Pagi yang dinantikan gadis dengan kantung mata yang kentara di kulit putihnya. Semalaman Sheena tidak bisa tidur berapa kali pun dia berganti posisi. Berbagai kilatan kejadian hari ini dan berbagai kemungkinan kejadian hari esok berputar tak henti-henti di kepalanya. Gadis itu menutupi wajahnya dengan rambut yang ia sengaja ke depankan. Sayang usaha yang ia lakukan tampak sia-sia. Hampir seluruh murid berbisik-bisik diiringi tawa yang tertahan membuat Sheena ingin menguap saja dan bergabung dengan para oksigen.
"Eh itu anak yang kemaren jatoh kan sama si David yang ganteng itu?" Bisik salah satu murid.
Murid lainnya menjawab. "Keknya iya. Itu kakinya pincang-pincang, roknya juga hampir sobek gitu masih dipake aja. Gak punya lagi kali haha."
Sheena tertohok. Ya, memang ia tidak mempunyai lagi rok ganti. Setiap hari roknya selalu dicuci malam hari dan di setrika pagi-pagi untuk di pakai kembali.
"Gembel gitu, dia katanya pacarnya David dong. Gak nyadar diri banget." Sahut murid lain.
"Iya. Si David buta kali, diajak temenan sama kita-kita gak mau. Ganteng-ganteng gak punya mata."
Sheena tak tahan lagi. Ia berbalik dan menghampiri geng yang menggosipkannya barusan. "Maaf ya, kakak-kakak," ujarnya setelah memastikan dari atribut kecil yang menunjukan angka romawi bilangan dua belas di kerah seragam ketiganya. "Tapi David adalah orang baik yang lebih baik temenan sama gembel daripada sama orang-orang yang hobinya ngomongin orang."
Sheena langsung berbalik tanpa melihat ekspresi ketiga orang itu. Kakinya terus melangkah entah akan membawanya ke mana, padahal bel masuk sudah berdering dengan nyaring dua menit yang lalu.
Ia berhenti di belakang sekolah. Halaman sempit yang tidak ia ketahui sebelumnya karena ini cukup jauh dari gedung di mana kelas dia berada. Sheena melihat taman bunga kecil dengan satu pohon rindang dihiasi ayunan, tak lupa kolam ikan mini yang menghadap ke hamparan persawahan luas di depannya.
Halaman ini begitu sejuk dan cantik, berada di balik bangunan sekolah yang kokoh seakan sengaja menyembunyikan keindahannya dari khalayak ramai. Dengan ragu ia duduk di ayunan itu, mengusap air mata yang tidak ia sadari sudah mengalir deras entah sejak kapan.
Dalam isak itu ia merutuki dirinya diam-diam. Memang dia siapa yang berhak marah? Toh yang dibicarakan orang-orang tentangnya memang benar. Dan lagi, semua orang berhak untuk mengemukakan pendapat mereka.
Gadis itu semakin terisak hebat dan memukul-mukul kepalanya sendiri."Kamu bodoh, kamu bodoh! Kamu pasti udah nyakitin mereka Sheena kamu egois! Kamu jahat-"
"Kamu gak jahat." Suara bariton yang lembut tiba-tiba menghentikan kegiatan Sheena.
Gadis itu sedikit tersentak. "K-kak.."
Bulan menyunggingkan senyum lalu menghampiri Sheena. Ia merogoh saku mengambil sesuatu dari sana. Kertas. Sebuah kertas yang Sheena perkirakan adalah kertas ulangan harian yang hanya ia pakai satu lembar, sedangkan halaman di lembaran sebelahnya kosong.
Lelaki itu menyobek kertas itu menjadi dua bagian, lalu memberikan bagian yang kosong pada Sheena. "Lagi-lagi aku cuma punya kertas buat ngehapus air mata kamu, tapi seperti yang kamu lihat ini bersih.. mungkin." Bulan tersenyum tidak yakin.
Sheena masih menatap tidak percaya, kilatan-kilatan masa lalu secara paksa memenuhi pikirannya. Dan satu rasa yang dominan menyeruak adalah.. rindu.
Gadis itu mengulurkan tangan dengan ragu mengambil kertas itu. "Makasih kak."
Bulan berlutut di hadapan Sheena membuat gadis itu melupakan cara bernapas untuk beberapa detik.
"Love yourself first, Afsheena." Ujarnya lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Is The Purpose?
Teen FictionKadang aku berpikir, apakah seekor kupu-kupu terbang kesana kemari membawa secarik tujuan di sayapnya? Atau ia hanya menikmati nyamannya semilir angin yang menyentuh setiap inci tubuhnya dan melihat betapa indahnya bunga-bunga di sekitar hingga ia m...