Krist cukup terkejut dengan keberadaan Singto di belakangnya, ia hendak bertanya bagaimana pemuda itu ada disini. Namun sosok wanita yang mengenakan dress berwarna peach itu sudah membuka pintu, membuat ia mengurungkan niat menegur si pemilik wajah tampan.
"Krist?" Sapa wanita berusia kisar empat puluhan tersebut saat melihat sosok yang sebenarnya cukup familiar meskipun keduanya belum pernah bertemu secara langsung.
Krist menoleh dan kembali fokus pada si wanita, "Nyonya May?" Jawabnya.
Wanita itu memiliki senyum lembut khas seorang ibu yang baik hati seperti ibunya, begitulah yang terlintas dalam benak Krist saat melihat senyuman wanita cantik berambut cokelat tua itu.
"Ayo masuk, apakah dia temanmu?" Tanya nyonya pemilik nama May tersebut sembari melirik ke arah Singto yang masih setia berada di balik punggung Krist.
"Dia--" ucapan Krist terpotong dengan Singto yang melanjutkan, "Saya temannya, kami tinggal bersama."
Begitu mendengar penjelasan singkat Singto, Nyonya May tampak tersenyum lebih lebar, Krist tidak mengerti apa yang ada dipikiran wanita tersebut, namun pemuda lain yang ada disana itu sepertinya bisa memahami senyuman wanita bermata cokelat senada dengan rambutnya itu.
Singto dan Krist masuk kedalam rumah setelah Nyonya May mempersilahkan keduanya, mereka bertiga duduk di ruang tamu di temani secangkir teh hangat serta beberapa tumpuk buku diatas meja yang bisa dikatakan cukup tua.
"Apa yang membuatmu mencariku Krist?" Tanya Nyonya May mengawali percakapan, cukup menarik perhatian Singto yang sedari tadi menoleh ke sekitar rumah.
"Maaf menghubungi anda tiba-tiba setelah kepergian ibu." Ujar Krist, "Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan. Tetapi, bisakah anda membiarkan teman saya untuk berkeliling disekitar rumah sejenak?" Lanjutnya begitu melihat Nyonya May mengangguk. Sejujurnya Krist tidak tau apa yang Singto lakukan disini, tetapi pemuda itu tidak ingin hal yang cukup pribadi untuk dirinya tersebut didengar oleh orang yang baru ia kenal.
"Ah, aku akan menunggu di luar." Ujar Singto sebelum berpamitan pada Nyonya May.
Wanita itu tersenyum sebelum berkata, "Dia lelaki yang baik."
Krist mengerutkan keningnya mendengar ucapan Nyonya May, namun wanita tersebut segera menambahkan, "Sebagai seorang teman. Pasti Misa tenang disana melihat putranya memiliki seorang teman yang sangat baik."
"Ah seperti itu." Krist mengangguk menandakan mengerti membuat sebagian poninya menutupi kening, "Tentang ibu..." Ia tampak ragu untuk melanjutkan.
Wanita yang tampak seumuran dengan sang mendiang Ibu Krist itu tersenyum, begitu lembut. "Kami adalah teman sedari kecil. Kala itu, ibumu tampak cantik dengan pakaian adat Jepang. Aku masih ingat betapa pemalunya Misa kala itu, ia bersembunyi dibalik tubuh besar ayahnya. Sekalipun kakekmu itu terlihat arogan tetapi tidak dengan ibumu, dia pemalu dan lembut sedari kecil."
"Bagaimana ibu bertemu dengan ayah?" Krist pun langsung menanyakan pertanyaan yang sangat ia inginkan jawabannya.
"Kau sangat antusias seperti ayahmu." Nyonya May tersenyum maklum, "Ibu mu yang menyukai hal-hal tentang Thailand, lebih memilih tinggal di negara ini setelah lulus sekolah menengah. Ia melanjutkan kuliahnya disini, tinggal bersamaku, tentu setelah mendapatkan ijin dari kakekmu."
Nyonya May meraih secangkir teh hangat, menyesapnya sedikit sebelum kembali melanjutkan cerita, "Saat di universitas, ayah mu adalah seorang asisten dosen, sedangkan ibumu adalah ketua kelas yang membuat keduanya sering bertemu. Di sanalah awal mula kedekatan mereka."
"Lalu kenapa ibu-"
"Apa menurutmu seseorang seperti kakekmu akan merelakan putri tunggalnya dengan lelaki yang tidak jelas masa depannya selain hanya menjadi seorang dosen? Dan apakah menurutmu, seorang pendidik mau menerima keberadaan kriminal?" Nyonya May menunggu Krist memberikan respon, tetapi pemuda itu tak bergeming mendengar ucapannya.
"Krist, Ibumu adalah wanita yang baik. Ayahmu adalah pria yang berpegang teguh pada pendiriannya. Kakekmu adalah pria yang kau sendiri mampu menilainya. Hanya dengan mengetahui kepribadian mereka, pasti kau mampu menilai."
"Jadi, Ibu dan ayah menikah tanpa restu kakek?" Nyonya May mengangguk, "Lalu kenapa aku bisa bersama kakek?" Lanjut Krist.
"Kakekmu mendengar kabar jika putrinya melahirkan seorang bayi laki-laki, tentu saja datang dan berharap memiliki penerus. Kebetulan saat itu kondisi ekonomi kedua orang tua mu terbilang kurang mampu. Kakekmu tidak tahan melihat ayahmu yang mulai mabuk-mabukan paska pemecatan dirinya. Jadi, kakekmu membawa kau yang saat itu masih bayi ke Jepang."
Nyonya May menghela nafas, "Ayahmu jarang pulang, sekalinya pulang ia hanya memukuli ibumu atau meminta uang untuk pergi mabuk. Sedangkan ibumu yang sudah terlanjur jatuh cinta, mana mungkin mampu meninggalkan laki-laki itu? Misa mulai bekerja di restoran bersamaku, setahun sekali setiap ulang tahunmu akan ada seseorang yang dikirim oleh kakekmu untuk menjemputnya."
"Bahkan di akhir hayatnya, ia masih mencintai ayahmu dan berharap kalian bisa bertemu." Sebutir air mata menggenangi pipi mulus Nyonya May.
Krist mengulurkan tisu untuk wanita tersebut, "Anda sangat tau tentang kedua orang tuaku."
Nyonya May mengangkat kepalanya menatap Krist.
"Anda hanya berfokus pada ibuku." Hanya dari mendengarkan cerita Nyonya May tentang kedua orang tuanya, serta sorot mata wanita tersebut, Krist mengerti apa yang terjadi.
"Bukan hanya ayahku yang tidak membiarkan Ibu kembali ke Jepang. Tetapi, anda juga salah satu alasannya bukan?" Nyonya May tidak memberikan respon, "Terima kasih telah mencintai ibuku bahkan setelah kepergiannya." Krist tersenyum lembut.
"Lelaki yang anda sebut sebagai ayahku, dia tak pantas disebut sebagai ayah." Lanjutnya membuat nyonya May mengangguk membenarkan.
"Terima kasih telah menceritakan apa yang ingin saya dengar. Sebaiknya saya permisi, hari sudah mulai larut." Krist menengok ke arah jendela rumah, selain itu ia juga memikirkan Singto yang menunggu di luar.
Setelah berpamitan, Krist pergi ke luar rumah. Nyonya May memberikan bingkisan kue untuk ia dan Singto, namun lelaki itu tidak dapat ditemukan di depan rumah.
Krist baru beberapa langkah pergi meninggalkan kediaman Nyonya May, ia melihat Singto tengah membeli jajanan pinggir jalan. Tanpa disadari ia tersenyum melihat lelaki itu tampak menggemaskan dan sabar menunggu jajanan yang ia beli tengah disiapkan. Senyum lebarnya mengembang begitu si penjual menyodorkan bungkusan jajan, ia berbalik dan menemukan Krist berdiri sembari mengamatinya.
"Krist! Kemari!" Singto tidak malu sama sekali saat Krist menemukan ia tengah membeli jajanan seperti anak kecil.
"Nah, makan ini!" Singto mengulurkan salah satu jajanan yang baru Krist lihat, "Makanlah! Ini enak! Tidak beracun! Sungguh!" Lanjutnya saat melihat jika pemuda berdarah Jepang itu tampak ragu saat melihat apa yang ia pegang.
Krist mengambil alih apa yang Singto bawa, "Hmmm..." Ia mengangguk-angguk sembari mencoba makanan baru di lidahnya.
"Mau lagi?" Tawar Singto tapi Krist menolaknya dengan sopan.
"Sebaiknya kita pulang sekarang?" Tawar Krist, Singto mengangguk setuju.
Mereka berjalan berdampingan, Singto tampak sibuk dengan jajanan hinggak baru menyadari jika beberapa langkah di depannya ada segerombolan preman. Berbeda dengan dirinya yang ingin memilih jalan lain, Krist tetap berjalan dengan tegap ke arah segerombol laki-laki itu.
"Krist, bagaimana jika kita lewat jalan lain?" Krist menoleh ke arah Singto.
"Kenapa?"
"Ah, itu terlalu banyak orang." Sungguh Singto dapat bertarung, tapi melawan orang banyak? Bukankah akan lebih baik jika di hindari saja?
"Tidak apa, ayo!" Krist kembali melihat ke arah depan, tak bergeming meskipun Singto tampak ragu.
Entah apa yang tengah preman itu pikirkan, mereka sama sekali tidak bersuara saat Krist dan Singto berjalan di depannya. Sepanjang jalan hingga mereka tiba di rumah, Singto masih memikirkan apa yang membuat para preman itu terdiam begitu mereka lewat.
"Krist, apa kau mengenal preman tadi?"
*
*
*TEBECEH
KRIST KENAL GAK YA?