Irish terkesiap karena sebuah benda yang tiba-tiba diletakkan di mejanya dengan sedikit kasar. Mendongak, didapatinya Shofi yang memanyunkan bibir. “Kenapa lo? Apaan nih?” Dia menunjuk kantung putih di depannya.“Sok-sokan gak mau makan siang! Taunya nunggu kiriman!” gerutu Shofi, bibirnya masih mengerucut. “Bilang-bilang dong lo kalau mau dapet kiriman enak, gue kan juga mau!” Dia menepuk plastik itu.
“Apaan sih, Shof?” Irish menggaruk kepala. “Makanan enak apa? Gue gak mesen apa-apa.”
“Lha ini!” Shofi menunjuk benda di meja dengan dagu.
Dengan kening yang masih berkerut, Irish melongok ke dalam kantung putih itu. Ada kotak karton dengan logo salah satu restoran bebek di sana. “Ini dari siapa?” Dia menatap Shofi lagi.
“Halah gak usah sok gak tau gitu!” Shofi mengibas tangan di depan wajah. “Dari siapa lagi kalau bukan dari cowok baru lo itu. Lo gitu ya sekarang, gak mau makanan dari gue maunya dari Valdi.”
Alis Irish terangkat. Dia memeriksa kembali kantung itu. Lantas menggesernya ke arah Shofi. “Makan gih!” katanya.
Kelopak mata Shofi melebar. “Lho? Elah, gue becanda kali, Rish! Gitu aja ngambek. Gue malah seneng lo udah mulai kebuka sama cowok lagi. Gih makan-makan! Kasian banget yang belom makan dari tadi,” bujuk Shofi panjang lebar.
Irish menggeleng. “Gue gak minat, Shof, gih lo aja yang makan!”
“Ngambek nih? Iye gue minta maaf. Kita makan bareng aja gimana?” Shofi menaik-naikkan alis.
Lagi Irish menggeleng. “Gue gak mau, Shof! Lo ajak aja anak-anak buat ngabisin, gih!” Dia mengibas tangan mengusir Shofi.
“Lo ngapa dah? Seinget gue lo doyan banget bebek goreng.” Keningnya berkerut dalam. “Lagi marahan sama Valdi?”
Irish tak menjawab, dia melanjutkan menggambar, atau lebih tepatnya mencoreti kertas sketsanya dengan gambar tak jelas.
Dalam hati merutuk. Kenapa Valdi harus seperhatian itu. Tidak cukupkah perlakuan buruknya tadi pagi? Belum kapokkah Valdi dengan kejudesannya?
“Rish, cerita sama gue! Valdi nyakitin lo?”
Irish menggeleng. “Nggak, Shof. Kita Cuma ... gue ngrasa kita gak cocok aja.” Dia tidak mampu menatap Shofi saat mengatakan itu.
Shofi memicing. “Gue tau nih. Kayaknya gue nyium bau-bau cancer di sini.”
Irish menunduk, tak menjawab.
“Ya Tuhan, Rish!” pekik Shofi kemudian. “Mau sampai kapan kejebak ramalan sialan itu?” tanyanya gemas.
“Ini bukan hanya ramalan, Shof. Ini tuh berdasar fakta.”
“Alah!” Shofi mengibas tangan. “Itu mah lo aja yang parnoan. Please, Rish, wake up!”
“Lo bakal parno kalau yang lo alamin itu berulang, Shof. Dua kali! Dua kali!” Irish mengucapkan dua kata terakhirnya penuh penekanan sembari menunjukkan dua jarinya. Detak jantungnya meningkat karena pembicaraan itu.
Shofi menghela napas. “Tapi gak mungkin terjadi tiga kali, kan?” Nada suaranya melunak.
“Siapa yang bisa ngejamin?” tantang Irish. Nada suara masih sekeras tadi.
Lagi, Shofi menghela napas. Dia menatap sahabatnya itu dalam. “Terus lo mau nyerah gitu aja? Mau ngebuang Valdi?”
“Siapa yang ngebuang? Lagian di antara kami belum ada hubungan apa-apa kok.”
“Dan lo gak suka sama Valdi?” sambung Shofi cepat.
Irish tertegun. Ludahnya tertelan pahit. Suka? Tentu saja dia suka. Dia menyukai menghabiskan waktu bersama Valdi. Dia berdebar saat lelaki itu menatapnya. Dadanya bak ditumbuhi bunga-bunga saat Valdi melontarkan kata-kata manis untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anti Cancer
RomansaDua kali gagal bertunangan membuat Irish trauma. Membuatnya lebih waspada. Setiap kali ada yang mendekat, hal pertama yang dia tanyakan adalah, "Apa zodiakmu?" Namun, terkadang rasa itu tumbuh tanpa disadari si pemilik hati.