Mungkin aku masih belum paham dengan apa yang sebenarnya terjadi. Dia pergi dan tak tahu kapan kembali.
Tujuh tahun yang lalu...
Aku yang masih duduk di bangku 5 SD, hanya diam sembari menatap teman-teman lain yang bermain. Sampai saat ini, aku belum punya yang namanya teman akrab, atau mungkin sudah tapi aku tak pernah menyadarinya. Aku merasakan seseorang duduk di sampingku yang membuatku menoleh dan mengerut bingung. Pasalnya aku tak mengenal dirinya.
Dia tersenyum kepadaku dan menyapaku. "Hai!"
Dengan kikuk aku hanya membalasnya dengan senyum, terasa canggung karena aku yang memang pemalu dan pendiam. Ia tampak mengulurkan tangannya kearahku dan lagi-lagi aku hanya diam sambil mengerutkan dahi. Menatap tangan dan wajahnya bergantian.
"Alfaz. Aku baru pertama melihatmu. Kau baru disini?"
Aku mengangguk, menyadari jika ia mengajakku berkenalan. Tak kusapa ulurannya melainkan menangkupkan kedua tanganku di dada, sebuah salam perkenalan dalam agama. Sembari memperkenalkan namaku.
"Mia. Iya, aku baru di sini!"
Ia mengangguk. Kemudian mengikutiku yang hanya menatap lapangan, tempat anak-anak lain bermain.
"Mau bermain?" Tanyanya sembari menunjuk lapangan. Aku menggeleng, menolak. Masih sungkan untuk berbaur dengan mereka. Menampilkan senyum saja kemudian berpisah dengannya. Walau sebenarnya aku masih ingin banyak mengobrol dengannya, tapi karena canggung dan dia adalah seorang pemuda, aku masih awam dengan hal seperti itu. Takut menjadi bahan gossip teman-teman yang lain.
Memang dasarnya aku yang pemalu, sulit untuk berbaur tapi setidaknya aku masih punya beberapa teman yang selalu mengerti posisiku. Mereka terkadang mengajakku agar aku tak bosan di dalam rumah.
"Mia!" Seruan mereka begitu menggema di dalam rumah. Aku sontak berjalan kearah pintu guna menyambut mereka.
"Kalian mau mampir atau kita langsung pergi?" Aku memang tidak terlalu tahu daerah tempat tinggalku karena aku sekeluarga baru saja pindah rumah.
"Langsung pergi saja, ayo!"
Segera aku pamit pada orang tuaku di dalam rumah, berkata bahwa aku akan pergi bersama teman-temanku dan mereka hanya mengangguk, memberi ijin.
"Jadi, kita mau kemana?" Fira bertanya mewakili kami yang memang pada dasarnya tak memiliki tujuan akan kemana. Kami berlima terdiam sejenak sembari berpikir akan kemana.
"Makan yuk, di daerah yang dekat sini saja. Bingung juga mau kemana?" Seru April sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Kami serempak mengangguk. Aku memang sedikit berbeda dari mereka, maksudku dalam jarak umur kami. Diantara kami, akulah yang paling dewasa dan mereka berada di bawahku, meskipun begitu kami selalu klop –dalam artian kami selalu kompak. Mereka tak pernah memandangku bahwa aku lebih dari mereka, mereka menjadikan kami sederajat dan aku jadi tak sungkan jika diperlakukan seperti mereka.
Kami langsung duduk dan memesan begitu sampai di ruko makanan di pinggir jalan. Kami memang tadinya berniat menggunakan motor untuk bepergian tapi tidak jadi dan mengatakan bawah jalan kaki lebih menyenangkan karena dapat mengobrol. Selama itu juga kami banyak mengobrol. Mulai dari yang dasar sampai puncak.
"Diantara kalian, apakah ada seseorang yang kalian sukai?" Tanya April menghentikan obrolan kami. Kami menatap kearahnya. Ia memang sedikit tomboy tapi kalau sudah menyangkut hal berbau gossip, ia jagonya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Walk In Memories
Novela JuvenilKita hanya sebuahlah masa lalu yang kini menjadi kenangan. Berharap kenangan itu akan senantiasa terkenang. Yang perlu kita lakukan menjalani apa yang sudah berlalu dari kenangan itu. Kita berjalan dalam kenangan. Mia dan Alfaz. Dua insan berbeda ge...