Lampu kamar Irish sudah dimatikan dari tiga puluh menit lalu, menyisakan lampu tidur yang memancarkan cahaya temaram. Suasana yang sangat mendukung untuk memejamkan mata. Namun, tidak demikian dengan Irish. Matanya masih sesegar itu. Rasa kantuk tak kunjung menyapanya. Berapa kali pun dia mengubah posisi tidur, berapa kali pun dia mencoba berhitung, kantuknya tak jua datang. Yang terjadi justru kasurnya berantakan karena terlalu banyak pergerakan di atasnya.“Ayolah mata, merem please!” gumam Irish setengah putus asa. Dia ingin mencoba tidur lebih awal. Dia ingin memiliki kualitas istirahat yang baik.
Menghela napas panjang, Irish kembali menutup matanya secara perlahan. Berharap kali ini benar-benar bisa tidur. Namun, yang terjadi malah sesuatu yang tidak diharapkan. Bayangan pengantin berdarah itu tiba-tiba tersaji di depan penglihatannya.
Sontak kelopak mata Irish kembali terbuka. Nyalang menatap langit-langit kamar. Mengembuskan napas kasar, dia bangkit. Duduk. Lantas menoleh ke laci nakas. Di mana obat tidurnya berada. Sebenarnya dia sangsi obat itu akan membuatnya tidur, karena beberapa malam lalu benda itu tak bekerja sesuai harapan. Pun dia lupa untuk membeli obat dengan dosis yang baru. Akan tetapi malam ini dia harus meminum pil itu. Berharap bisa membantu walau sedikit.
Tepat saat tangannya nyaris meraih gagang laci, ponsel di atasnya bergetar panjang, menandakan ada panggilan masuk. Urung membuka laci, Irish berganti mengambil ponsel itu. Lantas mengernyit saat tahu siapa yang menelepon. “Valdi?” gumamnya sembari menggeser ikon penerima panggilan.
“Halo ...,” sapa Irish.
Terdengar deheman dari seberang sana sebelum Valdi berujar, “Hai, aku pikir kamu udah tidur.”
“Belum, sih.” Karena insomnia sialan, imbuh Irish dalam hati. “Kenapa, Val?” tanyanya.
“Ng ... hanya pengen denger suaramu.”
Sejenak hening. Irish mengerjap saat pipinya dirambati rasa panas. Kalimat Valdi barusan seolah mereka punya hubungan khusus. Seperti ucapan lelaki pada pasangannya. Padahal mereka hanya teman. Menggeleng, Irish lantas berasumsi jika mungkin dia salah dengar.
“Irish, kamu masih di situ?” tanya Valdi.
“Ah, iya. Sory tadi aku ... lagi minum.” Irish beralasan. “Tadi kamu bilang apa?” ulangnya, mencoba meyakinkan diri jika tadi hanya salah dengar.
“Itu ... gak papa kok.” Lantas terdengar bunyi klik seperti bunyi pintu apartemen yang terbuka dan terkunci.
“Kamu baru pulang?” tebak Irish, dia menengok jam di nakas. Nyaris tengah malam.
“Iya, ada urusan sebentar tadi.”
“Oh, lembur?”
“Bukan, urusan pribadi, tapi udah beres kok. Kamu sendiri kenapa belum tidur? Ngerjain desain?” tanya Valdi.
Sejenak Irish menimbang dalam hati. Haruskah jujur atau tidak. Lantas dia memilih mengatakan yang sebenarnya. “Aku punya masalah tidur.”
“Insomnia?”
“Ya, semacam itulah.” Gadis itu menyugar rambut.
“Mau dengar sesuatu?”
“Apa?”
“Ng ....” Valdi terdengar ragu saat mengatakan itu. “Hanya suara harmonika, tapi semoga bisa ngebantu. Gini aja kalau nanti kamu justru merasa berisik stop aja. Oke?”
Irish tertawa kecil. Berbicara dengan Valdi selalu menciptakan kesenangan tersendiri. Ucapan-ucapan Valdi seolah memiliki sesuatu yang membuatnya senang dan lucu. “Baiklah,” jawab gadis itu. Dia menjatuhkan kembali tubuhnya di kasur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anti Cancer
RomanceDua kali gagal bertunangan membuat Irish trauma. Membuatnya lebih waspada. Setiap kali ada yang mendekat, hal pertama yang dia tanyakan adalah, "Apa zodiakmu?" Namun, terkadang rasa itu tumbuh tanpa disadari si pemilik hati.