6. Obrolan Pertama

11 1 0
                                    

“Panggil Valdi saja, bagaimana, Irish?”

Irish mengerjap mendengar ucapan lelaki di depannya itu. Setelah dikejutkan dengan kemunculannya di pernikahan sepupunya, Irish kembali dibuat takjub dengan permintaan Valdi. Mereka bahkan baru kenal. Oke, pertemuan mereka memang sudah kali ketiga, tapi tetap saja terasa aneh bagi Irish yang tidak mudah akrab dengan orang baru apalagi lawan jenis. Selain itu, Irish cukup yakin mereka tidak akan bertemu lagi.

“Kalau kamu keberatan—”

“Ah, bukan!” Irish buru-buru memotong ucapan Valdi. “Maksud saya, gak papa, Valdi.” Dia mengulum senyum. Tak ada salahnya memanggil nama, sepertinya mereka seumuran. Hitung-hitung jadi teman ngobrol selama acara itu. Orang-orang yang dikenal Irish di sana masing-masing membawa pasangan membuatnya seperti alien kesasar. Itulah sebabnya dia memilih menepi.

Valdi tersenyum lebar. “Jadi yang nikah itu siapanya kamu?” tanyanya kemudian. Entah siapa yang memulai, mereka semakin bergeser ke kiri. Menghindari kerumunan, menghindari perbincangan dengan tamu lain.

“Mempelai wanitanya sepupu aku, Vania.”

“Sepertinya orang tuanya pengusaha sukses banyak orang-orang elite di sini.” Valdi mengedarkan pandangan. Pada sekumpulan orang yang bersama Prasetya. Aura mereka terlihat berbeda, mulai dari tampilan fisik sampai pembawaan.

“Sebenernya yang tajir keluarga suaminya, sih.” Irish mengucapkan itu dengan cara berbisik, membuat Valdi terkekeh.

“Kamu sendiri sudah punya ... suami? Atau pasangan?” tanya Valdi agak ragu.

Pertanyaan itu membuat Irish teringat obrolannya dengan dua sepupunya yang lain. Jelita dan Clarisa yang masing-masing telah berkeluarga. Saat pertama bertemu tadi, mereka langsung memberondong Irish dengan pertanyaan seputar, “Kapan nikah?” “Gih, nyusul!”

Salah satu alasan kenapa Irish sering mangkir dari acara kumpul keluarga yang diadakan sebulan sekali. Dia bosan terus ditanyai hal yang sama. Karena bagi Irish mendapatkan pendamping hidup tak semudah itu. Tak semudah melontarkan kalimat tanya itu.

“Move on, dong, Rish! Udah dua tahun lho!” ujar Jelita, yang sudah memiliki satu anak.

“Iya, Rish. Apa perlu kita cariin?” tawar Clarisa, yang sedang hamil anak kedua.

“Tengkyu banget buat kalian berdua, tapi gue masih bisa kok nyari sendiri,” balas Irish disertai senyum. Berharap pembahasan seputar pasangan hidup akan berakhir.

“Katanya bisa, tapi buktinya nyampe sekarang masih datang ke undangan sendiri,” cibir Clarisa sembari mengelus perut buncitnya.

Hal yang sempat membuat Irish mengerutkan kening, apa maksudnya itu? Dia khawatir anaknya bernasib sama dengan Irish?

“Ya, gak harus diceritain ke kalian juga, kan?” balas Irish sedikit ketus. Dia tidak suka saat orang lain mencampuri urusan asmaranya, meski sepupunya sendiri. Bagi Irish urusan hati adalah hak mutlaknya untuk memilih dan menentukan. Entah sekarang atau nanti. Entah dengan siapa pun itu.

“Jangan salah sangka!” Jelita menepuk bahunya. “Kita kayak gini karena perhatian sama lo.”

Irish menarik sudut-sudut bibir. Membalasnya hanya dengan senyuman.

*

“Saya dateng sama mama,” jawab Irish jujur pada Valdi. Dia memang datang bersama ibunya yang saat ini tengah berdiri di antara paman-paman dan bibi-bibinya, menyalami tamu undangan yang naik ke atas panggung.

Tepat saat itu seorang wanita mengenakan long dress cokelat muda memanggil Irish.

Irish memejamkan mata sejenak, firasatnya tidak enak saat melihat Jelita mendekat. Setelah ini, pasti akan ada sesi interview panjang pikirnya.

“Siapa nih kok gak dikenalin ke kita sih?” tanya wanita berpostur tinggi itu.

Baru saja Irish akan menjawab saat suara Valdi lebih dulu terdengar. “Perkenalkan saya Valdi.” Dia menjulurkan tangan.

Jelita menerima jabat tangan itu sambil menelengkan kepala. “Valdi teman atau pasang—“

“Dia klien di butikku, Ta.” Irish menyerobot ucapan Jelita. Mencegah sepupunya berasumsi yang tidak-tidak.

Pun Valdi yang langsung menoleh ke arah Irish dengan bibir terbuka, seolah ingin berkata, tapi kemudian tertutup lagi.

“Oh, klien,” ulang Jelita. “Kirain siapa. Btw kita mesti ke depan, Rish, sesi foto bentar lagi dimulai.”

Pandangan Irish teralih ke depan, benar saja sesi berfoto ria sedang dimulai. “Oke, bentar lagi gue nyusul.”

Sebelum pergi, Jelita membungkukkan badan, membisikkan sesuatu ke samping telinga Irish. “Kalau mau ajak KLIENMU juga boleh.” Lantas mengedipkan satu matanya sebelum melenggang.

Irish menghela napas atas kelakuan sepupunya itu. Lebih tepatnya bisikannya barusan yang seolah ingin mengatakan bahwa kata klien memiliki konotasi lain. Padahal jelas-jelas Valdi hanya klien. Mantan klien.

Dia menoleh pada Valdi. “Saya mesti ke sana.” Dia menunjuk arah pasangan pengantin.

“Oke.” Valdi mengangguk. “Ng ... setelah itu kamu mau langsung pulang?”

“Hng? Oh itu ... sepertinya iya.”

Lagi kepala Valdi terangguk. “Saya juga sepertinya akan segera pulang.”

“Oke. Kalau gitu sampai jumpa.” Irish mengulum senyum, sedikit mengangkat tangan sebagai isyarat perpisahan. Lantas berbalik. Namun, sebelum dia benar-benar meninggalkan tempat itu, Valdi memanggilnya, membuat Irish memutar kembali tubuhnya.

“Boleh minta WA-nya?”

Sejenak Irish terdiam. Ketika Valdi meminta untuk memanggil nama, dia masih bisa memaklumi itu. Namun, sekarang dia merasa ada sesuatu. Irish pernah didekati laki-laki. Pernah merasakan bagaimana awal pendekatan dari para lelaki itu. Salah satunya dengan meminta kontak pribadi, sedangkan mereka tidak terlibat hubungan kerja sama. Irish tidak ingin besar kepala, tapi dia juga tidak mau serta merta memberikan nomor telepon pribadinya. Apalagi yang Irish tahu Valdi tunangan orang. Oke, kemarin lusa dia memang sempat melihat pertengkaran mereka, tapi itu saja tidak bisa memastikan akhir yang sebenarnya, kan?

“Itu ... saya gak bawa hp.” Dia mengangkat kedua tangannya yang memang tidak membawa apa-apa. “Dan gak hafal nomer,” tambahnya lagi. Irish memang tidak hafal nomor teleponnya sendiri.

“Oh begitu,” ujar Valdi tampak kecewa. “It’s oke, kalau gitu sampai jumpa lain waktu.”

Ucapan Valdi hanya ditanggapi dengan senyum tipis oleh Irish, lalu benar-benar pergi meninggalkan Valdi.

Irish melangkah anggun menuju area mempelai. Dari sini dia bisa melihat Vania yang memakai gaun pengantin yang dia rancang sendiri. Gaun berwarna cokelat susu yang tampak pas dengan kulit Vania. Pun potongannya yang sesuai di tubuh mungil sepupunya itu.

“Irish, sini!” pekik Vania saat menyadari dia mendekat. Dia antara para sepupu itu, Irish memang paling dekat dengan Vania. “Ke mana aja sih, lo? Bukannya nemenin gue,” protes Vania.

Irish dan dua sepupu yang lain awalnya memang bertindak sebagai bridemaid, tapi setelah mengiringi sampai panggung, Irish memutuskan memisahkan diri. Dia tidak terlalu nyaman menjadi sorotan.

“Abis ketemu KLIEN die.” Lagi-lagi Jelita menekankan kata klien, membuat Clarisa dan Vania mengerutkan kening.

“Masa masih bahas kerjaan aja!” cibir Clarisa. “Jangan terlalu fokus kerjalah, Rish. Bisa-bisa yang mau deketin lo pada jiper gegara lo terlalu sukses.”

“Bukannya malah bagus kalau jadi wanita karier yang sukses?” timpal Vania.

“Ya bagus aja asal tetep bisa bagi waktu. Jangan sampai karena terlalu fokus ke kerjaan jadi urusan yang lebih penting terabaikan.” Clarisa mengelus perutnya yang sudah memasuki bulan keempat.

Irish mengembuskan napas. “Udah deh, berenti dulu ngrumpinya, jadi foto gak nih?” Dagunya terangkat, menunjuk kameramen yang tampak menunggu.

Seolah baru tersadar, mereka segera mengubah posisi. Mempersiapkan diri tampil secantik mungkin di depan kamera.

Anti CancerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang