"Kau memiliki tato?" Tanya Singto kala melihat sekilas tinta hitam tertoreh di kulit bahu Krist yang putih bersih, tampak sangat kontras.Krist membenarkan pakaiannya, "Ah itu hanya keisengan semata. Apa ada masalah dengan itu?" Ia bertanya dengan sopan, takutnya akan menyinggung Singto.
Pemuda berkulit tan itu menggelengkan kepala pelan, "Tidak ada masalah selama kau bukan pemakai narkoba. Tato adalah hal yang biasa untuk masa sekarang, berbeda jika kita berada di masa beberapa puluh tahun yang lalu." Kekehnya.
Krist mengangguk membenarkan ucapan pemuda dihadapannya itu.
"Nah, masuklah! Ini kamarmu, kamarku ada disebelah. Jika mencariku kau jangan ragu mengetuk pintu kapanpun." Ucap Singto sebelum meninggalkan Krist yang siap melangkah memasuki kamar.
Krist sebenarnya hanya akan tinggal di Thailand selama beberapa bulan saja, ia sudah berjanji kepada sang kakek jika akan segera kembali jika urusannya sudah tuntas. Ia sebenarnya lahir di Thailand 20 tahun yang lalu. Namun, entah apa yang terjadi hingga Krist bisa hidup bersama sang kakek sejak kecil di Jepang.
Krist tidak pernah mengetahui kebenaran masa lalunya, karena sang Ibu yang berkunjung setahun sekali setiap hari kelahirannya enggan menceritakan hal yang telah lalu. Bahkan dirinya tak pernah sekalipun mengetahui wajah sang ayah secara langsung hingga pemakamannya beberapa bulan yang lalu, selang satu minggu tepat setelah kematian sang Ibu. Dirinya sangat ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, karena tidak ada yang bisa atau mungkin memanh sengaja menolak bercerita kepadanya, maka ia memutuskan untuk berkunjung ke Thailand sendiri.
**
Sudah dua hari Krist dan Singto tinggal di bawah atap yang sama. Tidak ada pembicaraan yang serius antara keduanya selain kata sapaan. Singto yang merupakan seorang mahasiswa tahun akhir disebuah universitas kenamaan di Thailand ini selalu sibuk menyelesaikan tugas yang menumpuk mulai dari pagi hingga sore dengan tetap stay di perpustakaan kampus sedangkan Krist, ia masih terus merenung didalam kamarnya dan hanya keluar untuk makan.
Sore ini, Singto baru saja keluar dari supermarket yang tak jauh dengan tempatnya tinggal saat kedua manik mata coklat gelap itu menangkap sosok yang cukup familiar. Siapa lagi jika bukan Krist diseberang jalan, pemuda berkulit putih dengan wajah yang identik cantik serta kelembutan itu tampak berjalan tanpa peduli dengan sekitar. Ia terlihat berjalan lurus menuju sebuah mobil hitam dengan beberapa orang pria dewasa yang mengenakan setelan hitam. Pemuda yang saat ini hanya mengenakan kemeja hitam dengan balutan celana jeans berwarna senada itu tampak beberapa kali mengangguk mendengarkan ucapan salah seorang pria yang terlihat cukup garang disana. Singto yang awalnya ingin menyapa pun mengurungkan niatnya, sekalipun dirinya ini pandai berkelahi, tetapi untuk menyapa pemuda cantik yang sekarang tampak serius itu ia enggan. Bukan karena pengecut, tetapi diam adalah emas.
Singto memilih masuk ke rumah terlebih dahulu, membersihkan diri sebelum menyiapkan makan malam sepertinya akan menjadi ide bagus.
Krist masuk ke rumah saat Singto tengah mempersiapkan makan malamnya, "Mau makan malam bersama?" Tawarnya saat melihat pemuda berparas cantik dengan rambutnya yang memiliki semburat merah tua pada bagian ujung.
"Tidak, terima kasih." Krist bersikap lembut, sangat lembut menurut Singto yang saat ini tengah terpesona dengan senyuman manis itu.
"Ayolah, makan bersama seorang teman pasti terasa lebih enak daripada hanya seorang diri...!!" Singto mencoba merayu Krist, membuat pemuda itu kembali tersenyum tipis.
Krist tampak berpikir sejenak sebelum berkata, "Baiklah, tapi apakah boleh aku membantu bersiap?"
Singto mengerutkan keningnya, "Bersiap? Ah! Maksudmu mempersiapkan ini?" Ia menunjuk ke arah makanan yang belum selesai di pindah ke piring.
Krist hanya mengangguk dan kembali membiarkan senyuman menghiasi paras cantiknya.
"Tentu, ayo!"
Di tengah makan malam yang berawal tenang itu, Krist yang sedari fokus dengan makanan pun harus terganggu karena Singto tiba-tiba mengomel di depan ponsel.
"Apa ada masalah?" Tanya Krist yang akhirnya merasa terusik.
Singto mempoutkan bibirnya, "Dia bilang cinta padaku tetapi malah memposting foto orang lain. Padahal foto denganku tak pernah sekalipun ia post!"
Krist mengerutkan keningnya karena Singto menunjukkan foto dua orang lelaki di benda persegi miliknya.
"Apa kau seorang gay?" Tanya Krist lirih, ia takut menyinggung Singto.
Singto tersenyum, senyum yang membuat dirinya terlihat tampan menurut Krist, "Apa ada masalah dengan itu?"
Krist tertegun sejenak melihat senyuman pemuda diseberang meja itu sebelum menggeleng, "Tidak masalah selama kau bukan pemakai narkoba." Jawabnya dengan senyum jail membuat Singto merasa gemas, bagaimana bisa ada seorang lelaki cantik dan berhati lembut serta senyum menggemaskan seperti pemuda di hadapannya saat ini.
"Lalu apa kekasihmu berselingkuh?" Tanya Krist lagi karena Singto hanya diam menatapnya.
"Tidak. Dia tidak mungkin berselingkuh." Jawab Singto yakin, Krist mengangguk mengerti. Ia tau seberapa besar kepercayaan Singto kepada sang kekasih hingga mampu menjawab dengan tegas jika sang kekasih tidak mungkin berselingkuh.
Singto bermain dengan makanan di hadapannya beberapa saat sebelum bertanya pada Krist, "Mau pergi melihat angin malam Thailand?"
Krist yang akan menghabiskan makanan pun menghentikan pergerakan tangannya, mengalihkan pandangan ke arah pemuda yang saat ini terlihat kurang tenang.
"Boleh aku menghabiskan makananku terlebih dulu?" Singto mengangguk atas pertanyaan Krist.
**
Setelah selesai dengan makan malam yang tiba-tiba terasa kurang nyaman untuk Krist itu, saat ini pemuda yang masih mengenakan kemeja hitam tersebut tengah mengikuti Singto berjalan-jalan di sekitar taman tak jauh dari rumah mereka. Krist tak mengerti kemana sepasang kaki Singto melangkah, ia hanya mengikuti tanpa bertanya. Keduanya berjalan pun tanpa bicara meskipun hanya sepatah kata.
Setelah melewati taman, terlihat beberapa rumah makan berjajar di kanan dan kiri jalan. Krist berpikir mungkin Singto ingin makanan yang berbeda dari yang di rumah sehingga ia pergi ke jajaran rumah makan ini. Namun, pemikiran Krist salah karena bukan itu yang Singto inginkan.
Singto berhenti melangkah setelah melewati dua atau tiga rumah makan, ia menatap salah satu meja yang terlihat dari jendela besar rumah makan tersebut. Krist mengalihkan pandangannya, mengikuti fokus kedua manik cokelat Singto. Ia menyentuh bahu pemuda yang saat ini tengah mengepalkan kedua tangannya tersebut, "Kau ingin kesana?".
Singto mengangguk tepat sebelum melangkah memasuki rumah makan. Krist tau ini akan menjadi sesuatu yang buruk, jadi ia mengikuti langkah Singto memasuki rumah makan. Keduanya langsung berjalan menuju sebuah meja dimana kedua pemuda tengah sibuk disana.
"Hey..." Sapa Singto sopan, kedua manik cokelat itu terlihat seolah kehilangan sinarnya.
"Sing..." Salah satu pemuda yang di datangi itu langsung berdiri, "Bagaimana bisa kau ada disini?"
"Siapa sayang?" Tanya pemuda lain kepada sosok pemilik nama Plustor tersebut.
"Aku teman sekolahnya dulu." Jawab Singto dengan senyuman yang menurut Krist itu hanyalah sebuah kebohongan.
"Ah, aku Nat. Kekasih Plustor. Siapa namamu?" Tanyanya dengan sopan, ia yang tak mengerti keadaan sebenarnya pun hanya bisa bersikap biasa saja.
"Singto." Jawab Singto sembari mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Nat.
Setelah berjabat dengan Singto, Nat mengulurkan tangan ke arah Krist. "Krist." Ujarnya.
"Dia kekasihku." Lanjut Singto sembari menarik pinggang Krist supaya berdiri mendekat padanya.
.
.
.
.
.TEBECEH
HAYOOOO!!!! KRIST BAKAL BILANG APA HAYOOOO!!!