“Jadi, Alfaz bukan anak kompleks sini?” Aku cukup terkejut dengan pembahasan mereka tentang Alfaz. Aku kira, ia tinggal di sini karena aku sering melihatnya ternyata dugaanku salah. Rupanya, aku begitu lambat sekali dalam menanggapi informasi penting. Wajar, satu tahun tinggal di daerah kompleks seperti ini dan aku juga jarang keluar rumah, keluar pun kalau benar-benar genting. Omong-omong, kami tengah berada di rumahku.
“Iya bukan, dia sering kesini buat main. Soalnya, bapaknya tinggal disini.”
Aku mengerut bingung. Bapaknya, maksudnya bagaimana sih, aku bingung!
“Maksudnya?” Tanyaku mengutarakan kebingunganku.
“Bapaknya punya dua istri!”
Aku mengangguk mengerti walaupun masih cukup bingung. Ah, biarlah sudah. Aku tidak peduli juga. Memang aku siapa? Bukan kan.
Lalu pembicaraan kami terus berlanjut. Jika ada yang lucu, kami pasti tertawa. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.
“Assalamualaikum, Mia!”
Segera aku pergi untuk membuka pintu, sedikit berlari karena takut membuat siapapun diluar sana menunggu. Kubuka pintu dan mendapati Zia disana.
“Wa’alaikumsalam. Kenapa, Zi?”
“Oh ini, mau balikin novel yang waktu itu aku pinjam. Terima kasih sebelumnya.”
“Oh iya. Sama-sama. Mau mampir, pada kumpul tuh!” Tanyaku menawari. Tapi, Zia menggeleng.
“Enggak dulu deh, dirumah masih sibuk. Salam aja sama mereka. Kalau begitu aku pamit. Assalamualaikum!”
“Wa’alaikumsalam!”
Aku segera masuk ke dalam rumah. Mungkin mereka sedikit heran, kenapa aku begitu lama di luar sana.
“Siapa, Mi?”
“Zia, mau balikin novel.”
“Enggak di suruh masuk?”
“Enggak, lain kali aja bilangnya, soalnya dia lagi sibuk di rumah.”
Mereka semua mengangguk.
****
Aku hanya duduk diam selama pengajian, fokus sama materi yang diajarkan. Hingga tak menyadari jika waktu sudah berlalu dan pengajian sudah selesai. Berjalan keluar dengan teman-temanku.
“Mia!”
Aku sedikit tersentak karena terlalu diam dan tak memperhatikan. Aku menoleh dan mendapati mereka tengah menatapku. Aku mengerut dengan tatapan bertanya ‘ada apa’.
“Kok diam aja, kenapa?”
“Oh itu. Cuman capek aja soalnya kegiatan padat di sekolah.” Kudapati mereka mengangguk mengerti dan tak banyak bertanya. Baguslah, aku memang benar-benar capek karena hari ini adalah hari pertama penerimaanku masuk SMP.
Tak terasa ya. Kini aku sudah menduduki bangku SMP. Semakin tinggi juga jenjang yang kulangkah saat ini. Pun tak menyurutkan langkahku untuk bisa mencapai jenjang yang lebih tinggi lagi.
Tinggi sekolah yang kurajut tapi tinggi badan seperti ini. Aku tak menghina diri sendiri ya. Mungkin faktor keturunan. Ya, semua sudah takdir.
Aku pulang dengan Zia. Jarak rumah kami memang dekat dan paling belakang dari yang lain. Selama perjalanan kami banyak mengobrol.
“Oh iya, Mi. Masih punya lanjutan novelnya enggak?” Tanya Zia ditengah obrolan kami.
“Enggak punya.” Jawabku sambil menggeleng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Walk In Memories
Fiksi RemajaKita hanya sebuahlah masa lalu yang kini menjadi kenangan. Berharap kenangan itu akan senantiasa terkenang. Yang perlu kita lakukan menjalani apa yang sudah berlalu dari kenangan itu. Kita berjalan dalam kenangan. Mia dan Alfaz. Dua insan berbeda ge...