahwa ia adalah anak tidak berattitude baik dengan menilai dari ekspresi wajahnya. Padahal ia tak pernah tidak bersikap sopan pada siapapun termasuk tetangganya, ia tahu itu akan menimbulkan masalah pada orangtuanya.
Setiap manusia mempunyai bentuk bibir yang berbeda-beda. Afsheena sendiri dilahirkan dengan bentuk bibir yang melengkung ke bawah, yang menimbulkan efek wajah yang dingin. Ditambah kepribadiannya yang agak tertutup mendukung gosip-gosip yang bertebaran bahwa ia adalah anak dengan bad attitude.
"Maaf bu" ujarnya pasrah. Ia sama sekali tidak mau berdebat.
"Awas ya kamu gitu lagi. Ibu tuh keliatannya kaya gak ngajarin kamu sopan santun tau gak"
"Iya"
Gadis yang akrab dipanggil Sheena itu melenggang melewati ibunya. Berjalan ke dapur untuk makan.
"Ayamnya jangan dimakan! Punya Nazwa"
Gadis itu menghentikan tangannya yang semula akan mengambil ayam goreng itu. Adiknya lagi. Tangannya beralih ke piring di sebelahnya. Ya, tempe dan tahu tidaklah buruk, sama-sama protein.
Anakku nanti harus punya jatah ayam yang sama!
Sheena menghampiri ibunya yang sedang menonton TV. Entah kenapa melihat ibunya berbaring ia jadi membayangkan beberapa tahun lalu ibunya sempat sakit-sakitan, mag yang parah, lambungnya hampir rusak, dan berimbas kejang jika asam lambungnya naik. Melihatnya sudah begitu sehat semakin hari membuatnya lega.
"Sheena, itu apa sih yang di kamar kamu? Bawa-bawa karton Segede itu ngeberantakin aja" sang ibu memecah suara.
"Itu tugas bu, bikin peta daerah" jelasnya.
"Kelompok?" Tanyanya. Shena mengangguk.
Sang ibu langsung terduduk. "Terus kenapa kamu sendiri yang kerjain? Jangan mau dimanfaatin orang kamu mentang-mentang pinter ngerjain apa-apa sendiri orang lain tinggal enaknya aja" cerocos ibunya.
Banyak alasan.
Rumah Sheena berada di kampung pelosok. Jarak dari kampungnya ke jalanan beraspal itu sekitar 1,5km-2km. Dan sekolahnya berada di 100m dari awal jalanan beraspal. Jalanan ke rumahnya sendiri hanya berlapis tanah dan bebatuan yang membuat kendaraan mudah rusak dan harus super berhati-hati apalagi saat hujan karena jalanan itu akan terlihat seperti rawa karena luapan air dari sawah di kanan-kirinya.
Ya, sepelosok itu. Sepanjang jalanan Sheena ke sekolah adalah persawahan yang terbentang luas sejauh mata memandang. Rutenya seperti: kampung-jalanan dengan persawahan-sekolah-masuk ke kawasan ramai kendaraan walaupun tidak bisa dibilang kota.
Jarang ada kendaraan yang mau berlalu-lalang disana karena keadaan jalanan yang rusak dan jauh. Kalau adapun tarifnya sangat mahal, bisa mencapai 5 kali uang sakunya untuk satu kali bolak-balik.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Is The Purpose?
Teen FictionKadang aku berpikir, apakah seekor kupu-kupu terbang kesana kemari membawa secarik tujuan di sayapnya? Atau ia hanya menikmati nyamannya semilir angin yang menyentuh setiap inci tubuhnya dan melihat betapa indahnya bunga-bunga di sekitar hingga ia m...