7. Ternyata Kita Satu Atap

4 1 0
                                    

Mobil hitam itu berhenti di basement apartemen. Setelah mematikan mesin, Valdi tidak langsung keluar, dia teringat lagi dengan obrolannya bersama sang ayah satu jam lalu.

“Jelasin sama papa kenapa mendadak memutuskan pertunangan? Kamea sampai nangis-nangis kayak gitu! Kalau dia ngadu sama ayahnya, kan Papa juga yang malu!” berondong Wisnu saat Valdi baru mengenyakkan diri di sofa ruang tamu rumah orang tuanya.

Sudah sejak bekerja di D’ Amor, Valdi memilih tinggal terpisah. Jarak dari rumah orang tuanya ke hotel memakan waktu lebih dari satu jam. Hal yang melelahkan jika dia harus pulang pergi tiap hari. Jadi, dia memilih tinggal di apartemen dengan sesekali pulang menjenguk orang tuanya.

Biasanya, jika dia pulang, Valdi akan disambut baik. Dipeluk erat, disuruh makan enak, dan sebagainya. Namun, hari ini sepertinya pengecualian. Wisnu langsung menyidang putranya itu. Jawaban yang diberikan Valdi via telepon kemarin, belum memuaskannya.

Berbeda dengan sang ayah, Desi, ibunya Valdi tidak ikut memberondong dengan pertanyaan. Dia duduk di samping putra sulungnya dalam diam. Menjadi penyimak saja untuk saat ini.

Valdi menatap ayahnya. “Seperti yang aku bilang kemarin, Pa, Ma ....” Dia menoleh pada orang tuanya bergantian. Mencoba memberi penjelasan sehalus mungkin, agar tidak menimbulkan amarah berlebihan. “Kamea tu terlalu bukan tipe Valdi. Semua pandangan hidup kami bertolak belakang. Papa kan tau di model, sementara Valdi gak terlalu suka perempuan yang tubuhnya dipertontonkan kayak gitu.”

“Ya, itu kan resiko kerjaannya, Valdi,” timpal Wisnu.

“Makanya, Pa. Bakal kaya apa keluarga Valdi nanti kalau dia aja gak pernah nurut apa kataku?”

“Mungkin Kamea butuh waktu. Buktinya kemarin dia sampai nangis-nangis gitu. Iya, kan, Ma?” Wisnu minta dukungan istrinya.

“Iya, Nak,” kata Desi, menoleh pada putranya. “Kayaknya dia cinta banget sama kamu. Masa gak nurut sih, nantinya?”

Valdi tersenyum miring. Dia sangsi jika sebesar itu cinta Kamea. Pendekatan mereka selama dua bulan ini bahkan lebih banyak perbedaan pendapatnya. Dia jadi bingung sendiri apa yang menyebabkan Kamea sesedih itu?

“Intinya, Ma. Aku udah gak sreg sama dia. Aku gak suka Kamea.” Valdi menekankan kalimat terakhirnya.

“Kalau gak suka trus siapa yang kamu suka, Valdi? Jangan lupa kamu juga butuh menikah, kami perlu menantu?” tanya ibunya.

“Selain itu ....” Belum sempat Valdi menjawab pertanyaan Desi, Wisnu lebih dulu menambahkan. “Bagaimana kamu akan menjelaskan pada Rama? Jangan sampai menjadikan profesi Kamea sebagai alasan, Val. Itu sama aja kamu ngerendahin orang tuanya.”

Valdi tidak langsung menjawab. Orang yang disuka? Untuk saat ini mungkin Valdi bisa menyebut ketertarikan pada seorang wanita. Belum bisa dipastikan suka atau hanya sebatas penasaran. Tapi tentu dia tidak bisa menjawab demikian di depan orang tuanya. Bisa-bisa Wisnu akan menyuruhnya membuang jauh perasaan itu dan memaksanya tetap bersama Kamea. Itu jelas mimpi buruk.

Maka, yang harus dia lakukan adalah sedikit berbohong. Berbohong sedikit tidak apa-apa, kan?

“Valdi punya alasan,” jawab pemuda itu kemudian. “Valdi memang sedang menyukai orang lain.”

Kesiap kaget segera terdengar dari kedua orang tuanya. “Siapa, Nak? Temen kantor?” tanya ibunya.

“Siapa, Valdi? Kamu yakin dia lebih baik dari Kamea?” todong ayahnya.

Valdi menghela napas. Sejujurnya dia butuh udara segar sekarang. Dia seperti pesakitan yang sedang disidang oleh dua jaksa penuntut sekaligus. Meski orang tua sendiri, tetap saja Valdi butuh memutar otak agar mereka luluh dan mau menerima keputusannya.

Anti CancerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang