Ijab Kabul

458 53 8
                                    

"Lama-lama aku bisa menjadi gila,
Entah itu gila karena keadan fiksi mau pun gila karena cinta.
Kamu membuatku bagaikan orang bodoh namun juga menyempurnahkan di setiap kekuranganku."

°°Heppy Reading°°

Pagi ini aku terbangun dan terkejut karena abi serta umi sudah berada di dalam kamarku dengan senyuman. Aku sudah tahu maksud kedatangan mereka, Pasti mereka datang untuk menanyakan keputusanku.

"Abi, Umi, semuanya ku serahkan kepada kalian berdua, karena aku tahu pilihan orang tua itu adalah yang terbaik untuk anaknya," putusku tanpa menunggu pertanyaan dari abi dan umi.

"Terima kasih sayang, minggu depan pernikahanmu akan dilaksanakan," ucap umi dengan raut wajah bahagia. Jujur saja aku pun ikut senang melihat orang yang melahirkanku merasakan kebahagiaan.

"Baiklah Nak, abi akan memberitahu kabar gembira ini kepada teman abi.” Aku hanya bisa pasrah menunggu hari itu tiba.

“Siap-siap dan ayo turun ke bawah, Nak.” Umi menangkup kedua pipiku sebelum keluar dari kamar.

“Putri abi sudah besar dan sebentar lagi akan menjadi istri orang.” Abi mengelus lembut punggungku hingga menghilang di balik pintu.

Dengan langkah pelan aku menuju meja rias. Ku tatap pantulan diri di cermin. “Aku akan menjadi istri orang, ha-ha-ha.”

Membersihkan diri adalah hal terbaik untukku sekarang. Kita lihat saja nanti, apa yang akan terjadi pun tidak perlu digusari. Jika Ariyan jodohku maka semua sesuai harapan kedua keluarga. Jika bukan, maka akulah yang akan bahagia.

Hari-hariku berlalu, telah dijalani seperti kehidupan biasa. Tidak ada kata lamaran serta nama Ari di hidup ini. Selama satu minggu dia hilang di mataku. Semua hal ku serahkan pada abi dan umi. Hingga sekarang waktu berlalu mereka hadir kembali.

Kelalaianku, sifat acuhku membuat diri ini terjerat. Aku yang sedang di rias di kamar bak seorang putri raja. Aku membuang waktu selama seminggu hingga hari pernikahan ini tiba jua. Inilah yang aku tuai saat aku berlalai-lalai di waktu dulu. Pelajaran terbesar dalam hidupku, ternyata doa tanpa usaha percuma saja.

"Sayang, apakah semuanya sudah siap? Supaya kita tidak terlambat kita berangkat sekarang," kata umi tiba di kamarku.

Aku keluar dengan pakaian kebaya warna putih. Aku melihat senyum umi yang begitu gembira di hari ini. Seakan ini pernikahannya sendiri. Tidak, seorang ibu memang pantas merasa bahagia di hari seperti ini.

"Wah cantiknya anak abi dan umi," puji umi sembari menggandeng tanganku.

Aku hanya tersenyum malu dengan perkataan umi barusan. Aku memang cantik tidak bisa dipungkiri karena seorang wanita memang identik dengan kata cantik. Jadi, aku tidak salah saat bangga dipuji cantik oleh kedua orang tuaku sendiri.

Di jalan menuju mesjid aku berdoa agar pengantin laki-lakinya kabur supaya aku tidak jadi menikah. Aku membayangkan dengan mata terpejam.

Aku dan kedua orang tuaku memasuki rumah Allah dan semuanya sepi seakan tidak ada acara. Umi membantuku duduk di tempat pernikahan.

Bapak penghulu sudah duduk di depanku. Dia berkumis tebal dengan perut buncitnya. Bersusah paya agar aku tidak tertawa hingga aku memalingkan wajah ke sebelahku.

Oh ya ampun, aku terkejut ternyata Ari sudah duduk di sebelahku. Tapi, apa yang terjadi. Dia berdiri memegangi perutnya berlari terbirit-birit meninggalkan acara kami. Aku tertawa sampai perut ini sakit. Bayangkan saja bagaimana ekspresi Ari saat ini.

The Best Imam (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang