Halaman belakang rumah itu telah disulap sedemikian rupa. Rangkaian bunga lili putih memenuhi nyaris setiap sudut tempat. Kursi-kursi dengan pita emas di punggung sandarannya telah terisi oleh tamu undangan. Mereka yang menampilkan senyum semringah sebagai tanda turut berbahagia. Musik berirama lembut menjadi latar suasana.
Dua pasang kaki berjalan anggun di jalan berkarpet merah. Kaki-kaki pemilik empunya hajat. Raja dan ratu hari itu. Pusat perhatian perhelatan spesial itu. Kedua insan menampilkan senyum lebar, bukti kebahagiaan yang sesungguhnya. Tangan mereka terjalin erat, seolah ingin mempertontonkan pada dunia bahwa mereka tidak akan terpisah.
Sedikit lagi, mereka akan sampai di singgasana. Panggung cantik di depan sana. Selangkah lagi mereka resmi menjadi suami istri.
Namun, tepat di langkah terakhir, si pemuda seperti tersedot pusaran maha dahsyat. Memaksa jalinan tangan itu terlepas. Detik berikutnya semua mendadak berwarna merah, dibarengi bau anyir yang menusuk. Dalam sekejap taman itu berubah serupa lautan darah.
***
“Tidak!”
Irish terbangun di malam buta. Dadanya berdebar kencang. Keringat mengucur deras, membuat kuyup baju dan rambutnya. Napasnya berkejaran. Matanya nyalang menatap ke atas, pada plafon putih itu. Lantas pandangannya terarah ke samping kanan dan kiri. Memastikan jika dia masih berada di tempat di mana dia tidur sebelumnya. Napasnya berangsur normal ketika menyadari ruangan bernuansa temaram itu memang benar kamarnya.
Bangkit, gadis itu duduk menekuk lutut. Lantas menyugar rambut. Mengembuskan napas kasar. “Mimpi sialan!” makinya.
Penunjuk waktu di atas nakas samping tempat tidurnya menunjukkan angka 2:15. Masih terlalu pagi untuk memulai aktivitas, tapi bisa dipastikan Irish tidak akan lagi bisa memejamkan mata. Alhasil, gadis berambut sebahu itu memilih meninggalkan tempat tidurnya. Berjalan ke arah jendela di samping kanan, menyibak tirainya.
Seberkas cahaya dari luar menembus kaca. Memetakan bayangan Irish di lantai dingin tempat gadis itu berpijak. Gadis dua puluh sembilan tahun itu menyilangkan tangan di dada. Matanya menatap benda bulat di langit sana.
Cukup lama dia berdiri, tanpa pergerakan berarti. Seolah sedang berbagi isyarat dengan malam. Seolah tengah berbagi kata dengan bulan purnama.
Lima belas menit kemudian barulah dia beranjak ke arah pintu. Menekan sakelar di sebelahnya, membuat terang suasana. Ranjang ukuran queen dengan selimut berantakan itu mendominasi ruangan. Meja kerja dengan PC di atasnya berada di depannya. Sementara di sebelah kiri berdiri kokoh lemari pakaian tiga pintu. Nyaris semuanya didominasi warna putih.
Irish duduk di kursi kerjanya. Kursi yang sebenarnya baru dua jam lalu dia tinggalkan. Jemarinya menyentuh buku sketsa yang terbuka. Desain gaun setengah jadi terpampang di sana. Tidak, dia tidak bermaksud menyelesaikan pekerjaannya itu. Tangannya justru membalik ke halaman sebelumnya. Terus begitu, sampai tiba di halaman paling depan.
Gambar gaun pengantin yang belum pernah menjadi nyata. Dia meraba gambar itu. Mengikuti garis tintanya. Dalam bayangannya, gaun itu sederhana saja. Berwarna putih bersih. Berlengan panjang dengan sedikit sentuhan di ujungnya.
Dia tidak suka model balon yang mengembang di bagian bawah. Dia lebih suka kain itu jatuh mengikuti bentuk tubuhnya. Seperti sketsa itu, dibentuk dengan model A line yang sedikit melebar di bagian bawah. Harusnya gaun itu sudah dikenakannya. Lima tahun lalu. Tiga tahun lalu.
Irish mengerjap, menyadari jika pandangannya mulai berkabut. Selalu seperti itu. Gambar itu seakan mengandung bawang yang membuat matanya berair.
Menghela napas panjang, Irish menutup buku itu. Berganti menumpukan kedua sikunya di meja. Lantas menangkup wajah dengan kedua tangan. Sembari melakukan inhale dan exhale.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anti Cancer
RomanceDua kali gagal bertunangan membuat Irish trauma. Membuatnya lebih waspada. Setiap kali ada yang mendekat, hal pertama yang dia tanyakan adalah, "Apa zodiakmu?" Namun, terkadang rasa itu tumbuh tanpa disadari si pemilik hati.