Setelah tiba di pondok Mang Ichal, Bapak pun langsung menceritakan semua kejadian yang kami alami dari awal sampai akhir tanpa kurang satu pun. Mang Ichal hanya mendengarkan sambil manggut-manggut tanpa menyela cerita Bapak. Setelah Bapak selesai bercerita, Mang Ichal pamit untuk Wudhu dan mendirikan sholat 2 Rakaat. Selesai sholat Mang Ichal kembali ketempat kami menunggu.
"Ini Teh... Diminum airnya... Sisahkan sedikit ya" ucapnya pada Ibu seraya memberikan botol air yang dibawanya.
Ibuku meminum air itu beberapa tegukan dan menyisakannya seperti yang Mang Ichal instruksikan. Setelah itu Mang Ichal menuang sedikit air di telapak tangannya dan menyipratkan nya ke kedua kaki Ibuku. Sambil memejamkan mata, mulut Mang Ichal berkomat-kamit membacakan doa dan tangannya memijat kaki Ibu ku. Sesekali terdengar Mang Ichal mengerang sambil mengucap "Astaghfirullahaladzim" atau "Allah Hu Akbar".
Hal ini berlangsung hampir sejam. Sampai tiba-tiba saja Mang Ichal menyeburkan darah merah dari mulutnya.
Bapak yang melihat Mang Ichal muntah darah menjadi panik. Saat ingin membantunya, Bapak ditahan oleh seorang santri, yang memang dari awal kami datang selalu mendampingi Mang Ichal. Tak lama kemudian, Mang Ichal membuka matanya dan tersenyum pada Bapak.
"Kang... Kakang tidak apa-apa? Kenapa sampai muntah darah kang?" Bapak langsung memberondong Mang Ichal dengan pertanyaan.
Mang Ichal pun menceritakan apa yang terjadi di alam astral pada Bapak. Aku pun turut mendengarkan apa yang diucapkan Mang Ichal dan sesekali bergidik ngeri, walaupun tak paham semua yang Mang Ichal ucapkan.
"Besok kita ulangin lagi ya", ucapnya pada Bapak. "Sekarang kalian istirahat saja dulu".
Hal ini berulang hingga hari ke tiga. Hari dimana Mang Ichal berkata pada Bapak bahwa Jin-Jin yang dikirim Mang Dadi untuk mencelakakan ibu sudah binasa, hanya satu yang melarikan diri.
Saat ini kondisi ibu memang jauh lebih baik. Belum bisa jalan sendiri, melainkan harus di papah. Berbeda dengan sebelumnya, ibu sama sekali tidak bisa menggerakan kakinya. Saat ini tinggal pemulihan saja.
"Sekarang Insyallah istri mu sudah aman dari gangguan Jin. Tapi aku khawatir jika nanti kalian pulang, Dadi akan berulah lagi. Sepertinya mereka akan menyambutmu disana" ujar Mang Ichal saat kami akan pulang "Jika terjadi sesuatu lagi sama istri mu, segera hubungi aku".
"Iya Kang... Saya juga merasa seperti itu. Terimakasih banyak Kang bantuannya. Doakan kami ya Kang" Bapak berpamitan dengan Mang Ichal dan santri nya.
Malam itu, perjalanan kami pulang dipenuhi aura ketegangan. Terutama Bapak, terpancar dengan jelas sekali ketegangan itu dari setiap sudut tubuhnya. Sepanjang perjalanan ini, tak ada obrolan seperti biasa diantara kami.
Sesampainya di rumah. Bapak turun untuk membuka pagar. Dari dalam mobil aku melihat Bapak seperti sedang berbicara sendiri saat membuka pagar.
"Saya siapin... Kopi dan susu"
Kalimat itu yang terdengar saat Bapak hendak masuk lagi ke mobil.
Aku papah ibu masuk kedalam rumah dan langsung kekamar nya, agar ibu dapat langsung beristirahat. Aku pun merebahkan diriku disampingnya. Aku pandangi wajah ibu yang terlihat lelah. Kupeluk ibu, seperti waktu aku kecil dulu ketika tidur disampingnya. Tanpa terasa aku pun terlelap.
Lagi-lagi aku terbangun karena ingin kekamar mandi. Saat keluar dari kamar Ibu dan Bapak, aku melihat gelas berisi Kopi dan Susu disalah satu sudut ruangan.
"Kopi sama susu buat apaan itu pak?" Tanya ku pada Bapak yang sedang duduk diruang tamu.
"Lanjutkan saja tidur mu, besok kita kerumah nenek". Aku pun masuk kekamarku tanpa bertanya apa-apa lagi pada Bapak. Mungkin ada hubungannya dengan apa yang aku dengar tadi.
