Dua hari ini Valdi sibuk. Jadwalnya padat, mulai dari rapat dengan direksi, bertemu klien, pun memastikan persiapan ballroom hotem untuk acara Victory. Dia harus memastikan klien yang bekerja sama dengan hotel merasa puas, dan ada kemungkinan mengulanginya lagi. Dua hari ini pulangnya pun larut.
Saking sibuknya, dia sampai baru sadar jika pesan yang dia kirim pada Irish kemarin pagi belum dibalas. Valdi menilik penunjuk waktu di ponselnya. Belum tengah malam, mungkin Irish belum tidur, pikirnya. Dia memutuskan untuk menelepon Irish.
Panggilan pertama tak diangkat, Valdi beranggapan jika mungkin Irish sudah tidur. Alhasil dia memilih mengirim pesan. Sudah tidur? Rasanya lama sekali gal liat kamu, Irish. Besok gak lupa, kan, sama undangan kita?
Valdi masih menatap ponselnya. Berharap centang dua di sana akan berubah warna. Tanda bahwa telah dibaca. Namun, hingga lima menit setelahnya centang dua itu masih sama.
Dia menggeleng, tertawa sendiri. Padahal baru dua hari dia tidak bertemu Irish, tapi rasanya serindu itu. Dia ingin melihat gadis itu. Dia ingin mendengar suaranya. Dia ingin melihat pipi Irish yang merona.
“Sial! Kayaknya gue jatuh cinta beneran!” Valdi bermonolog. Lagi dia terkekeh, merasa seperti orang gila yang tertawa hanya karena membayangkan wajah seorang wanita.
Lantas dia bangkit, memutuskan mandi untuk menjernihkan otaknya. Lalu tidur agar besok saat bertemu Irish, dia terlihat fresh. Ya, tinggal hitungan jam, dia akan melihat gadis itu.
Sayangnya, apa yang direncanakan Valdi tidak berjalan sesuai ekspektasi. Dia justru tidak bisa memejamkan mata karena terus terbayang wajah Irish. Dia ingin menemui gadis itu segera. Memastikan Irish baik-baik saja. Memastikan rona di pipi Irish masih ada untuknya.
Mengubah posisi tidur menjadi menyamping, dia meraih ponsel di nakas. Sedikit menyesal karena sampai sejauh ini dia tidak pernah mengabadikan momen bersama Irish. Terlalu asyik menghabiskan waktu dengan gadis itu membuatnya lupa hal-hal yang biasa dilakukan anak milenial. Berswafoto. Valdi berdecak, dia berniat akan mengambil gambar sebanyak mungkin besok.
Valdi mengeklik ikon perpesanan. Melihat pesannya yang belum juga berubah warna. Lantas jempolnya mengusap foto profil kontak Irish. Foto gadis itu yang tengah menunduk, sepertinya sedang menggambar di buku sketsanya.
“Aku sayang kamu, Irish Jingga,” bisik Valdi.
Setelah itulah centang dua di pesannya berubah warna menjadi biru. Pertanda sudah dibaca. Sayangnya, Valdi tak sempat melihatnya. Dia tertidur dengan foto Irish di samping kepalanya.
***
Senyum Valdi terkembang lebar pagi ini. Dia sedang menunggu Iris. Bukan di depan lift seperti biasa, tapi di depan unit gadis itu. Valdi sudah membayangkan jika Irish akan terkejut nanti. Lagi, senyumnya tersungging karena membayangkan ekspresi Irish nanti.
Lima menit kemudian bunyi pintu yang dibuka terdengar. Valdi menegakkan tubuh, bersiap menyambut Irish. Sudut-sudut bibirnya tertarik sempurna.
Namun, ekspresi Irish jauh panggang dari api. Berbeda dengan prediksi Valdi. Gadis itu awalnya memang tampak kaget, tapi setelah itu dia menanggapi Valdi dengan dingin.
“Kamu ngapain di sini?” tanya Irish tanpa senyum.
Kepala Valdi terteleng, tidak menyangka dengan nada bicara Irish yang tak sehangat biasanya. “Nungguin kamu.” Namun, dia masih mencoba tersenyum.
“Oh,” jawab Irish kelewat pendek. Dia bahkan langsung berjalan menjauh setelah menutup pintu. Meninggalkan Valdi yang terbengong di tempatnya berdiri.
Valdi menyusul Irish, berjalan bersisian menuju lift. “Kamu ada masalah?” tanyanya. Dua hari tidak bertemu mungkin ada yang terjadi dengan Irish, mungkin ada masalah pekerjaan sehingga terlihat bad mood.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anti Cancer
RomantiekDua kali gagal bertunangan membuat Irish trauma. Membuatnya lebih waspada. Setiap kali ada yang mendekat, hal pertama yang dia tanyakan adalah, "Apa zodiakmu?" Namun, terkadang rasa itu tumbuh tanpa disadari si pemilik hati.