Terbawa Perasaan

14 1 0
                                    

   Jingga menepuk keningnya sendiri. Tak sadar bahwa ia melupakan bahwa Satria adalah seseorang yang mudah terbawa perasaan.

Ia menghela napas setelah melihat wajah Satria yang terkejut. Mulut Satria bergetar seakan ingin berbicara namun sulit mengeluarkan kata.

"Kamu kenapa?" Tanya Jingga.

"Ng-nggak, nggak ke-kenapa kenapa." Jawab Satria terbata-bata.

Satria menghela napas mengatur kata supaya Jingga tak merasa tersinggung.

"Jingga, ku mohon jangan lakukan itu. Kamu dan aku itu udah seperti saudara. Kita nggak bisa melakukannya." Kata Satria seolah dirinya berada pada titik dimana seorang gadis sedang mengungkapkan rasa.

Tapi kenyataannya....

"Kamu demam?" Ucap Jingga sembari membolak-balikkan tangan pada kening Satria.

"Atau kamu sedang vertigo? Sakit jantung? Maag? Ataukahh Stress? Ah apa kamu juga sedang sakit zomblo stadium 3? Hah." Ledeknya.

"Gila kamu ya. Aku menginginkan kamu itu untuk kusuruh ngerjain tugas-tugasku yang tertinggal karena sakit. Bukan aku nembak kamu. Dasar!! Makanya dengerin dulu kalau orang ngomong."

"Jadi kamu suruh aku ngerjain tugas sekolahmu??!! Gila kamu! Nggak maulah. Kerjain sendiri!"

Dengan terpaksa senjata ampuh Jingga keluar. Wajah melas dengan bibir manyun serta mata yang mulai berkaca-kaca, berhasil mengambil empati Satria.

" I-iya udah. Aku kerjain nanti, tapi jangan nangis. Nanti aku yang disalahin Ayah sama Mama."

"Iya, janji kok."
Jingga menunjukkan jari kelingkingnya yang kemudian Satria mengaitkan dengan jari kelingking miliknya. Mereka saling menebar senyum kala jari kelingking masih mengait. Tarik senyum tulus itu sangat langka dalam kehidupan mereka. Kebersamaan yang telah dilalui cenderung dominan pada hal humor yang bahkan acara komedi pada televisi tampak kalah saing. Tak hayal saat ini mereka terlarut lama hanyut dalam suasana hening.

****

   Dua hari di atas ranjang rumah sakit yang tak begitu nyaman untuk rebahan. Bersama dengan infus yang begitu nyeri jika sedang menggerakkan tangan. Makanan yang katanya bergizi terasa hambar dilidah.
  
Bagaimanapun keadaannya, meskipun masih terasa berat untuk bangkit, nyalinya untuk berada di rumah sakit sudah tak bisa dipertahankan lagi.

Bau obat-obatan yang sangat menyengat membuat nafsu makan berkurang. Alhasil, tubuh menjadi kurus seperti tak terurus. Jika terus menerus seperti itu, bukan menjadi lebih membaik, justru akan memperburuk ketahanan tubuh.

Jingga memutuskan untuk meminta keluar dari rumah sakit meskipun tubuhnya belum seutuhnya sehat. Pikirnya seusai keluar dari rumah sakit, jika cukup istirahat pasti akan cepat juga kembali pulih.

Sebenarnya bukan hanya mengenai makanan yang tak lezat ataupun aroma rumah sakit yang bercampuran sehingga Jingga ingin cepat-cepat keluar. Melainkan, dia akan terus merepotkan keluarganya Satria meskipun mereka tak merasa direpotkan.

"Paman terima kasih banyak sudah membiayai rumah sakit Jingga. Lagi lagi Jingga merepotkan paman." Ucap Jingga seraya menundukkan kepala merasa menyesal.

"Memang kamu merepotkan! Makannya banyak."

PLLAKK!!!

" Aaw.. Sakit Ma." Keluh Satria yang meringis kesakitan sembari tangannya tak henti-henti untuk mengelus kepala setelah tangan
Mamanya mengeplak karena sudah berucap sembrono.

"Nggak sopan sama orang yang baru keluar dari rumah sakit. Nanti kalau masuk rumah sakit lagi, mau tanggung jawab kamu, ha!" Bisik mamanya Satria.

"Sudah sudah kita pulang aja. Kasihan Jingga juga butuh istirahat." Lerai Ayahnya Satria.

"Ngomong-ngomong, bagaimana kalau kamu tinggal di rumah paman. Biar kamu ada yang jaga."

"Iya Jingga. Tante juga nggak tega kalau kamu sendirian dan nggak ada jagain dalam kondisi seperti ini."

Lagi dan lagi mereka memberikan jasa baru. Seakan hidup Jingga terlihat tragis dengan tebaran kasihan dari orang-orang. Tidak dengan sangat berat Jingga untuk menolak tawaran mereka.

"Maaf paman, Tante, Jingga nggak bisa menerima tawarannya. Jingga tinggal di rumah Jingga sendiri aja. Lagipula Jingga juga udah lumayan sembuh. Paman dan Tante nggak usah khawatir, Jingga bisa jaga diri kok." Jawab Jingga menolak halus dan diakhiri senyum tegar.

Apapun yang terjadi, ini adalah kehidupannya yang harus dijalani sesuai keadaan dan usahanya untuk mewujudkan suatu keinginan. Sudahi saja untuk jangan merepotkan orang lain, pikirnya.

"Ya sudah. Kita juga nggak bisa memaksa kamu. Tapi kalau perlu bantuan, kamu juga bisa minta tolong pada Satria ya. Nggak usah sungkan sungkan."

Mamanya Satria masih saja bersemangat untuk menawarkan asistensi. Tapi untuk tawaran ini, Jingga serius dalam hati akan butuh. Bagaimanapun saat di sekolah Satria akan sangat berguna.

"Iya tante makasih banyak. Aku pasti akan sangat merepotkan Satria deh."

Ledekan dari wajah Jingga membuat Satria geram sendiri. Bahwasannya dia sudah tahu jika bencana akan sering muncul pada dirinya. Namun, seiris hati lain mengatakan, jika keberadaan Jingga juga akan sangat menguntungkan bagi Satria.

Picingan mata dan senyum miring kedua insan yang diam-diam licik ini akan sangat seru untuk hari-hari selanjutnya. Memang darah meraka tak mengalir sama tapi gerak impulsnya secara mendasar beralur sejalan.

Kesempatan yang empuk untuk mereka saling bertukar senjata dan dorong-mendorong demi kelancaran rencana konyol mereka. Bagaimanapun bentuk rencana itu, mereka telah merangkai sedemikian rupa untuk kata berhasil.

Selamat datang dunia, bersama jejak dua manusia perusuh konstelasi.

Dan perjalanan mereka akan segera dimulai!

 

Suolow 2001Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang