8. Pagi yang Menyenangkan

3 1 0
                                    

Irish terkesiap kaget saat keluar dari lift. Penyebabnya adalah sosok pemuda yang berdiri bersandar tembok di samping lift itu. “Kamu ngapain?” tanyanya pada Valdi.

“Nungguin kamu.”

Irish menepuk dahi. Dia ingat semalam berkata bahwa dia biasa berangkat jam tujuh, tapi pagi ini dia terlambat bangun karena lagi-lagi insomnianya kambuh. Dia baru bisa memejamkan mata setelah Subuh. Niat awalnya hanya tiduran, tapi malah kebablasan. Alhasil jam berangkatnya pun molor setengah jam.

“Sorry banget, aku kesiangan tadi.” Irish menangkup tangan di depan dada. Dia tidak menyangka jika Valdi akan menunggunya seperti itu. “Kamu nungguin dari tadi?”

“Aku juga kesiangan kok, baru nyampe.” Valdi mengusap sisi lehernya saat mengatakan itu.

“Oh, kirain.” Irish mengembuskan napas lega. Lantas terkekeh dalam hati. Memangnya dia siapa sampai harus membuat Valdi menunggunya selama itu?

Mereka berjalan bersisian menuju area parkir mobil. Lantas saat semakin dekat dengan tempatnya, Valdi berkata, “Aku anterin, ya?”

“Ha? Gak perlu.” Irish menggerakkan tangan di depan tubuh, isyarat tidak usah. “Aku biasa nyetir sendiri, kok.”

“Ini paksaan. Anggap aja sebagai permintaan maaf kamu karena udah buat aku nunggu.”

Netra Irish membulat. Bibirnya separuh terbuka. Kaget dengan ucapan pemuda di depannya. “Lho tadi katanya gak lama?”

“Sebenarnya aku nunggu dari sebelum jam tujuh.”

Dan kelopak mata Irish semakin melebar. Orang macam apa yang menunggu selama itu?

“Ayo!”

Belum habis keterkejutannya, saat tangan Irish ditarik paksa. Membuatnya harus mengikuti langkah kaki Valdi. Sedikit terseok, karena jarak langkah mereka yang tidak sebanding. Satu langkah kaki Valdi setara dengan dua kali milik Irish.

“Tunggu!” Irish memberi tanda dengan telapak tangan saat Valdi akan membukakan pintu mobil. Dia menarik napas terlebih dahulu sebelum berkata, “Ini kalau kamu nganterin aku, ntar aku pulangnya gimana dong? Mending kita jalan iring-iringan aja gimana?”

“Aku yang jemput kamu.”

Irish melongo. Tak menyangka dengan kalimat Valdi. “Tapi ....” Lagi, Irish menghentikan gerakan tangan Valdi yang sudah membuka pintu itu, membuat mereka kembali berhadapan. “Kamu kan gak tau kapan aku pulang. Dan belum tentu jam pulang kita sam—” Ucapan Irish terhenti karena Valdi yang menyodorkan ponselnya tiba-tiba.

“Kasih nomor kamu, dan semua urusan beres.” Lelaki itu menaikkan satu alis, tersenyum miring. Seakan ingin mengejek Irish bahwa semua itu mudah.

Alhasil, Irish mengikuti kehendak Valdi. Setelah mengirimkan nomornya sendiri ke ponsel Valdi, dia masuk ke mobil. Duduk di samping kursi kemudi.

“Jangan lupa pakai sabuk pengamannya, Irish!” kata Valdi sebelum menjalankan mobil. Meninggalkan apartemen itu dan meluncur di jalan hitam.

“Sejak kapan kamu mendirikan butik itu?” Valdi mulai membuka lagi percakapan.

“Lima tahun lalu.” Selesai kuliah di jurusan desain fashion, dia sempat bekerja pada desainer ternama tanah air selama satu setengah tahun. Lalu bermodal harta peninggalan almarhum bapaknya, Irish mulai membangun usaha sendiri.

“Wah, itu sama kayak masa kerjaku di hotel,” tanggap Valdi.

“Kamu kerja di hotel? Hotel mana?” Irish mengubah posisi duduk agar lebih bisa menghadap Valdi.

Anti CancerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang