"Mau kemana?" Yang ditanya langsung menoleh. Aku baru keluar dari pintu dan mendapati Ardi tengah memakai sepatu. Kutebak dia pasti mau main. Ya, mau apalagi karena ia pemuda tentu tidak jauh-jauh dari kata main.
"Main sama anak kompleks di lapangan!"
"Sudah ijin belum? Dibolehin enggak?"
"Sudah, kan nasehat Kak Mia waktu itu manjur tapi kadang-kadang lupa juga sih, hehe!"
Aku hanya mencibir akan apa yang ia katakan. Kan, aku bilang juga apa. Meskipun nakal, Ardi akan tetap mengingat apa yang menjadi kewajibannya.
"Yaudah, hati-hati. Jangan pulang terlalu sore!"
"Siap, bos!"
Setelah mengatakan itu, Ardi masih diam ditempatnya sembari menatapku membuatku yang ditatap merasa risih. "Kenapa sih?"
"Mau peluk?"
Aku mendelik kepadanya. Apa maksud dengan ucapannya barusan?
"Enggak ada pelukan, jangan bikin drama kehidupan. Hidup di dunia nyata aja sudah susah, sana!" Nada yang kuucapkan terdengar mengusir tapi aku tidak peduli. Punya adik kok kelewatan benar sih?
"Yee, Kak Mia bisa aja. Aku pergi, Assalamualaikum!"
"Wa'alaikumsalam."
****
Sekarang, dalam hidupku sekolah aku selangi dengan mengaji. Ya, secara aku adalah seorang muslimah. Mengaji jadi agenda wajib meskipun tak setiap waktu. Hari yang kujalani selalu sama tapi yang membuat berbeda makin banyak varian aktivitas yang kujalani. Varian, kenapa kata itu seolah-olah sesuatu seperti rasa, contoh varian rasa atau warna. Ya, memang benar sih, hidupku lebih bervariasi. Ah, ini maksudku, variasi. Bermacam-macam.
"Mia!"
Aku tersentak kala ada yang menepuk pundakku. Aku langsung menoleh dan mendapati seorang gadis tengah berdiri di sana. Ah, dia Zia. Rumah kami memang kompleks di sini. Aku tak terlalu dekat dengannya karena dia anak rumahan sekali dan juga sedikit tertutup. Meskipun begitu kami kadang ngobrol barang sebentar.
"Oh, hai Zi. Kenapa?"
Namanya Aulia Zia Ramadhani. Cantik'kan~ seperti orangnya dan juga yang paling plusnya pintar, mana baik lagi. Tapi, aku tidak akrab dengannya.
"Enggak, cuman pengen ngobrol aja. Lagi enggak kumpul sama yang lain?" Tanyanya, mungkin bingung dengan kehadiranku yang biasanya selalu menghilang dari peradaban –tidak biasa berada di dalam rumah.
"Enggak, lagi pengen dirumah aja."
Iya, aku hampir lupa. Zia ini teman sekelas Fira. Ingatkan, bahwa aku lebih dewasa daripada mereka. Ya, antara Fira, Dilla, dan April, mereka berada di tingkat yang sepantaran sedangkan aku dan Nikmah berada ditingkat yang sama, tapi ya itu. Aku tetaplah paling dewasa diantara mereka, tapi begitu mengetahui mereka dengan akrab, aku sudah mengenali sifat mereka. Terkadang mereka juga bisa bobrok.
"Bosan enggak?"
Ditanya seperti itu aku mengangguk, sedikit tersentak karena melupakan dirinya. Ya, aku ini anaknya tak suka berdiam diri di dalam rumah, hobi jalan-jalan dan mengeksplor dunia. Jiwa anak mudaku berkobar-kobar.
Tak lama teman-temanku datang. Sebenarnya ini yang membuatku lagi pengen di rumah, mereka akan datang.
"Lho Zi, mau main juga?" Fira bertanya. Zia hanya tersenyum lalu menggeleng.
"Enggak, cuman mampir aja. Tadi, Mia kelihatan melamun, takut kesambet." Pukasnya begitu saja. Aku tersadar. Ya, aku memang melamun tadi.
"Yee." Aku mencibir dan Zia kembali tersenyum.

KAMU SEDANG MEMBACA
Walk In Memories
Novela JuvenilKita hanya sebuahlah masa lalu yang kini menjadi kenangan. Berharap kenangan itu akan senantiasa terkenang. Yang perlu kita lakukan menjalani apa yang sudah berlalu dari kenangan itu. Kita berjalan dalam kenangan. Mia dan Alfaz. Dua insan berbeda ge...