Seperti yang sudah direncakan Bapak. Kami pun pergi kerumah Nenek. Tapi setibanya disana, lagi-lagi kami disambut oleh Nenek yang kesurupan. Jin dalam tubuh Nenek berkata kalau dia merubah sasarnya, dari Bapak ke Aku dan sekarang ke Ibu. Menurut dia, Ibu lah yang paling 'mudah'.
Bapak yang sudah habis kesabarnya, memutuskan untuk langsung berduel dengan Jin suruhan Mang Dadi dan pasukkannya. Keluarga Bapak yang mendengar ini tentu saja khawatir dengan Bapak dan mencoba untuk menenangkannya. Tapi sepertinya Bapak sudah bertekad untuk menuntaskan semua nya malam ini juga.
"Wahhh benar-benar bawa pasukan banyak" ucap Bapak sambil menatap halaman kosong saat kami tiba di rumah.
"Chan... Kamu dan Ibu tunggu didalam. Jangan keluar sampai Bapak suruh"
"Tapi pakkk... " Ibu khawatir
"Insyallah Bu... Doakan saja Bapak dari dalam"
Aku pun membawa Ibu kedalam dan hanya bisa melihat Bapak dari jendela ruang tamu. Bapak mengambil kuda-kuda seperti orang sedang pencak silat. Sesekali Bapak seperti seseorang yang sedang menebas-nebaskan pedang. Jika ada yang melihat Bapak sekarang, mungkin mereka akan berfikir kalau Bapak sedang latihan pencak silat. Atau parah nya, menganggap Bapak ku gila karena memukul, menendang dan menebas udara.
"Bu... Bapak berdarah" ucapku panik saat melihat Bapak menyemburkan darah dari mulutnya dan jatuh tersungkur sambil memegang perut nya.
"Jangan keluar Chann" ucap Ibu sambil menahan aku yang sudah memegang gagang pintu.
Aku kembali memandangi Bapak lewat jendela. Bapak masih memegangi perut dengan tangan kiri sambil mengibas-ngibaskan dengan tangan kanan. Sejam sudah Bapak melakukan itu, sampai Bapak berjalan tertatih kepintu. Buru-buru aku buka pintu dan memapah Bapak.
Aku ambilkan air minum untuk Bapak, agar Bapak lebih tenang.
"Bagaimana pak??? Bapak tadi kenapa sampai muntah darah gitu pak?" tanya Ibu cemas
"Bapak tertusuk tadi Bu" jawab Bapak setelah meneguk air yang aku bawa.
"Tertusuk bagaimana pak?"
"Sudah Bu.... Tak usah dibahas lagi... Yang penting sekarang ini kita sudah aman... Sudah Bapak hancurkan semua..." Bapak menceritakan pada Aku dan Ibu garis besar kejadian tadi. Termasuk satu Jin berumur ribuan tahun yang berhasil melarikan diri. Bapak berkata kalau saat ini tak akan ada lagi gaib-gaib yang akan mengganggu.
Seminggu sesudah kejadian itu, kondisi Ibu perlahan membaik. Tak ada lagi gangguan-gangguan gaib dikeluargaku. Semua berjalan tenang sampai seorang keluarga Bapak mengabarkan kalau Mang Dadi meninggal dunia.
Saat Istri Mang Dadi ingin membangunkan Mang Dadi dikamar yang biasa dipergunakan untuk ritual, dia malah menemukan suaminya sudah tak bernyawa dengan kondisi yang mengenaskan. Mata Mang Dadi mendelik, jari-jari tangannya menekuk mencakar kaku. Lehernya membiru seperti bekas cekikan dengan darah mengucur dari lubang-lubang tubuhnya.
============ Note =============
Niat hati ingin keluar dari kegelapan, namun dengan cara salah dan tergesah. Mengikat janji dengan api, tanpa tahu ia yang akan menjadi arang. Mungkin itu adalah kata-kata yang tepat untuk mengakhiri cerita kali ini.
Namun sebelum saya mengakhirnya, izinkan saya meminta kesediaan para pembaca untuk mengirimkan Alfatiha untuk Ayah Chandra Irawan yang sudah berpulang kepada Sang pencipta.
Dan juga saya mohon maaf tidak dapat menceritakan tentang pertarungan dari sudut pandang alm. Ayah Chandra.Terimakasih untuk Narsum Chandra Irawan dan semua yang sudah membaca, sampai jumpa dicerita selanjutnya.
Saya Nesia. Undur diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerita Horror
HorrorKumpulan Cerita-Cerita Horror Yang diangkat dari kisah nyata