Bab 02 : Menuju Petaka

8.7K 613 62
                                    

"Sudah selesai mas?" Pertanyaan istriku membuyarkan segala ingatanku tentang mas Tarno.

"Alhamdulillah... Sudah selesai. Tinggal berangkat aja ke tempat tugas"

Aku meletakan tas punggung di sebelah lemari, lalu berganti baju dengan T-shirt.

" kira-kira kapan mas kita berangkat?"

"Nanti subuh, jam 2."

"Hah...!?" Istriku kaget mendengar jawabanku barusan.

"Kenapa gak besok pagi aja mas? Atau siang sekalian? "

"Kata tukang ojek tadi, desa tempatku bertugas cukup terpencil. Hanya bisa ditempuh lewat jalur sungai. Perahu motor yang menuju ke sana hanya ada di ibu kota kecamatan, dan mereka adanya cuman pagi. Kalau tidak, kita terpaksa menunggu sehari lagi. Jadi, kita harus sudah ada di ibu kota kecamatan saat pagi. Makanya kita harus berangkat subuh, sebab ibu kota kecamatan lumayan jauh dari sini. Sekitar dua jam."

Istriku menghela nafas, terlihat agak kesal. Rupanya rasa lelahnya masih belum hilang. Namun apa boleh buat, inilah resiko yang harus kami tempuh bila ingin memperbaiki nasib.

Aku mendekati istri yang duduk di pinggir ranjang, mengelus rambutnya lalu mencium keningnya.

"Kita cari makan aja yuk..aku lapar."

Istriku tersenyum mendengar ajakanku.

"Yuk mas...aku juga lapar. Sekalian ingin merasakan kuliner kalimantan. Tunggu sebentar ya, aku pasang jilbab dulu."
"Aku tunggu di depan penginapan ya. Sekalian mau ngerokok."
"Iya..."

Aku sengaja memilih menunggu di depan penginapan, karena istriku untuk urusan memakai jilbab saja bisa hampir satu jam.

Aku duduk di salah satu kursi panjang yang ada di depan penginapan. Menikmati rokok dan kopi dingin botolan yang di jual di lemari pendingin.

Di depanku, membentang sungai Barito yang begitu megah. Sungai-sungai di Jawa seolah tidak ada artinya dibandingkan lebarnya sungai ini. Saya perkirakan, lebarnya 5 kali lapangan sepak bola. Mungkin juga lebih.
Kapal-kapal tongkang pengangkut batu bara, perahu dan speed boat terlihat lalu lalang.
Di pinggirnya, terdapat taman yang luas yang tertata rapi, sehingga membuat pemandangan dari tepian Barito sungguh indah. Mungkin karena masih siang dan cuaca sedang terik, tidak ada seorangpun di situ.

Jujur, aku malu pada diriku sendiri.
Ternyata Kalimantan tidak semengerikan yang kubayangkan. Dulu, Kalimantan yang kubayangkan hanyalah hutan, daerah tertinggal, dan hal-hal mistis. Kini aku sadar, berbagai stereotip tentang Kalimantan hanya kudapatkan dari televisi, koran maupun internet.

Berbagai informasi tersebut ternyata juga mempengahuri orang tuaku dan mertuaku. Terutama ibuku. Aku ingat beberapa minggu lalu dia bersikeras agar membatalkan niatku untuk bekerja di Kalimantan, setelah aku dinyatakan lolos tes CPNS.

Sore itu, hanya ada aku, ibu dan ayah di rumah. Sementara istriku sedang memberi les tambahan kepada beberapa anak tetangga yang cukup kaya. Dua orang adikku, Bagus dan Irma, sudah kebiasaan mereka kalau sore hari bermain entah dimana, dan baru pulang menjelang magrib.

"Le... Apa gak bisa dibatalkan saja. Ibu khawatir. Nanti kamu seperti mas Tarno. Gak pulang bertahun-tahun. Bahkan saat ayahnya meninggal dia gak datang. "

Suara ibu parau, jelas sekali kalau dia cemas tentang nasibku dan istri bila nekat merantau ke Kalimantan. Cerita dari mas Tarno beberapa tahun lalu rupanya masih menghantui pikiran ibu.

"Gapapa Bu, cuman ini kesempatan saya memperbaiki nasib. Ibu tahu sendiri kan berapa gaji guru honorer. Itupun kadang telat. Ngasih les tambahan juga gak cukup. Saya tidak mungkin terus bergantung pada ayah dan ibu. Apalagi saya sekarang sudah punya istri."

Kuyang ( Sudah Terbit ) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang