5. Pengakuan dan Pertemuan

44 12 0
                                    

Gadis itu memandang tumpukan buku di meja belajarnya. Matanya kosong. Tangannya sibuk memutar-mutar pena berwarna merah muda dengan kelipnya yang menyilaukan.

Esok adalah ujian tes untuk penerimaan murid SMA, memikirkannya saja sudah membuat gadis itu lelah.

"Andai aja Emak masih ada" lirihnya.

Ia memejamkan mata. Menyelam kedalam ingatannya sedalam mungkin. Air mata mulai menerobos kelopak mata yang ditekan memaksa, frustasi karena tak berhasil menemukan wajah sang nenek diingatannya.

Neneknya yang malang, ia bahkan tak sempat melihatnya memegang piala sebagai juara umum. Neneknya yang jahat, yang mengingkari janji untuk membelikannya bakso padahal Sheena menepati janjinya.

Air mata nyatanya terus menerobos paksa matanya. Sang penyemangat sudah tiada, tapi Sheena terus berusaha. Kini ia lelah, ia ingin beristirahat.

Suara langkah kaki mendekat ke kamar Sheena. Gadis itu dengan cepat mengusap air matanya. Tak lama pintu terbuka dengan kasar.

"Jangan nongkrong-nongkrong aja. Belajar! Gimana mau masuk SMAN Cempaka kalo males-malesan gitu. Jangan mentang-mentang kamu pas SMP dua kali juara umum ya. Pas kelas 8 kamu turun ranking dua karena kamu lengah tau gak!"

Sheena mengepalkan tangannya. Menatap sang ibu dengan mata penuh luka. Ia lelah. Ia tak peduli lagi tentang takdir anak yang harus bersikap baik pada orangtua. Matanya merah menyala dengan air mata menggenang yang berbondong-bondong berjatuhan.

"Kalo aku gak belajar emang kenapa Bu? Kalau aku gak ranking aku bukan anak ibu?" Sheena menggertakkan giginya.

Sang ibu mengerutkan kening, tak percaya apa yang didengarnya. "Apa kamu bilang?"

Sheena terkekeh sinis. "Aa gak belajar, dia jarang pulang ke rumah, kerjaannya nongkrong, nyuri uang SPP, minta beli ini itu, tapi Ibu gak maksa dia belajar dan nurutin semua kemauannya yang bahkan Aa nolak disuruh kuliah."

"Aira juga anak males sampai sekarang udah mau SD aja dia gak bisa baca padahal dia TK, dia manja, jajan terus, minta beli ini itu juga Ibu Ayah turutin."

Sheena memukul-mukul dadanya. "Kenapa cuma aku Bu? Kenapa cuma aku yang gak boleh minta ini itu? Kenapa cuma aku yang harus nurut? Kenapa cuma aku yang harus ngertiin kondisi Ibu Ayah? Kenapa karena aku bisa baca duluan aku gak boleh masuk TK? Kenapa aku gak dibeliin sepeda kaya Aa? Kenapa satu-satunya boneka yang aku punya itu hadiah tarik tambang 17 Agustusan di sekolah? Kenapa cuma aku Bu? Kenapa cuma aku yang dipukulin karena aku gak mau belajar, atau karena rankingku turun? Kali ini aku mau masuk SMA pun Ibu sama Ayah bahkan gak ngasih aku pilihan atau berdiskusi sama aku nanyain aku maunya sekolah dimana,"

Sheena terisak hebat. Tubuhnya merosot jatuh ke lantai yang dingin. Seluruh energinya habis.

Sang Ibu menggerakkan matanya kesana-kemari. "I-ini semua kan demi kebaikan kamu! Orang tua mana yang gak mikirin kebaikan anaknya!"

Gadis itu tertawa keras, tapi air mata terus mengalir dari ujung kelopaknya. Tawa keras itu memenuhi rumah, membuat orang-orang didalam sana mendekati Sheena dan sang Ibu penasaran.

Sang Ayah yang baru datang terlihat panik dengan kejadian di depannya. Ia mendekati Sheena yang belum berhenti tertawa dengan takut-takut seakan ia adalah binatang buas yang siap untuk menerkam.

"Sheena, ini gak kaya yang kamu pikirin. Kamu anak yang baik dan bisa diandalkan, beda dari kakak dan adikmu, karena itu ibu dan ayah berharap lebih sama kamu." Ujar ayahnya dengan suara lembut.

"Ibumu benar, ini demi kebaikan kamu. Kamu tau kan, kalau kamu belajar giat, dapet beasiswa dan sekolah yang tinggi kamu bakalan dapet pekerjaan yang layak, gaji yang besar. Dengan begitu kamu gak nyusahin orang tua, terus kita bisa pindah ke tempat yang lebih baik, bisa nyekolahin adik kamu-"

What Is The Purpose?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang