"Krist, apa kau mengenal preman tadi?" Tanya Singto begitu mereka memasuki rumah. Ia penasaran bagaimana bisa sosok yang baru saja tinggal di Thailand ini tidak takut dengan orang asing yang berwajah seperti preman itu atau mereka benar-benar seorang preman.
Krist menggelengkan kepalanya, "Tidak, aku tidak mengenal mereka."
Krist langsung berjalan menuju dapur, ia sudah cukup lama menahan haus. Segelas air putih dingin menjadi pilihannya kali ini.
"Kau yakin tidak mengenal mereka? Kenapa kau tidak takut sama sekali dengan mereka yang memiliki tampang seperti tukang pukul itu?" Tanya Singto disaat Krist masih meneguk minumannya. Suara pemuda itu terdengar cukup dekat menurut Krist, mungkin ia tengah berdiri tepat di belakangnya.
Selesai menghabiskan minuman segelas air putih, ia langsung berbalik ingin memberikan jawaban atas pertanyaan Singto namun jarak pemuda itu terlalu dekat dengan dirinya hingga membuat ia cukup terkejut. Krist sudah mengira jika pemuda yang tampak seumuran dengan dirinya itu berdiri tepat di balik punggung, namun ia tidak mengira jika sedekat ini.
Singto sendiri juga tak bergeming seolah menolak untuk bergeser, ia lagi-lagi tengah termangu menatap kedua manik mata indah milik Krist. Cokelat tua dengan pantulan cahaya seolah membuat sepasang matanya tampak bersinar. Hembusan nafas keduanya yang saling bertemu menerpa wajah masing-masing, memberikan kehangatan tersendiri disekitar mereka.
Entah apa yang meracuni pikiran Singto hingga ia mulai memajukan kepala tanpa ragu, sedikit ia miringkan kepalanya seolah menyesuaikan posisi bibir merah ranum di hadapan ia saat ini. Sepasang bibir miliknya sedikit terbuka, Singto menepis jarak di antara mereka dengan mata terpejam, Krist menutup matanya, membiarkan pemuda itu menempelkan benda kenyal ke bibirnya. Rasa manis menyeruak di bibir pemuda berdarah campuran Jepang - Thailand tersebut. Lelaki yang baru dikenalnya beberapa hari ini sudah berani menciumnya tanpa permisi, bisa saja Krist mendorong Singto. Namun entah apa yang ada di pikirannya, hingga ia terdiam membiarkan lelaki di hadapannya ini mengklaim bibir ranum miliknya.
Singto menyesap lembut bibir Krist, merasa jika tidak ada penolakan, ia bergantian menghisap bibir bawah dan bagian atas pemuda berkulit putih itu. Pikirannya tak lagi mampu terkendalikan, ia mencoba menyisipkan lidah disela-sela bibir yang terbuka, Krist membuka akses lebih untuknya.
Entah sejak kapan, sapasang tangan Singto bertengger manis di kedua sisi pinggang ramping Krist.
Krist sendiri tanpa sadar sudah meletakkan kedua tangannya di bahu Singto.
Singto mengabsen setiap rongga mulut serta deretan gigi sebelum menyesap lidah Krist kuat, membuat pemuda itu mengeluarkan suara erangan sakit. Suara itu mengejutkan Singto, membuat ia sadar jika dirinya sudah sedikit berlebihan.
Singto memundurkan tubuhnya pelan mengakhiri ciuman yang mulai memanas, ia mengecup bibir yang sudah membengkak itu sekali lagi sebelum kedua mata mereka saling bertemu. Ia mengusap sisa ciumannya di ujung bibir Krist, "Maaf." Ujarnya saat kedua mata mereka saling bertemu.
Krist menggigit bibir bawahnya, "hmmm..."
Singto mengalihkan pandangannya, "A-aku.."
"Aku lelah, sebaiknya aku beristirahat di kamar. Permisi." Krist dengan cepat pergi dari hadapan Singto. Ia masuk kedalam kamarnya dan melompat ke atas ranjang.
Sesungguhnya ciuman ini bukan pertama kali untuknya, namun berciuman dengan seorang lelaki menjadi kali pertama untuk ia rasakan.
"Aku tidak tau, jika ciuman bisa semanis itu."
.
.Singto merutuki dirinya, ia tengah duduk di tepi ranjang kamar saat ini setelah melihat punggung pemuda itu menghilang di balik pintu. Ia tidak menyesal telah merasakan bibir manis Krist, ia hanya merasa bersalah karena tiba-tiba mencium pemuda yang baik itu tanpa permisi.
"Seharusnya aku permisi, atau setidaknya... Ah... Singto kau bodoh!" Ia terus mengumpat dan menyalahkan dirinya sendiri.
"Tapi bibirnya, sinar matanya, ah... Manis sekali..."
"Aku ingin merasakan bibir itu lagi..."
"Tuhan, apakah kau mengijinkanku merasakannya lagi?"
.
.
.Keesokan harinya saat sang mentari sudah meninggi, Krist dan Singto keluar dari kamar masing - masing di waktu yang bersamaan. Pemuda berkulit putih bersih itu keluar dari kamar bersamaan dengan koper di tangannya.
"Krist?" Singto menatap Krist dan koper bergantian.
"Kau..." Singto menunjuk ke arah koper Krist.
Krist tersenyum lembut, "Ah ini... Aku akan kembali ke Jepang hari ini."\
"Hari ini? Sekarang?" Dapat terlihat dengan jelas pemuda berkulit sedikit lebih gelap itu tampak terkejut, "Kenapa?" Lanjutnya.
"Hmmm?? Oh, aku pikir aku sudah mendapatkan jawaban atas apa yang aku inginkan. Aku tidak menyangka jika mencari tentang keluarga ku akan semudah itu. Jika tau seperti ini, akan lebih mudah aku menginap di hotel dan tidak perlu mengganggumu." Jawab Krist dengan tersenyum.
"Tunggu! Apa kau sudah memesan tiket pesawat? Apa bisa pulang ke Jepang begitu saja? Maksudku, kenapa tiba-tiba?" Singto terlihat gugup dan terkejut. Tentu saja ia tidak menyangka jika Krist harus pergi hari ini, terlebih tak ada pembicaraan antara keduanya setelah ciuman kemarin. Ia takut jika pemuda ini pergi karena kejadi itu.
"Yaa... Ini tidak tiba-tiba, seseorang sudah menyiapkan tiket pesawat ku. Lagipula, sudah ada yang menunggu didepan. Aku tidak perlu menghawatirkan apapun." Jawab Krist dengan santai.
"Apa ini karena kemarin?" Tanya Singto yang tidak bisa menahan rasa penasarannya.Krist menggelengkan kepala, "Ah tidak. Aku memang sudah berjanji kepada kakek akan kembali setelah semua selesai.".
"Apa tidak bisa menunda beberapa hari lagi?"
Krist menggelengkan kepalanya pelan, "Aku harus pergi hari ini. Lain kali saat kau libur, pergilah ke tempatku. Aku akan menunjukkan beberapa tempat yang bagus disana."
Singto mengabaikan ucapan Krist, "Aku akan mengantarmu..." Ia langsung mengambil alih koper Krist dan membawanya ke arah pintu utama dengan berjalan mendahului pemuda berjaket jeans tersebut.
"Jika aku ke Jepang, aku akan mencarimu. Dan jika kau ke Thailand, carilah aku." Pesan Singto pada Krist tanpa menoleh, sebelum membuka pintu.
"Sing..." Krist menyentuh bahu pemuda yang saat ini memunggunginya, "Simpanlah ini. Jika kau mau, kirimkan pesan padaku. Aku akan langsung memberimu balasan secepatnya." Ia mengulurkan secarik kertas bertuliskan nomer ponselnya kepada Singto.
"Dan terima kasih untuk semuanya." Lanjutnya sebelum mengecup bibir Singto cepat dan berjalan melewati pemuda yang masih terkejut itu.
Suara pintu mobil tertutup membuat Singto tersadar, ia berbalik dan menemukan Krist sudah masuk ke dalam mobil.
"Hati-hati.." ujar Singto sembari melambaikan tangan kepada Krist yang berada didalam mobil, pemuda itu tengah tersenyum lembut kepadanya. Senyuman yang entah kapan akan ia lihat lagi.
.
.
.
.
.
TEBECEH