Malam yang hanyut dalam kesunyian. Tak ada iring-iringan yang menjadi musik klasik sebagai latar penakluk sepi. Angin pun begitu pelitnya untuk berhembus.
Siapapun yang berada dalam kondisi ini pasti akan memilih untuk pergi dari zona untuk mencari penyejuk diri. Bosan pun juga tak kalah merajalela hari ini.
Ralat, bukan hari ini saja, mungkin hampir setiap hari.
Tiada siapapun yang bersinggah ditempat Jingga berada selain dirinya sendiri. Ibunya pun tak berada disisinya untuk menemani disetiap waktu walau itupun hanya sekedar saling sapa.
Bohong sekali jika Jingga berbicara mengenai tidak rindu dengan ibunya. masakannya, cerewetnya, omelannya, dan suaranya yang selalu menyuarakan hal yang tak penting tak harus dimiliki. Semua itu mencekat leher menusuk jantung.
Seorang ayah yang diharapkan telah berpulang menghadap sang pencipta. Kemudian seorang ibu yang diinginkannya telah pergi ke luar kota. Walaupun cara itu untuk mencari nafkah, rasanya, sendiri itu memanglah sulit. Saudarapun tak mampu membantu mengobati penyakit seperti ini hanya dengan buah tangan berupa belas kasihan.
Sejujurnya Jingga tak ingin terbalut dengan rasa rindu. semua yang telah dilalui masih saja terasa perih dengan luka yang tak kunjung pulih.
Entahlah.
Jikalau terlampau berpikir terlalu dalam, air sungai yang keruh akan tetap keruh jika terus tak terawat.
Jingga tak ingin penyakit hati lolos masuk menggrogoti tubuh ringannya. Apapun yang terjadi ia harus berusaha, bersabar, dan berserah.Jingga menghela napas kasar merasakan hampa tiada tara. Semakin memaksa untuk berdiam, level jenuh akan semakin meningkat.
Diputuskanlah Jingga mengambil sandal jepit polosnya sebelum ia beranjak pergi menghirup angin malam. Sebagai teman dalam irama, ia memasang earphone agar dirinya tidak terlalu kesepian.
Jingga menyusuri jalan-jalan kecil yang biasa dilalui oleh orang-orang yang mungkin sedang merasakan hal yang sama sepertinya. Jalanan dengan taman kecil di sampingnya turut ia lalui dengan senang hati. Walau di sana banyak sekali orang yang sedang berkumpul menaruh tawa bersama orang terkasih.
Mata Jingga terus menatap depan mencoba untuk tidak terbawa perasaan oleh situasi. Pikirannya pun juga difokuskan pada lagu-lagu yang sedang didengarkan.
Namun, itu tak bisa. Ia tidak bisa fokus. Bahkan ia ingin mengumpat keras di sana karena diputari oleh orang-orang yang memiliki kehidupan dengan jaminan bahagia. Sedangkan dirinya, ditengah-tengah lingkaran mereka karena memiliki kehidupan buruk yang bahkan bahagia seperti tak ingin memihaknya.
"Maaf ya, aku tidak iri. Aku juga memiliki orang-orang terkasih, hanya saja jauh di sana. Makanya aku tidak pamer." Gumam Jingga dengan mata melirik orang-orang yang sedang ada di taman.
Kemudian jingga berhenti berjalan dan menghela napas gusar. Seolah ia merasa hanya pura-pura kuat melihat senyum mereka yang lebar terhadap orang-orang dihadapannya.
Ia mendongakkan kepala melihat langit yang telah gelap dan polos. Tiada bintang yang bersinar menghiasi angkasa. Satupun tak ada yang memunculkan manik-manik cahaya gemerlap. Seakan mereka mewakili hati Jingga yang tengah meredup tertutup awan hitam.
"Hujan." Pekik Jingga.
Tepat setelah berucap, tetes demi tetes air menguyur tak henti. Hoodie yang menjadi penghangat disetiap dinginnya malam sudah setengah basah akibat buliran hujan. Jingga bergegas pergi mencari tempat teduh.
Perihal sakit ia sangat membenci. Mengapa?
Itu sangat membuang-buang waktu otaknya untuk bekerja memikirkan satu hari kedepan."Sial! Nggak ada tempat teduh." Umpatnya.
Jingga kembali meneruskan jalannya hingga akhirnya menemukan sebuah toko yang masih terang menderang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suolow 2001
Teen FictionBersama pelangi yang indah aku berjalan melintasi setiap arah melengkung dalam dirinya. Tak ada kata belok untuk alurnya. Hanya saja aku akan tergelincir jika tak berhati-hati. Sebenarnya aku ingin lurus saja menatapnya di sana yang masih remang-re...