Prolog

185 18 0
                                    

Gadis itu menatap selembar kertas di tangannya dengan wajah termenung. Berbagai tanda tanya mulai bermunculan di kepalanya.

Apa tujuan hidupmu? Apa hobimu? Pelajaran apa yang kamu suka? Cita-cita? Universitas mana yang ingin kamu tuju? Jurusan apa? Pekerjaan apa yang ingin kamu kerjakan dewasa nanti?

Selembaran yang dibagikan oleh pihak sekolah untuk membantunya memilih universitas dan menitih masa depan dengan baik itu justru menempatkannya dalam rasa kekosongan, kefrustasian, dan kebingungan yang mendalam.

Apa tujuan hidupnya?

"Nora?"

Kedua mata cantik itu refleks menoleh kepada wanita yang sudah berdiri di ambang pintu.

Gadis itu mendengus. "Ma.. ketuk dulu" rengeknya.

Sang ibu tersenyum kikuk.

"Maaf" ucapnya dengan mengatupkan kedua telapak tangannya disertai cengiran yang manis di wajahnya yang entah kenapa seperti diawetkan di umur 25 tahun.

Sang anak hanya menggelengkan kepalanya. Ibunya yang selalu kekanakkan.

"Lagi ngapain sayang? Pusing banget keliatannya" wanita itu mendekati sang anak yang terlihat sangat kebingungan.

"Ma.. tujuan kita hidup itu apa?" Gadis itu membuka suara.

Sang ibu tercekat. Satu kalimat yang ia langsung tahu kemana tujuannya. Sang anak sedang khawatir, itu yang ia tangkap.

Wanita itu mengambil selembar kertas dari tangan anaknya. Ia mengerti kemana arah pembicaraan ini. Lalu memandang kedua mata gadisnya yang cantik.

"Kamu tau kan mama gak pandai menjelaskan suatu hal"

Gadis itu tersenyum geli. Iya juga. Sang ibu sangat buruk dalam menjelaskan sesuatu. Ia selalu bilang "ya gitu deh, pokoknya gitu deh" saat ditanya sesuatu. Entah memang susah menjelaskan atau memang malas menjelaskan.

"Tapi daripada pusing mikirin gituan, mama mau ngasih sesuatu buat kamu baca" ujar wanita itu dengan semangat.

Sang anak hanya mengeluh. "Ma.. aku gak ada waktu buat baca novel"

Ibunya memang seorang penulis juga pembaca novel. Sejak kecil ia sudah kenyang disuguhi buku ini dan itu. Tapi tidak pernah diberi buku karyanya sendiri. Malu katanya. Walaupun tanpa sepengetahuan ibunya ia membeli dan membaca karya sang ibu.

Wanita itu kembali dengan buku diary yang usang dikedua tangannya. Buku diary dengan isi kertas warna-warni yang ia taksir hampir seribu lembar dilihat dari ketebalannya.

"M-mama nulis diary?" Gadis itu merasa takjub sekaligus terkejut. Ia tak menyangka ibunya adalah orang yang seniat ini. Hey, siapa yang menulis diary jaman sekarang? Maksudnya, sang ibu tumbuh pada jaman dimana internet dan sosial media sudah dapat dijangkau dengan mudah. Menulis diary sudah jarang dilakukan sejak dulu.

"Iya. Bisa dibilang perjalanan hidup mama dari mama awal remaja sampai membesarkan kamu. Kira-kira emm.. 30 tahun lebih?" Wanita itu mengira-ngira.

"Ini mama kasih pinjem kamu" ucap wanita itu sambil menyodorkan bukunya.

"T-tapi kenapa? Ini kan harusnya privasi mama, kenapa suruh aku baca?" Gadis itu makin kebingungan.

Sang ibu mengelus surai sang anak dengan lembut. "Mama nulis ini buat kamu, buat anak mama, sejak SMP mama udah bertekad mau bikin anak mama time traveling untuk mengenal seperti apa kehidupan mama dulu dan seperti apa sifat mama dulu. Gatau, mama narsis aja pengen kamu tau segalanya tentang mamamu ini" jelas sang ibu diiringi tawa ringan diakhir kalimatnya.

"Mama buruk dalam menjelaskan sesuatu, kamu tau? Mama gak bisa merangkum. Mama juga sebenernya gak bisa menjelaskan secara gamblang apa itu tujuan hidup manusia, karena yang tau tujuan hidup seseorang itu ya masing-masing dari mereka, gak ada yang sama"

"Makanya mama nyuruh baca buku ini biar kamu bisa lihat selama 42 tahun mama hidup apa aja yang mama liat dan mama alami. Apa tujuan mama hidup. Mama harap dengan kamu tau banyak cerita orang, kamu bisa mencerna sendiri arti kehidupan untuk kamu sendiri itu apa"

Sang gadis menerima buku tebal itu. Ada gembok kecil dipinggirnya, kuncinya sudah menggantung. Ia membukanya. Dan terpampanglah pemandangan yang membuat kedua perempuan itu bertatapan dan tertawa.

"Tulisannya bagus sekali ya ibunda, aku sakit bacanya ini" ujar sang anak. Padahal ia sudah terbiasa dan sudah sangat hafal dengan tulisan ibunya. Bisa dibilang ia satu-satunya yang bisa lancar membaca tulisan ibunya dibanding siapapun di dunia.

Sang ibu tersipu malu. Ia memang penulis, tapi tulisan tangannya tidak harus bagus kan?

Gadis itu membaca satu persatu kata yang ditorehkan sang ibu. Ditemani sang penulis, seluruh jiwanya turut masuk kedalam cerita bagai menyelami lautan yang indah namun begitu dalam dan menakutkan demi menggapai berlian di dasarnya.

What Is The Purpose?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang