3. Petrichor

60 11 0
                                    

Ekpresif. Jujur dengan perasaan sendiri.

Dua hal itu seakan sudah di blokir dari dalam dirinya. Harta karun yang tak pernah ia miliki kuncinya. Rasa bersalah dan tak pantas selalu menyelimuti dirinya setelah mengekspresikan kata hatinya. Dia akui dia memang munafik.

Rasa bersalah dan rasa tak pantas yang lebih sakit dari apapun, mengalahkan rasa ketidakadilan. Memangnya dia siapa bisa menghakimi orang? Memangnya dia tahu apa tentang orang? Bagaimana kalau mereka memang memiliki urusan yang tidak bisa ditinggalkan? Kalaupun memang bukan begitu bagaimana kalau mereka mempunyai masalah sehingga lebih memilih untuk bersenang-senang? Pertanyaan-pertanyaan memojokkan yang dia arahkan pada dirinya sendiri selalu saja bermunculan.

Sheena menggigit bibirnya sembari menatap lelaki yang sedang sibuk menorehkan nama-nama kota di petanya. Memindai setiap inci wajahnya. Lelaki ini juga tahu apa? Mereka bahkan tidak mengenal satu sama lain, tapi dia bahkan berani menceramahi Sheena tentang mengekspresikan dirinya? Tidak, bukan itu masalahnya!

"Udah mau bel nih, gak mau masuk dulu?" Tanya Bulan setelah melihat jam di tangannya.

"K-kakak aja, aku mau beresin ini dulu dikit lagi" jawab Sheena canggung. Tapi melihat angka sembilan romawi di kerah seragamnya sepertinya sudah semestinya ia memanggil kakak.

"Aku males sih, pelajaran pertama PKN, aku jarang masuk kelas kalo gak ulangan. Kamu aja sana, aku yang kerjain ini dikit lagi mah"

Sheena mematung canggung. Ia jarang sekali mendapat bantuan orang seperti ini. Apakah ia harus menerimanya? Tapi.. ibunya selalu bilang jangan mudah menerima bantuan dan pemberian orang.

"Udah sana, aku bukan orang jahat kok"

Entah kenapa Sheena mengangguk begitu saja. Seakan ada kekuatan lain dari lelaki itu yang membujuk ia untuk mempercayainya.

"Makasih kak. Aku masuk dulu, kalau udah selesai ataupun kakaknya cape langsung titip aja ke yang piket jaga. Aku udah sering titip di sini kok"

"Iya tau kok" tukas Bulan dengan cepat.

"H-hah? Tau?"

Bulan tersenyum dengan misterius. "Udah sana"

Sheena mau tak mau segera menghilang dari pandangan Bulan ketika suara bel terdengar.

"Abis dari mana lo? Gue cariin" tanya Rio yang tiba-tiba mencegat Sheena di ambang pintu kelasnya.

"Kenapa?" Tanyanya ketika melihat sorot mata Rio yang redup. Tidak biasanya, Rio adalah orang yang ceria.

"G-gue mau bantuin lo ngerjain. Tapi lo malah pergi. Gue kan mau tanggung jawab sama tugas gue" lirihnya.

Sheena menatap lekat teman sebangkunya ini. Ia ingin sekali tahu isi hati manusia. Apakah Rio seperti ini karena takut di keluarkan dari kelompok tugasnya? Atau malah ia merasa bersalah?

Terlepas dari kemungkinan-kemungkinan yang ada, Rio juga manusia. Sheena juga manusia yang mungkin sering melakukan hal-hal yang merugikan orang. Sekali lagi, ia tak pantas menghakimi orang lain.

"Rio.. maafin gue ya"

*********

Sheena memandang wajahnya di cermin, membetulkan kuciran rambutnya yang sudah berada di ujung. Ia memang selalu melonggarkan kucirannya, hingga lama kelamaan kucirannya akan terus turun, tidak jarang kucirannya jatuh dan hilang. Sebenarnya mengucir rambut adalah hal yang tidak ia sukai, ia selalu merasa pening saat dikucir.

Sheena melirik jam tangannya.

Jam 3.

Ia menyandarkan tubuhnya sebentar. Membayangkan ia tidak bisa istirahat dulu saat nanti pulang ke rumah membuat pundaknya berat.

Kegiatan ekstrakurikuler seperti ini benar-benar terasa seperti menyita waktu Sheena, walaupun masuk art club adalah keinginannya sejak dulu, tapi ia mengurungkan niatnya. Sekali lagi Sheena bukan orang yang rajin, yang selalu siap memadatkan jadwalnya tiap hari bahkan walau hanya untuk bermain. Istirahat sebentar setelah pulang sekolah adalah satu-satunya kemewahan yang bisa ia rasakan tiap harinya, kasarnya.. semangat hidup.

Tapi kenyataan kalau mengikuti kegiatan ekstrakurikuler adalah sebuah sunnah semi wajib untuk menambah nilai, mau tak mau ia mengorbankan 3 hari istirahatnya selama 5 hari sekolah.

"Na, geng Jabodetabek masih di kelas?!"

Hampir saja Sheena berteriak karena sang ketua kelasnya tiba-tiba berdiri di ambang pintu masuk toilet dengan suara cemprengnya yang memekakkan telinga. Pasalnya dari tadi memang hanya ada dia di toilet ini, sekolah sudah sangat sepi.

"Ngagetin aja ih Windy!"

Sang pelaku hanya tertawa kecil.

"Ada" jawab Sheena masih dengan mengelus dadanya.

Geng Jabodetabek adalah panggilan untuk Rio, Shifa, Rina dan ada satu lagi di kelas sebelah yang bernama David. Mereka memang berasal dari luar Bandung. Rio dan Shifa berasal dari bekasi, sedangkan Rina dari Depok, dan David yang berasal dari Jakarta.

Itu alasan kenapa mereka berbincang dengan panggilan 'lo-gue', teman-teman yang lain juga-termasuk Sheena entah kenapa menggunakan panggilan itu saat berbincang dengan mereka, rasanya lebih nyaman begitu.

"Itu ada jemputannya Shifa, katanya geng Jabodetabek juga disuruh nebeng sama orang tuanya. Bilangin ya"

Sheena mengangguk sebagai jawaban.

Sheena menatap langit di atasnya dengan malas. Awan-awan gelap yang bergumul menimbulkan pemandangan yang membuat gelisah. Ia mengeluarkan jas hujan tasnya dan memasangkannya. Pulang berjalan kaki sendirian ditengah persawahan yang lapang dan diguyur hujan adalah pemandangan menyedihkan yang selalu ia alami akhir-akhir ini.

"Na, mau nebeng gak?" Tanya David yang khawatir Sheena pulang sendirian.

"Gue bilangin kakaknya Shifa biar anterin lo dulu, dia baik kok" lanjutnya.

Sheena memandang mobil hitam di depannya. Mobil dengan pintu geser itu terlihat mewah, dalamnya juga begitu luas, ia bisa melihat teman-temannya yang sudah di dalam mobil itu menyandarkan tubuhnya dengan leluasa sembari berbincang. Ia bahkan tidak bisa memperkirakan harganya. Mobil ini terlalu sayang untuk melewati jalan bebatuan yang penuh dengan lumpur.

Sheena menggeleng dengan senyuman tulus di wajahnya. "Engga, Vid. Aku dijemput kok tenang aja" bohongnya.

David mengangguk. Tak bisa memaksa juga. Ia masuk menyusul teman-temannya dan melambaikan tangan pada Sheena.

Sheena berjalan sembari menunduk, sebuah kebiasaan jeleknya. Tak heran ia sering diomeli orang karena menabrak mereka.

Tanah kering berwarna cokelat itu perlahan dihiasi dengan bulatan-bulatan lebih gelap yang lama-lama lebih banyak lalu menyatu. Menghasilkan petrichor yang menimbulkan perasaan aneh bagi Sheena.

Entah ia menyebutnya perasaan apa, entah tenang atau marah.

Sheena benci hujan, diantara guyuran hujan ia merasa seperti dilucuti, seakan hujan tahu akan dirinya. Tapi ada perasaan lega, seakan ia tak perlu lagi berakting untuk selalu tegar, ia bisa menangis sebanyak-banyaknya, menumpahkan kelelahannya tanpa disadari siapapun.

Ya, selalu ada berbagai sisi di dalam dirinya.

Namun pandangan mata yang masih memburam itu terpaku pada roda sepeda yang tiba-tiba berhenti di depannya.

"Ayo naik"

What Is The Purpose?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang