Demam

13 1 0
                                    

   Pagi yang begitu cerah. Secerah cahaya mentari pada setiap pandang mata Satria yang tak biasanya ia bangun lebih awal dengan pakaian yang sudah rapi. Dasi yang rapi, jas mulus tanpa kusut, rambut belah samping yang berkilau, dan sepatu yang bergengsi.

Ia turun dari tangga dengan jalan seakan adegan yang diperlambat menampilkan aura seperti seorang sultan.

Memanglah Satria adalah anak dari seorang pengusaha terkaya yang uangnya tak habis-habis.
    
"Udah, nggak usah bergaya tampan. Sini cepat sarapan." Ucap ibunya Satria yang tak tahan dengan gaya anaknya yang berlagak seperti pangeran dari kayangan.

"Memang aku tampan, Ibunda." Jawab Satria sembari mengelus sedikit ujung rambutnya.

Ayahnya yang sudah berada di meja makan tak bisa berkata lagi melihat keanehan putra semata wayangnya. Hanya bisa mengelus dada dan menerima kenyataan yang ada walaupun itu seperti petaka.

  Mereka mengawali sarapan pagi yang selalu tak bisa dilewati. Karena menurut mereka tampan dan cantik itu sehat. Jadi ganteng atau cantik bukan diukur dari ketebalan make up, mahalnya skincare, maupun banyaknya mantan, melainkan dalam menjaga kesehatan.

   Hampir saja mereka selesai sarapan, handphone Satria berdering. Ia melihat layar handphone bertuliskan -Jingga-. Segeralah ia menggeser ikon telefon hijau dan mengangkatnya.
  
"Halo ada apa?"

"S-sat Satria." Ucap Jingga dengan suara serak.

"Kamu kenapa??"

Jingga tak menjawab.

Satu patah kata ingin diucap sebagai permintaan tolong. Tetapi tubuh Jingga yang melemas dengan kepala pening, tak bisa berkompromi dengan mulut.

Akhirnya ia menghembuskan napas tak kuat lagi menahan sakit. Handphone yang masih tersambung dengan Satria tergeletak jatuh terlepas dari tangan Jingga yang telah melemas.

"Halo? Jingga? Halo??"
Satria segera menutup telefon dan bergegas cepat pergi menemui Jingga.

"Kamu mau kemana?" Tanya Ayah Satria.

"Ke rumah Jingga. Kayaknya terjadi sesuatu dengannya" Jawab Satria gusar.
"Ayah antar ke sana."
"Mama juga ikut."

Mereka bergegas pergi ke mobil untuk menuju ke rumah Jingga. Dalam perjalanan, mereka semua tampak khawatir dengan kondisi Jingga. Apapun itu tentang Jingga, keluarga Satria menjadi gusar dan tak tenang.

Syukur atas pertolongan sang ilahi, jalan yang sering macet dipagi hari, beruntungnya pagi ini tiada macet yang menghalangi. Hingga akhirnya mereka bisa cepat sampai ke rumah Jingga.

Satria langsung saja masuk mendobrak kamar Jingga. Di sanalah tubuh Jingga sudah terkapar lemah. Wajah pucat dengan keringat yang membasahi wajahnya membuat Satria menangis dalam hati. Ia segera mengangkat Jingga ke mobil dan sesegera mungkin dibawa ke rumah sakit.

****

  Senyum riang yang selalu mengudara di setiap pagi telah terkikis. Tergantikan oleh wajah baru yang kusut berbalut kalbu. Cukup kali ini saja Jingga sakit hingga dirawat intensif. Kehidupannya terlalu perih untuk diungkit. Jangan lagi terusik untuk dia yang ingin terus meraih mimpi.
 
  Beruntungnya dia masih memiliki orang yang dengan tulus menyayangi dan menjaga walau terhalang oleh jarak dan waktu. Satria dan orang tuanya senantiasa akan memberikan yang Jingga inginkan, jikapun itu kehendaknya. Namun Jingga terlalu malu untuk dia yang merasa selalu merepotkan orang lain.
 
Tapi hari ini ia tak bisa menyangkal bahwa mereka telah merelakan sejenak aktivitas mereka untuk menyelamatkan dirinya yang kini tengah tertidur dengan infus yang tergantung disisihnya.

Suolow 2001Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang