12. Benih-Benih Rasa

3 1 0
                                    

“Terima kasih sudah bekerja sama dengan kami.” Valdi menjabat tangan seorang wanita paruh baya yang bertindak sebagai EO acara yang akan digelar di ballroom hotel. Rencananya malam Minggu nanti akan diadakan acara ulang tahun salah satu star up yang tengah berkembang pesat saat ini.

“Sama-sama, Pak Valdi. Oh iya, saya dapat amanat dari CEO-nya untuk memberikan ini.” Wanita itu menyodorkan dua buah undangan ke hadapan Valdi.

“Untuk saya?”

“Iya, sama boleh juga ajak pasangan.” Wanita itu tersenyum penuh arti.

Valdi tertawa kecil. Mengusap tengkuk sekilas. Mendadak dia terbayang wajah Irish.

Setelah wanita itu dan asistennya pergi, Valdi membereskan berkas-berkas di meja. Memasukkan dalam map.

“Bapak mau makan siang apa?” tanya Bayu. Lelaki berkacamata itu bersiap memesankan makan siang untuk Valdi.

Valdi tidak langsung menjawab, dia menilik arloji di pergelangan. Lalu pada dua lembar undangan di meja. “Saya makan di luar saja, Bay,” ucapnya.

“Oh, baiklah. Anda ada janji temu?”

Valdi menoleh pada asistennya itu. “Kenapa kalau saya ada janji temu?”

“Ah, tidak, tidak apa-apa, Pak. Hanya penasaran saja orangnya yang kemarin datang ke hotel atau yang pernah saya antar pulang.” Bayu meringis.

Valdi menggeleng. Asistennya itu di satu waktu bisa lebih kepo dari paparazi. “Sudah istirahat sana!” Dia mengusir Bayu.

Setelah itu, Valdi meraih ponselnya, berniat menghubungi Irish untuk mengajak makan siang. Namun, sebelum jempolnya menggulir layar kontak, ide lain mendadak muncul di otak. Dia urung menghubungi nomor Irish, memasukkan ponsel ke saku celana. Lantas beranjak pergi meninggalkan ruangannya, meninggalkan D’ Amor.

Valdi memacu kendaraannya di jalan hitam siang itu. Melewati rute yang beberapa hari ini rutin dia sambangi. Sepuluh menit kemudian dia sampai di halaman Jingga Butik.

Dia sengaja tidak menghubungi Irish. Bermaksud memberi kejutan lain pada gadis itu. Saat memasuki butik, dia disambut ramah oleh salah satu karyawan yang langsung menawarinya bantuan. Namun, Valdi menolak dengan halus. Dia membawa langkahnya ke tepi kanan, di mana si pemilik butik tengah menilai penampilan seseorang, melihat dari berbagai sisi.

Valdi menelengkan kepala, pemandangan itu membuatnya teringat pertemuan keduanya dengan Irish. Saat gadis itu membantu istri Prasetya memilih baju. Irish memang setulus itu saat melayani pelanggannya.

“Sepertinya nggak ada yang harus diperbaiki lagi. Ini sudah pas. Nggak ada yang ngerasa nggak nyaman, kan?” tanya Irish pada gadis yang terlihat lebih muda darinya itu.  Ballgown sewarna bunga lavender membalut tubuh itu.

Yang ditanya menggeleng. “Ini udah nyaman banget, Mbak. Aku suka banget.”

Irish tersenyum, saat itulah dia baru mengangkat kepala. Lantas kelopak matanya melebar saat melihat Valdi yang dari tadi memperhatikannya. “Valdi?”

Valdi tersenyum, maju dua langkah untuk lebih dekat pada Irish. “Aku tebak kamu belum makan siang,” katanya.

“Sejak kapan kamu di situ?” Bukannya menjawab, Irish justru mengajukan pertanyaan.

“Gimana kalau makan siang bareng?” Seakan ingin membalas perbuatan Irish, Valdi pun tak menjawab pertanyaan gadis itu.

Irish tertawa kecil, menggeleng. Bukan karena tidak mau diajak makan siang, tapi karena interaksinya dengan Valdi yang menurutnya lucu. Mereka saling mengajukan pertanyaan tanpa menjawab pertanyaan yang telah diajukan. “Selera makanku tinggi lho!” tantang Irish pada akhirnya.

Anti CancerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang