Rindu

22 1 0
                                    

       Sepatu putih dengan kaos kaki 3 cm diatas mata kaki, seragam sekolah yang rapi, dan menenteng tas pada satu sisi, Jingga memasuki kelas dengan santai bersama Satria. Kedatangannya selalu membuat heboh seisi ruang. Bagaikan ratu yang baru saja bangkit dari tidurnya. Lalu para rakyatnya menyambut dengan sorak gembira.

Jingga mengangkat tangan mengisyaratkan mereka untuk tetap tenang. Namun satu sisi, matanya melirik tempat duduk pojok kanan belakang. Disana kosong.

Matanya tidak menemukan sesosok Binar yang selalu datang lebih awal darinya. Padahal tayangan pertama yang ingin dilihat adalah Binar sebagai vitamin pagi dalam mengawali aktivitas hariannya.

Entah kapan ia jadi butuh vitamin C alias vitamin cogan dari Binar hingga tumbuh menjadi candu. Seolah energi itu berasal dari Binar yang notabennya hanya seorang teman sekelas, tidak lebih dari itu. Walaupun sejujurnya Jingga berharap bahwa dirinya dan Binar berstatus lebih dari sekedar teman.

Jingga mencoba untuk perpikir positif ketika lima menit sebelum pelajaran dimulai Binar tak kunjung datang. Tidak mungkin jika terlambat. Anak setertib dia justru lebih sungkan dengan aturan daripada menuruti malasnya.

"Hoy!!" Satria dengan sengaja mengejutkan Jingga yang sedang terdiam lesuh sembari menatap tempat duduk BInar yang kosong.

"Kenapa? Nungguin Binar yaa??? Ciee yang lagi rindu,"

"Diam kamu! Dasar netizen!"
Jingga menapiknya dengan pandangan sinis. Ia beralih menyiapkan buku untuk mata pelajaran jam pertama setelah ketahuan sedang melamun menanti Binar.

Tak lama, seseorang yang baru saja dibahas datang dengan terburu-buru. Ia terlihat lelah sampai peluh membasahi keningnya. Ingin sekali Jingga mengusap peluh halus Binar. Geli rasanya menghantar sekujur tubuh ketika bayangan romansa mengusap peluh menjadi topik.

"Jingga, kenapa kamu senyum-senyum sendiri?!"

Jingga terkejut ketika lontaran dari Bu guru menghapus kilat bayangan semu itu. Wajahnya menjadi sipu malu saat baru saja tertangkap sedang senyum sendiri, tiada yang memanggil, maupun mengajak bicara.

"Baru keluar dari rumah sakit Bu, makanya jadi Stress. Hahaha" Sahut salah satu teman sekelas Jingga yang dibarengi dengan tawa lantang. Tapi tawaan itu menjadi ciut seketika diam membingkam mulut saat lirikan mata Jingga menyambar.

****
   Para siswa berbondong-bondong pergi menuju kantin untuk mengisi perut yang sedari tadi sudah berkonser. Jingga yang duduk bersama Satria dan tiga teman lainnya melahap makanannya dengan tenang. Siswa lain hanya bisa menatap dan meneguk ludah karena antrian yang begitu panjang sehingga mereka harus menunggu lama.
    
Tak disangka mendapatkan makan lebih awal adalah ulah Satria. Ia mengirim pesan pada ibu kantin 10 menit sebelum jam istirahat untuk memesan makanan untuk dirinya dan Jingga.
Namun badai menerpa tiba-tiba. Ketiga teman sekelasnya memergoki mereka sehingga Satria terpaksa untuk memesankan juga makanan mereka sebagai jasa penutup mulut.

"Bu nasi goreng pedes dua!!" Teriak salah seorang siswa laki-laki dari antrian. Jingga yang menyendok nasi langsung meletakkan cepat dan mencari sumber suara itu. Berharap itu adalah Binar.

Terakhir ia melihatnya setelah jam pelajaran ketiga usai, Binar pergi karena mendapat dispensasi. Entah apa yang dia lakukan hingga lupa dengan eksistensi Jingga.

ternyata itu bukan suara Binar, melainkan suara dari siswa lain. Jingga menjadi menekuk wajah dan berubah mengotak-atik nasi gorengnya. Padahal ekspetasi mengukir bahwa Binar akan makan siang disampingnya dengan menu yang menurut Jingga itu makanan kesukaan Binar, nasi goreng pedas.

Makan siang bersama mereka yang dulu dianggap Jingga biasa, sekarang berubah menjadi suatu kebiasaan. Apalagi dengan tumbuhnya rasa, Jingga seperti seorang gadis manja yang segalanya harus dituruti.

Jingga menjadi tidak selera makan. Bibir manyunnya mengisyaratkan bahwa ia sedang tidak berada pada suasana baik. Satria yang sadar akan hal itu, ia membentak meja mengejutkan Jingga.

"Woy! Nggak ingin lanjut makan? Sini aku habisin."
Satria menyerobot makanan Jingga yang sedari tadi hanya dikorek-korek. Anehnya, tidak biasanya Jingga memberikan sebuah makanan kesukaannya dengan lapang. Hal itu membuat jiwa keingintahuan Satria memanas. Ia menatap wajah Jingga yang murung untuk menerka.

Tidak salah lagi. Tidak ada hal lain selain Binar yang berada dipikirannya saat ini. Pasalnya setelah Binar datang dan menunjukkan kepeduliannya, Jingga menjadi gadis yang berbeda. Ia yang dulu tak suka banyak bicara dengan seseorang apalagi seorang laki-laki, kini menjadi gadis yang penuh ilusi dalam permainan hati.

Satria tak ingin seseorang yang selama ini dilindungi merasakan sakit hati kembali. Walau tahu bahwa dibalik tingkah Jingga yang ugal-ugalan, terdapat beberapa materi yang dipendam olehnya. Tiada orang lain yang bisa dengan mudah mendapatkan bocoran tentang keluhannya selain Satria yang selalu berusaha agar Jingga angkat bicara demi meringankan beban.

Satria tak bisa lagi melihat Jingga murung. Ia pun juga menjadi tak selera untuk melanjutkan makan. Akhirnya ia mengakhiri dengan meneguk jus jeruk. Lalu ia mengajak pergi Jingga untuk melihat sesuatu.

"Ga, daripada pasang muka Anoa lebih baik kamu ikut aku sekarang."

"Kemana?"

"Atap."

****

"Lihat tuh."

Jingga melihat-lihat siapa yang sedang dibicarakan Satria. Mata yang sudah berkeliling kesekitar halaman sekolah, pun tak juga mendapat jawaban. Apalagi Jingga yang sedang tak bersemangat, menjadikan konsentrasi kabur walau untuk menerka hal kecil.

"Koreksi dululah Ga. Itu yang lagi jalan bawa proposal siapa coba?"

Jingga masih saja menerka sambil menyipitkan mata akibat sinar matahari yang begitu silau. Pergerakan cahanya itu seakan melambat bergeser menunjukkan pancaran siluet dari wajah seorang lelaki yang terlihat menawan ketika berjalan. Tubuh tegak dan garis rahang yang tajam menunjukkan bahwa tidak salah lagi,  itu adalah Binar.

Jingga menutup mulut menyembunyikan senyum pukau setelah melihat betapa indahnya Binar yang tetap menawan meski dilihat dari sisi manapun. Berkilau diantara teriknya matahari pencipta peluh dan sayup-sayup angin menyiblak rambut depannya yang begitu eksentrik.

"Sat Sat itu Binar! Kok bisa gitu! Nikmat tuhan mana yang kau dustakan. Ya ampun gusti!!" Jingga terkalut senang sambil menepuk-tepuk bahu Satria yang pasrah.

"Sat kamu tadi bilang Binar bawa proposal. Ngomong-ngomong proposal apa ya?"

"Bodo amat. Cari tahu saja sen__."
Belum juga Satria selesai bicara, Jingga langsung saja pergi yang entah dimana dia akan beraksi.

"Kenapa juga kemarin aku nggak bawa dia ke rumah sakit jiwa saja biar cepat waras." Satria hanya bisa bergeleng sambil mengelus dada supaya sabarnya tak habis untuk menghadapi Jingga yang sekarang menjadi gadis kemayu.

    Kaki Satria yang saat itu ingin melangkah untuk berbalik, tiba tiba terhenti ketika sepasang matanya menangkap dua insan yang sedang beradu senyum. Matanya semakin menyoroti kedua orang itu dengan identitas satu seorang gadis yang mengenakan seragam sekolah berbeda dan satu pria yang mengenakan seragam sama dengan Satria. Pembawaan pria itu cukup tak asing untuk Satria.

Dan benar saja, saat pria itu bergeser tepat pada arah Satria, wajah nyatanya keluar. Satria yang melihat dari atap pun tahu betul dan cukup jelas bahwa pria itu adalah Binar. Pria yang sedang tersenyum merekah pada gadis dihadapannya. Ia juga mengacak-acak rambut gadis itu seperti halnya seseorang yang sudah kenal dekat.

"Wahh ternyata kau selama ini bersembunyi dibalik topeng tampanmu, "

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 20, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Suolow 2001Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang